04 Juni 2013

opini musri nauli : MK dan hutan adat


Putusan MK terhadap permohonan pembatalan kata-kata “negara” dalam definisi hutan adat menarik perhatian publik.

Sebagaimana kita ketahui berdasarkan Putusan MK Nomor Nomor 35/PUU-X/2012 telah menyatakan “kata negara dalam dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

opini musri nauli : Mendengarkan kesaksian para penyelamat hutan


Perjalanan ke Margo Sungai Tenang “seakan-akan” memenuhi rindu akan suara burung, rindu sejuknya Desa, gemercik suara air sungai ataupun dentangan nada-nada bijak memandang alam.

23 Mei 2013

opini musri nauli : KORUPSI DAN PEREMPUAN




Korupsi pengadaan sapi import memasuki babak baru. Sebelumnya kita tercegang ketika “desain korupsi” menggunakan istilah yang canggih, rumit dan sulit dimengerti, kita kemudian dikejutkan berbagai nama-nama yang berseliweran di sekitar “bau busuk”.

Sebelumnya, AF ditangkap bersama seorang mahasiswi. AF yang merupakan “teman dekat” yang ditandai dengan pembicaraan via telephone dan dituduh sebagai “makelar” proyek dengan santai bertelephone ria dengan orang penting di sebuah partai. Kata-kata yang digunakan bersandi istilah Arab. Dimulai dari salam, basa-basi, kemudian ketawa cekikikan. "Istri-istri antum (Luthfi) sudah menunggu semua”. "Yang mana saja?". "Annukhud arbain milyar cash. “Pustun” dan Jawa Sarkia. Adalah kata-kata yang digunakan dalam pembicaraan.

Belum kaget dengan tertangkapnya AF bersama dengan mahasiswi, kita kemudian dikejutkan berseliweran berbagai nama-nama perempuan di sekitar AF. Nama-nama perempuan yang membuat kita tercengang. Kaget karena selain nama-nama yang berseliweran di sekitar AF, ternyata berbagai pemberian harta dari AF membuat kita kaget tidak kepalang tanggung. Pemberian uang, jam, perhiasan bahkan mobil mewah. Kesemuanya menjadikan kita mudah menduga, pemberian berbagai hadiah berasal dari nilai “bau busuk”.

Belum usai kekagetan kita, kita kemudian dikabarkan berita yang sungguh-sungguh bikin geleng kepala. Seorang petinggi partai, kemudian dikabarkan mempunyai hubungan “istimewa” dengan pelajar SMA. Dengan gamblang, berbagai tayangan, digambarkan bagaimana hubungan itu telah dibangun secara serius. Selain memberikan uang, kesaksian dari bekas pembantu rumah tangga dan Satpam setempat dengan jelas menggambarkan bagaimana “anehnya” hubungan itu. Sehingga korupsi di sekitar pengadaan impor daging sapi semakin menunjukkan gejala yang semakin aneh yang sulit diterima dengan logika.

Darin Mumtazah. Demikian kabar dari media. Seorang pelajar kelas III SMK di Jatinegara.

Korupsi dan Perempuan

Sebelumnya kita menyaksikan bagaimana pola-pola korupsi yang semakin canggih. Di desain dengan cara-cara yang sulit dipahami publik, dilakukan di tempat-tempat yang sulit dijangkau, dilakukan di tempat-tempat yang jauh dari pantauan publik hingga dilakukan dengan pola-pola yang berubah-ubah sehingga sulit dipantau.

Namun berita akhir-akhir ini semakin jauh dari persoalan pokok korupsi. Berseliweran nama-nama perempuan di sekitar korupsi semakin meyakini kita, korupsi telah merambah berbagai lini. Apabila sebelumnya korupsi dilakukan hanya berkaitan dengan “uang”, korupsi sudah merambah sampai ke persoalan birahi. Korupsi dan perempuan memasuki fase baru.

Kekagetan kita bertambah. Mulai beredarnya nama Darim Mumtazah yang dikaitkan dengan petinggi Partai, semakin menguak “bau busuk. Ditangkapnya AF bersama dengan mahasiswi kemudian berseliweran nama-nama perempuan di sekitar AF, kemudian ditemukan nama Darim Mumtazah semakin mengernyitkan kening. Mengapa perbuatan itu dilakukan justru “keduanya” didikan sekolah di Timur Tengah ? Apakah pendidikan yang mereka terima tidak mampu menahan iman yang merupakan pondasi penting dari ajaran agama ? Mengapa mereka yang menjadi teladan dan tokoh dari partai islam justru melakukan perbuatan yagn sangat memalukan ? Mengapa itu terjadi ? Apakah islam dijadikan “kedok” untuk menutupi perbuatan mereka ?

Namun belum selesai pembahasan antara korupsi dan perempuan, dugaan perkawinan antara petinggi partai dengan seorang anak sekolahan semakin menambah rumitnya persoalan. Terlepas dari perkawinan yang telah dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan agama (yang biasa dikenal dengan perkawinan siri), namun perkawinan itu sudah memasuki wilayah perdebatan.

