10 Desember 2007

opini musri nauli : Refleksi HAM 2007


Hari ini tanggal 10 Desember 2007 kembali kita memperingati hari HAM sedunia. Hari yang terus diperingati disaat yang bersamaan, kita juga menyaksikan pelanggaran HAM di berbagai dunia. 

Agresi Amerika dan sekutu-sekutunya terhadap Afganistan, Irak dan berbagai dunia lain semakin memperkuat bahwa ternyata negara-negara yang mengklaim sebagai “pioner demokrasi” ternyata melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Isu HAM tenggelam dengan persoalan ekonomi terutama minyak dan kepentingan ekonomi jangka pendek. 
Disaat bersamaan, issu HAM masih merebak di Indonesia. 

Walaupun Indonesia telah keluar dari pemerintahan represif, dan telah diakuinya berbagai nilai-nilai HAM baik didalam amandemen UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 26 Tahun 2000, UU No. 11 Tahun 2006 UU No. 12 Tahun 2006, adanya Komnas HAM, namun pelaksanaan terhadap nilai-nilai HAM masih jauh dari harapan kita semua. 

Di Televisi, kita masih menyaksikan, bagaimana para pedagang kaki lima “ditertibkan”, tanah masih dirampas demi alasan “pembangunan”, rumah dirobohkan, perbedaan keyakinan diselesaikan dengan “tangan-tangan” negara dan berbagai peristiwa yang membuktikan, bahwa kita masih jauh dari manusia yang beradab terhadap penghormatan HAM. 

Peristiwa pembantaian tahun 1965, Talangsari di Lampung, Tragedi 13 – 14 Mei 1998, Semanggi I dan Semanggi II, pembunuhan aktivis HAM Munir, merupakan catatan kelam dalam penegakkan HAM di Indonesia. 

Catatan ini sekali lagi memberikan pemahaman kepada kita bahwa diaturnya berbagai ketentuan yang mengadopsi nilai-nilai HAM dalam berbagai peraturan tidak sebanding dengna pelaksanaan HAM di Indonesia. 

Sekali lagi, catatan yang dipaparkan membuat kita berfikir bahwa masih dibutuhkan waktu yang panjang diakuinya hak-hak dasar terhadap penegakkan HAM. 

Sementara itu didalam tahun 2007, penulis memberikan catatan penting terhadap penegakkan HAM. Disidangkannya aktivis mahasiswa yang memperjuangkan anggaran terhadap publik yang kemudian berakhir dengan kerusuhan massa yang kemudian dikenal sebagai kasus water boom merupakan pengulangan dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. 

Kasus yang serupa pernah terjadi terhadap aktivis mahasiswa seperti Cecep Suryana cs dalam peristiwa “pengrusakan polda Jambi” yang menolak alm Turimin dalam pemilihan Wawako. Pasal-pasal yang dikenakan kepada terdakwa serupa. Yaitu pasal 170, 187 KUHP. 

Cara-cara ini sebenarnya melambangkan pemerintahan yang “reaktif” terhadap suara-suara kritis dari kampus dengan menggunakan tangan-tangan negara untuk membungkam suara-suara yang kritis. 

Pasal ini juga sering dikenakan kepada pejuang petani yang memperjuangkan tanahnya namun digeser menjadi persoalan kriminal. 

Dalam catatan penulis, setidaktidaknya hampir setiap tahun dan hampir disetiap kabupaten di Propinsi Jambi kejadian ini sering terjadi. 

Tahun 1998, kerusuhan massa yang kemudian berakhirnya di PT. DAS, April 1999 di PT. Tebora, September 1999 di PT. KDA, Januari 2000 di PT. Jamika Raya, April 2001 Kerusuhan di Polda, Desember 2005 di PT> DIPP, Januari 2006 di Kerinci dan berbagai kejadian lain yang tidak penulis sebutkan satu persatu. 

Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, penulis telah memaparkan berbagai kajian yang berkaitan dengan pasal ini. 

Namun yang hendak penulis sampaikan pada saat ini adalah bahwa Pemerintahan ternyata masih menggunakan cara-cara lama didalam menyelesaikan sengketa yang kemudian berakhir dengan kerusuhan massa. 

Sekali lagi, ternyata terhadap para pejuang yang kritis, pasal-pasal ini masih effektif digunakan dan penulis yakin bahwa pasal ini masih digunakan Pemerintahan didalam persoalan yang berkaitan dengan sikap kritis masyarakat. Di pertengahan tahun 2007, Pemerintah Kota Jambi dengan argumentasi bahwa ingin menertibkan pedagang kaki lima melakukan pembersihan pedagang kaki lima dari jalan utama di Kota Jambi. 

Maka di sepanjang jalan yang dijadikan daerah utama, para pedagang tidak dibenarkan berjualan di sepanjang jalan tersebut. catatan penting sengaja penulis sampaikan untuk mendukung argumentasi bahwa terhadap penggusuran pedagang kaki lima bertentangan dengan nilai-nilai HAM. 

