05 Mei 2013

opini musri nauli : makna hutan dari berbagai sudut pandang



Dalam sebuah diskusi kecil di Eknas Walhi, ada pernyataan menarik untuk didiskusikan. Bagaimana cara kita memandang hutan ?

Membicarakan hutan dengan pendekatan hukum tentu saja bisa kita baca di ketentuan perundang-undangan. Pandangna negara terhadap hutan dapat kita lihat UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Semangat memandang hutan dapat kita lihat di UU No. 41 Tahun 1999. Dalam pertimbangannya, telah ditegaskan “bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Lebih lanjut kemudian diterangkan “bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat.

Dalam pasal 1 ayat (1) “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. UU No. 41 tahun 1999 kemudian memberikan definisi hutan seperti hutan negara, hutan hak, hutan adat, hutan produksi. Didalam peraturan Menteri Kehutanan kemudian diatur mengenai hutan seperti Hutan tanaman industri, hutan desa, Hutan Kemasyarakatan dan hutan Tanaman Rakyat. Semuanya memberikan “privilege” kepada pemegang izin dan memberikan hak pengelolaan terhadapnya.
Dalam konsepsi terhadap hutan, memang tidak dapat dipisahkan dari UUPA. Pertama. Paradigma didalam melihat UUPA dalam tatanan peraturan perundang-undangan. Mahfud, MD dalam Disertasinya telah menyatakan UUPA salah satu UU yang termasuk dalam klasifikasi sebagai UU yang responsif dalam perkembangan zaman. Adnan Buyung Nasution menyatakan UUPA dan KUHAP merupakan karya agung anak bangsa.
Secara prinsip, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna ”dikuasai oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet. Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.

Makna ”dikuasai oleh negara” yang telah diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.

Atau dengan kata lain, UUPA mengatur tentang berkaitan dengan keagrarian di Indonesia, sedangkan UU sektoral hanya mengatur tentang komoditi semata tanpa mempunyai kewenangan mengatur yang berkaitan dengan keagrarian. Misalnya UU Kehutanan berwenang mengatur tentang komoditi mengenai kayu tanpa membicarakan tentang status tanah, UU Perkebunan membicarakan komoditi tanaman perkebunan (sawit, karet, kakao) tanpa membicarakan tentang hak tanah.

Berdasarkan dari uraian paparan yang telah disampaikan, maka sebagian ahli hukum (jurist) kemudian mengidentifikasikan sebagai UU Payung (umbrella act).

Berangkat dari identitas UUPA sebagai umbrella act, maka UUPA merupakan batu uji terhadap UU sektoral. Dari titik ini, sebenarya hasil penelitian yang disampaikan tidak menjawab dari paradigma yang telah penulis sampaikan.
Kedua, Bahwa membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi dari ”keegoisan sektoral” (meminjam istilah yang digunakan Tim Peneliti).

Setelah kita memahami UUPA sebagai umbrella act, maka dalam praktek, ”keegoisme sektoral” ditandai dengan lahirnya undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan.

Ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).

Dengan demikian, maka Ketentuan UU Kehutanan memunculkan sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Prinsip sebenarnya sudah dicabut berdasarkan oleh UUPA. Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati
Ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).
Pandangan Konstitusi terhadap Hutan

Pandangna hutan oleh konstitusi dapat dilihat didalam pertimbangan MK. Perspektif konstitusi didalam melihat dan memandang hutan dapat dilihat dalam pertimbangan MK (legal reasioning) yang menganggap bahwa “negara harus mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah kawasan hutan dengan tujuan diurusdan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Putusan MK juga didasarkan kepada Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011, yang menegaskan“Bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers).

Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan”.

Yang menarik adalah bahwa pertimbangan Putusan Nomor 32/PUU-VIII/2010 juga menjadi sandaran putusan Nomor 34/PUU-IX/2011. Didalam pertimbangan putusan MK ditegaskan “penggunaan kata “dengan memperhatikan” dalam Pasal 10 huruf b UU 4/2009 sebenarnya memiliki makna imperatif yang menegaskan bahwa Pemerintah, saat menetapkan WP, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945].

Dengan melihat rumusan pertimbangan yang digunakan, maka MK kemudian kembali “menegaskan” hak menguasai negara yang dirumuskan “kewenangan Pemerintah menetapkan suatu kawasan adalah salah satu bentuk “penguasaan negara atas bumi dan air yang didasarkan kepada ketentuan hukum dan memperhatikan hak-hak masyarakat terlebih dahulu termasuk hak hak masyarakat tradisional, hak milik, atau hak-hak lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak.

MK didalam putusannya, selain UU Kehutanan hanya mengindahkan hak masyarakat hukum adat, padahal seharusnya juga memperhatikan hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat, sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan. MK kemudian menegaskan dalam wilayah tertentu dapat saja terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah. Hak-hak yang demikian harus mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak- hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat yang telah diakui.

Dengan melihat rumusan pertimbangan MK, maka MK kembali menegaskan, tentang hak menguasai negara dan hak perseorangan sebagai identitas yang khas yang menjadi kepastian hukum terhadap hak.