Sebagaimana sudah sering disampaikan penulis, Menurut Islam, usia dewasa apabila seorang telah mengalami akil baliq (sudah mengalami menstruasi). Usia ini diperkirakan sejak anak kelas 6 SD hingga Kelas 3 SMP. Dengan menggunakan kriteria akil baliq, maka seorang yang telah akil baliq dianggap telah bertanggungjawab untuk melakukan perbuatan yang benar dan salah.

Dalam lapangan ilmu politik, usia 18 tahun merupakan usia yang dibenarkan untuk memilih (18 tahun). Usia 18 tahun dibenarkan untuk mengikuti Pemilihan Umum baik Pemilihan Presiden, DPR-DPRD, DPD, Kepala Daerah. Usia 18 tahun merupakan usia yang matang, sehingga ilmu politik memberikan haknya dan dianggap telah berfikir jernih untuk menyalurkan aspirasi politiknya.

Didalam ilmu hukum, UU Perkawinan mengamanatkan usia yang dibenarkan untuk perkawinan yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Sehingga seorang perempuan yang telah berusia 18 tahun dianggap telah dewasa dan cakap bertindak dimuka hukum (tidak dibawah pengampu/perwalian). Usia 18 tahun sudah bisa bertindak melakukan perbuatan hukum dan bisa bertindak atas nama pribadinya (lihat UU Perlindungan Anak dan UU Pengadilan Anak)

Begitu juga dengan pewarisan, usia 18 tahun sudah mendapatkan hak yang sama dengan saudara-saudara untuk membicarakan pewarisan.

Namun yang unik, didalam pasal 332 KUHP, justru perempuan dibawah 21 masih dianggap dalam perlindungan orang tuanya sehingga membawa perempuan dibawah umur 21 tahun masih dianggap sebagai perbuatan pidana. Dalam berbagai kasus-kasu di persidangan, pasal ini merupakan salah satu pasal yang menimbulkan kontroversial karena disatu sisi, sebagai praktek sosial, usia 18 tahun sudah dianggap dewasa namun pasal 322 KUHP justru pada usia 21 tahun.

Namun uraian diatas, apabila dilihat dari ranah sosiologi lebih tepat menggunakan ukuran fisik. Dalam ukuran menjadi seorang Presiden, justru menggunakan patokan umur 35 tahun. Bahkan menjadi seorang Pimpinan KPK justru berumur 40 tahun. Bahkan untuk menjadi Hakim Agung berumur 45 tahun. Sehingga ukuran yang digunakan (umur 35 tahun, umur 40 tahun dan umur 45 tahun) digunakan sebagai usia “kematangan” berfikir untuk menduduki jabatan publik yang berdampak dalam sistem ketatanegaraan.

Lantas apakah perkawinan yang menurut agama Islam sudah sesuai apabila kita bandingkan dengan berbagai ketentuan perundang-undangan sudah bisa diterima dengan akal sehat.

Entahlah. Namun persoalan korupsi sudah memasuki wilayah aneh. Perempuan dan korupsi merupakan tema baru dalam korupsi.







19 Mei 2013

opini musri nauli : KORUPSI MEMANG CANGGIH




Apel Malang, Apel Washington
Pelumas, semangka, Bos Besar
Arbain Milyar Cash
Daging busuk, salam putih


Persidangan “dugaan” korupsi daging impor sapi memasuki babak baru. Terlepas berbagai issu seperti “dugaan” terlibatnya petinggi Partai, tarik menarik barang bukti yang akan disita, kejutan demi kejutan mengagetkan publik. Kata-kata yang digunakan mengernyitkan dahi. Apa “skenario” yang akan dilakukan.


Kata-kata yang digunakan memang bermaksud agar “pembicaraan” berlangsung yang dikuatirkan akan “disadap” tidak mudah diketahui isi pembicaraannya.

17 Mei 2013

opini musri nauli : Pesan Penegas sang Pembesar




DEMI ALLAH.
SAYA TIDAK MELAKUKAN APA YANG DITUDUHKAN.
Wallahi.
Terkutuklah mereka yang berkata
diatas kepala mereka terletak kitab suci.


Kata-kata itu seakan-akan mantra yang mampu menghipnotis seluruh ruangan persidangan. Suara yang gelegar memecah keheningan ruangan persidangan “menantang” siapa saja yang berlaku zholim kepada ketidakadilan.

11 Mei 2013

opini musri nauli : PENYITAAN OLEH KPK

Dalam sebuah headline di berbagai media massa, diceritakan, KPK akan “menyita” menyita tiga mobil yang ada di areal parkir Kantor DPP PKS, Jalan TB Simatupang. Tiga mobil yang disita adalah VW Caravelle B 948 RFS, Mazda CX 9 B 2 MDF dan Fortuner B 544 RFS. Salah satu mobil adalah milik mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan sisanya merupakan mobil operasional PKS.

Perdebatan muncul. Apakah KPK bisa “menyita” tanpa izin dari pengadilan ?