Apakah penggusuran bertentangan dengan nilai-nilai HAM. Apabila berpijak dari perspektif hukum positif, maka sikap yang diambil Pemerintah Kota dalam rangka menegakkan Perda yang berkaitan dengan daerah-daerah yang diizinkan berjualan. 

Engan argumentasi itulah, maka pemerintah Kota melakukan upaya-upaya “penggusuran” terhadap pedagang kaki lima. Dan yang sering dilupakan oleh kita bersama bahwa upaya yang dilakukan pemerintah sebenarnya melambangkan pemerintah yang “tidak dapat memberikan lapangan pekerjaan kepada rakyatnya. 

Sektor tenaga kerja ternyata tidak berhasil diserap, pertumbuhan ekonomi lemah, daya beli masyarakat rendah sehingga sebagian rakyat kemudian “bertahan” hidup dengan berjualan di sepanjang jalur yang “dilarang”. 

Apa nilai HAM yang dilanggar Pemerintah, bahwa pemerintah yang gagal memberikan lapangan pekerjaan (pemerintah yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya menyediakan lapangan pekerjaan) ternyata merampas pekerjaan yang telah dibangun masyarakat. 

Nilai essensial ini sengaja penulis sampaikan bahwa pemerintah ternyata “otoriter” merampas pekerjaan rakyat. 

Dimensi ini juga dilakukan Pemerintah dalam kasus “daging babi” yang melibatkan pedagang bakso, Sentot. Pemerintah “terlepas” dari hasil kajian Disnak, ternyata merampas pekerjaan pedagang bakso di jambi. 

Hasil kajian yang dilakukan Disnak, mengakibatkan ribuan orang yang bergantung dari usaha bakso kemudian “dizolimi” dan mengakibatkan para pedagang bakso “dihantui” ketakutan terhadap masyarakat yang secara sinis meragukan usaha bakso dan mengkhawatirkan adanya “unsur daging babi”. 

Sekali lagi pemerintah secara sewenang-wenang merampas kehidupan dan pekerjaan rakyat. Pelanggaran essensial juga dilakukan oleh negara dalam kasus keyakinan beragama dalam kasus “aliran sesat”. Belum reda pembicaraan kita, kasus yang terjadi dituduh aliran sesat AL Qiyadah, peristiwa serupa terjadi. 

Di Jambi, adanya kelompok yang kemudian dituduh sesat, yang mengikrarkan diri “Islama Model baru” kemudian diproses secara hukum dengan tuduhan pasal 154 A KUHP. T

erlepas dari proses hukum yang sedang berjalan, peristiwa ini membuktikan kepada penulis, bahwa tidak adanya penghormatan terhadap “keyakinan” seseorang walaupun sudah diatur didalam amandemen 1945 maupun didalam hukum positif lainnya. proses hukum terhadap mereka yang dituduh sebagai aliran sesat merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai HAM yang merupakan pondasi dari HAM. 

Bahkan yang lebih ironis, hukum ternyata dijadikan “alat”. Penentukan apakah sebuah perkara itu mempunyai unsur sebagaimana diatur didalam KUHP bukan dilihat dari norma-norma hukum, tetapi diatur diluar hukum terutama norma agama. Logika hukum menjadi terbalik. Bagaimana mungkin norma hukum dapat ditentukan dalam norma agama. 

Sekali lagi pondasi nilai-nilai HAM masih jauh dari harapan ideal sebagaimana diatur didalam berbagai ketentuan hukum positif. Yang sering dilupakan oleh kita bersama, apakah mengusir manusia dari rumahnya merupakan pelanggaran nilai-nilai HAM. 

Apabila jawaban itu disampaikan dari perspektif hukum positif, maka peristiwa eksekusi tanah Disnak banyak yang mendukung. Namun nilai-nilai HAM yang dilanggar adalah “mengusir orang” dari rumahnya. 

Orang yang merasa aman dirumahnya, justru diusir dari rasa aman tersebut. bagaimana mungkin, rumah tempat bersatunya keluarga, terlindungnya manusia dari hujan dan panas, dari bahaya dan adanya kebahagiaan keluarga kemudian tercabut akarnya. 

Manusia kemudian tidur di langit, berembun pagi, kedinginan, kepanasan dan yang paling hakiki adalah orang merasa tidak aman terhadap harta miliknya. Pelanggaran inilah yang menurut penulis paling serius yang dilakukan oleh negara. Sekali lagi pelanggaran serius yang dilakukan oleh negara adalah mengusir orang dari rumahnya dan tidak terciptanya rasa aman bagi rakyat. 

Catatan yang dipaparkan sama sekali tidak tendensius bahwa harapan terhadap perbaikan HAM tidak bisa dilakukan. 

Sama sekali tidak. Yang ingin penulis sampaikan, bahwa persoalan HAM adalah bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrat melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.