Dalam
sebuah diskusi kecil di Eknas Walhi, ada pernyataan menarik untuk
didiskusikan. Bagaimana cara kita memandang hutan ?
Membicarakan
hutan dengan pendekatan hukum tentu saja bisa kita baca di ketentuan
perundang-undangan. Pandangna negara
terhadap hutan dapat kita lihat UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan.
Semangat
memandang hutan dapat kita lihat di UU No. 41 Tahun 1999. Dalam
pertimbangannya, telah ditegaskan “bahwa hutan, sebagai karunia
dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa
Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan
manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri,
diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun
generasi mendatang. Lebih lanjut kemudian diterangkan “bahwa
hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan
sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena
itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya
dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif,
bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat.
Dalam
pasal 1 ayat (1) “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan. UU
No. 41 tahun 1999 kemudian memberikan definisi hutan seperti hutan
negara, hutan hak, hutan adat, hutan produksi. Didalam peraturan
Menteri Kehutanan kemudian diatur mengenai hutan seperti Hutan
tanaman industri, hutan desa, Hutan Kemasyarakatan dan hutan Tanaman
Rakyat. Semuanya memberikan “privilege” kepada pemegang izin dan
memberikan hak pengelolaan terhadapnya.
Dalam
konsepsi terhadap hutan, memang tidak dapat dipisahkan dari UUPA.
Pertama.
Paradigma didalam melihat UUPA dalam tatanan peraturan
perundang-undangan. Mahfud, MD dalam Disertasinya telah menyatakan
UUPA salah satu UU yang termasuk dalam klasifikasi sebagai UU yang
responsif dalam perkembangan zaman. Adnan Buyung Nasution menyatakan
UUPA dan KUHAP merupakan karya agung anak bangsa.
Secara
prinsip, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ” Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Makna ”dikuasai oleh negara”
(Hak Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein
verklaring
dalam Agrarische Wet.
Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam
Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan
kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3)
pengaturan (regelendaad), (4)
pengelolaan (beheersdaad) dan
(5)
pengawasan
(toezichthoudensdaad). Begitu
hakikinya makna ”dikuasai
oleh negara”
yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan
”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta
merumuskan sebagai ”sosialisme
Indonesia”.
Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara
liberalisme.
Makna
”dikuasai oleh negara”
yang telah diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian diterjemahkan
secara langsung oleh UUPA.
Atau
dengan kata lain, UUPA mengatur tentang berkaitan dengan keagrarian
di Indonesia, sedangkan UU sektoral hanya mengatur tentang komoditi
semata tanpa mempunyai kewenangan mengatur yang berkaitan dengan
keagrarian. Misalnya UU Kehutanan berwenang mengatur tentang komoditi
mengenai kayu tanpa membicarakan tentang status tanah, UU Perkebunan
membicarakan komoditi tanaman perkebunan (sawit, karet, kakao) tanpa
membicarakan tentang hak tanah.
Berdasarkan
dari uraian paparan yang telah disampaikan, maka sebagian ahli hukum
(jurist)
kemudian mengidentifikasikan sebagai UU Payung (umbrella
act).
Berangkat
dari identitas UUPA sebagai umbrella
act,
maka UUPA merupakan batu uji terhadap UU sektoral. Dari titik ini,
sebenarya hasil penelitian yang disampaikan tidak menjawab dari
paradigma yang telah penulis sampaikan.
Kedua,
Bahwa membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran
implementasi dari ”keegoisan sektoral” (meminjam
istilah yang digunakan Tim Peneliti).
Setelah
kita memahami UUPA sebagai umbrella
act,
maka dalam praktek, ”keegoisme
sektoral”
ditandai dengan lahirnya undang-undang sektoral lainnya seperti UU
Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi,
UU Pertambangan.
Ketidaksinkronan
antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU
Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan
menimbulkan benturan norma (konflik
hukum/Conflict of Law).
Dengan
demikian, maka Ketentuan UU Kehutanan memunculkan sifat kepemilikan
hutan negara yang mirip dengan Domein
Verklaring
pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Prinsip sebenarnya sudah
dicabut berdasarkan oleh UUPA. Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi
pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati
Ketidaksinkronan
antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU
Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan
menimbulkan benturan norma (konflik
hukum/Conflict of Law).
Pandangan
Konstitusi terhadap Hutan
Pandangna
hutan oleh konstitusi dapat dilihat didalam pertimbangan MK.
Perspektif konstitusi didalam melihat dan memandang hutan dapat
dilihat dalam pertimbangan MK (legal reasioning) yang menganggap
bahwa “negara harus mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
berkaitan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan
hutan dan atau mengubah kawasan hutan dengan tujuan diurusdan
dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang.
Putusan
MK juga didasarkan kepada Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011, yang
menegaskan“Bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi
negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus
bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta
tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers).
Penunjukan
belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui
proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan
di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter.
Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi,
tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak
memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak
seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya
dilakukan melalui penunjukan”.
Yang
menarik adalah bahwa pertimbangan Putusan Nomor 32/PUU-VIII/2010 juga
menjadi sandaran putusan Nomor 34/PUU-IX/2011. Didalam pertimbangan
putusan MK ditegaskan “penggunaan kata “dengan memperhatikan”
dalam Pasal 10 huruf b UU 4/2009 sebenarnya memiliki makna imperatif
yang menegaskan bahwa Pemerintah, saat menetapkan WP, berkewajiban
menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi
kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak
konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H
ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945].
Dengan
melihat rumusan pertimbangan yang digunakan, maka MK kemudian kembali
“menegaskan” hak menguasai negara yang dirumuskan “kewenangan
Pemerintah menetapkan suatu kawasan adalah salah satu bentuk
“penguasaan negara atas bumi dan air yang didasarkan kepada
ketentuan hukum dan memperhatikan hak-hak masyarakat terlebih dahulu
termasuk hak hak masyarakat tradisional, hak milik, atau hak-hak
lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelesaian
terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak.
MK
didalam putusannya, selain UU Kehutanan hanya mengindahkan hak
masyarakat hukum adat, padahal seharusnya juga memperhatikan hak-hak
atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat, sebagaimana ketentuan Pasal
4 ayat (3) UU Kehutanan. MK kemudian menegaskan dalam wilayah
tertentu dapat saja terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah,
seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak
lainnya atas tanah. Hak-hak yang demikian harus mendapat perlindungan
konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4)
UUD 1945. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara harus juga
memperhatikan hak- hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat
yang telah diakui.
Dengan
melihat rumusan pertimbangan MK, maka MK kembali menegaskan, tentang
hak menguasai negara dan hak perseorangan sebagai identitas yang khas
yang menjadi kepastian hukum terhadap hak.