Secara prinsip, mengenai penyitaan, penangkapan, penahanan, penggeledahan (baik orang maupun rumah) merupakan perbuatan yang harus diatur didalam hukum. Didalam KUHAP, biasa dikenal dengan istilah “upaya paksa”. Sebagai upaya paksa, maka terhadap ketentuan mengaturnya diatur oleh hukum.

Pentingnya mengatur “upaya paksa” merupakan perlindungan hak asasi manusia dari perbuatan yang sewenang-wenang. Sebagai negara yang menjunjung negara hukum (rechtstaat), perlindungan dari perbuatan sewenang-wenang merupakan ciri khas dibandingkan dari negara barbar. Negara yang sewenang-wenang.

Demikianlah pikiran kita mengenai “upaya paksa” yang didalamnya juga mengatur tentang “penyitaan”. Ketentuan mengenai hal itu dapat kita lihat didalam KUHAP.

Namun secara prinsip, KUHAP yang berasal dari UU No. 8 Tahun 1981 hanya mengatur prinsip-prinsip umum. Prinsip umum dapat dikecualikan dengan ketentuan yang mengatur khusus. Dalam ilmu hukum biasa dikenal dengan istilah “lex spesialis derogat lex generalis”. Artinya Ketentuan khusus dapat mengenyampingkan ketentuan umum.

Nah. Sekarang mari kita lihat bagaimana ketentuan yang mengaturnya. Didalam KUHAP telah diatur mengenai “penyitaan”. Pada pasal 1 ayat (16) KUHAP dijelaskan “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Sedangkan pasal 38 KUHAP dijelaskan “(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Namun menggunakan asas “lex spesialis derogat lex generalis”, maka ketentuan pasal 38 KUHAP dapat dikesampingkan. Pasal 38 KUHAP merupakan asas-asas yang umum dimana dapat dikecualikan dengan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK.

Pasal 47 ayat (1) UU KPK “Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. Sedangkan ayat (2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini. Ayat (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang sekurang- kurangnya memuat nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut. Tandatangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan dan tandatangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut. Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.

Untuk menegaskan asas “lex speciali derogat lex generalis”, maka pasal 47 ayat (2) UU KPK menegaskan “Sedangkan ayat (2) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini. Kata-kata “ketentuan peraturan yang mengatur tentang penyitaan” sebenarnya merujuk kepada pasal 38 KUHAP.

Dengan menggunakan asas ““lex speciali derogat lex generalis” dan pasal 47 ayat (2) UU KPK, maka penyidik KPK dapat melakukan penyitaan tanpa “izin” dari Ketua Pengadilan.

Advokat, Tinggal di Jambi
Dimuat di Posmetronline, 11 Mei 2013
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/18107-penyitaan-oleh-kpk.html

06 Mei 2013

opini musri nauli : BASIS KONSTITUANTE WALHI ADALAH MANDAT RAKYAT

Basis konstituante Walhi adalah mandat rakyat.
Walhi bertanggung jawab terhadap mandat rakyat
Keterangan Anwar Sadat dan Dedek Chaniago.
PN Palembang, 2 Mei 2013


Seakan-akan mau copot jantung, darah menggelora, nafas terenggah-engah, pikiran seakan terbang, ketika Anwar Sadat dengan tegas, tangan kiri mengepal menjawab pertanyaan ketika salah satu anggota majelis bertanya. Pertanyaan yang sungguh mengganggu “Apa itu Walhi” (dengan tekanan yang meremehkan). “Apa kepentingan saudara mengikuti aksi tanggal 29 Januari 2013 di Polda Sumsel”.

05 Mei 2013

opini musri nauli : makna hutan dari berbagai sudut pandang



Dalam sebuah diskusi kecil di Eknas Walhi, ada pernyataan menarik untuk didiskusikan. Bagaimana cara kita memandang hutan ?

Membicarakan hutan dengan pendekatan hukum tentu saja bisa kita baca di ketentuan perundang-undangan. Pandangna negara terhadap hutan dapat kita lihat UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

02 Mei 2013

opini musri nauli : TAFSIR SESAT PASAL 197 KUHAP



Eksekusi Susno Duaji tidak berhasil dilakukan oleh Kejaksaan. Demikian berita yang berseliweran di berbagai media massa.

Berita itu mengalahkan berita akan naiknya BBM, berita tentang Eyang Subur dan tentu saja meninggalnya Dai Uje.

28 April 2013

opini musri nauli : Pengelolaan Hutan berdasarkan Tembo



PENGELOLAAN HUTAN BERDASARKAN TAMBO
(Studi Kasus di Hutan Desa Kabupaten Merangin, Jambi)


Pendahuluan

Membicarakan Hutan Desa di Kabupaten Merangin1 tidak dapat dipisahkan dari LUAK XVI2. Sebagai masyarakat hukum adat, Luak XVI memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari cara dan model pengelolaan hutan.

Luak XVI menjadi pembahasan cukup serius ketika mengadvokasi masyarakat yang termasuk kedalam izin HTI PT. DAM3. Dalam perjalanan proses perizinan mendapat penolakan besar-besaran dari masyarakat namun kurang diindahkan oleh pihak Kementrian Kehutanan.