04 Juni 2013

opini musri nauli : Mendengarkan kesaksian para penyelamat hutan


Perjalanan ke Margo Sungai Tenang “seakan-akan” memenuhi rindu akan suara burung, rindu sejuknya Desa, gemercik suara air sungai ataupun dentangan nada-nada bijak memandang alam.
Rindu ini seakan-akan bermakna, disaat kita bicara hutan belajar dari konsep negara, konsep pengetahuan yang terus diproduksi oleh negara-negara utara.
Rindu akan pengetahuan lama yang terbukti mampu memandang dan menjaga hutan.

Perjalanan dimulai dari Desa Tanjung Benuang, Kecamatan Sungai Tenang, Kabupaten Merangin. Kesempatan untuk mampir di Desa Tanjung Benuang, selain karena sudah lama tidak kesana, juga sudah beberapa kali di telephone agar kalo mau ke Sungai Tenang, mampir di Desa-desa.

Kesempatan ini tidak disia-siakan. Setelah berkesempatan ada waktu untuk mampir, penulis “mendengarkan” kesaksian masyarakat didalam menjaga hutan.
Desa Tanjung Benuang telah menerima izin hutan Desa dari Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Nomor SK.441/Menhut-II/2011 seluas 1254 hektar. Sebelum meneria SK dari Menteri Kehutanan, Desa Sungai Benuang mempunyai pengetahuan yang arif. 
 
Desa Tanjung Benuang mengikrarkan diri sebagai keturunan dari Depati Suko Menggalo. Pengetahun tentang Desa diikrarkan dengan istilah tambo1. Tambo adalah batas Margo yang ditandai dengan tanda-tanda alam.
Tambo Desa Tanjung Benuang “Dari telun tujuh yang ketigo ke renah bukit serik(batu panjang) ke sungai tengan dari sungai tengan ke alen pelarung ke pematang asal bunting ke rantau lolo sungai lolo terus ke napal belepang bukit tungkat turun ke lubuk merah sungai kandis ke renah sungai kandis muaro sungai langkon ke renah tabu gelanggang ke renah sawah bekisah ke lubuk panjang bawah betung sungai tembesi balik ke telun tujuh yang ke tigo.

Sebagai wujud nyata masyarakat Desa Tanjung Benuang mempunyai kearifan yang panjang didalam memandang hutan ditandai dengan membuat peraturan desa yang berangkat dari pengetahuan yang mereka kuasai.

Didalam Peraturan Desa2, adanya pantang larang yang terdiri dari berbagai larangan3, tata cara membuka hutan yang ditandai dengan berbagai seloko seperti Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak4, Lambas5, SESAP RENDAH, BELUKAR TINGGI6

Sedangkan terhadap masyarakat di luar Desa Tanjung Benuang dimulai dengan tata cara seperti Dimana Tembilang tecacak, disitu ubi berisi7, Mencari induk semang8, Nasi putih air jernih. Masuk petang, keluar pagi9.

Mereka juga mengenal retribusi terhadap hasil sumber daya alam yang biasa dikenal dengna istilah “ke aek bebungo pasir, ke darat bebungo kayu”. Untuk menguatkan retribusi, seloko digunakan “Adat samo diisi, Tembago Sama dituang. Berat sama di pikul, ringan sama dijinjing.

Terhadap Sanksi adat biasa ditandai dengan kambing Sekok, beras 20,-, emas 7 tail sepaho. Atau Beras 2 ayam 2. Denda dijatuhkan senilai Beras dua gantang dan ayam dua ekor10.

Sedangkan terhadap penyelesaian berbagai sengketa yang timbul dari proses dilanggarnya Peraturan Desa ditandai seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun. Proses yang dilalui seperti Dari Suku membawa ke nenek mamak. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala Desa.

Begitu arif dan dalamnya pengetahuan yang mereka miliki membuat kita “seakan-akan” belajar dan meneguk air yang sumur yang sangat dalam. Semakin digali, semakin airnya banyak mengalir dan kita tidak puas-puasnya menggali sumur itu
Setelah mendengarkan “kesaksian” mereka yang mampu menjaga hutan, perjalanan dilanjutkan ke Desa Kotobaru.

Desa Koto Baru mendapatkan izin Hutan Desa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.442/Menhut-II/2011 seluas 762 hektar.
Masyarakat Desa Kotobaru mengikrarkan diri sebagai keturunan dari Depati Suko Berajo.

Desa Kotobaru berasal dari Desa Gedang yang dahulu kala dipimpin oleh Depati Suko Derajo. Penduduknya kemudian Betalang jauh, beladang suluk dan pindah ke Pondok cincin. Kemudian pindah ke Mangala Lengis yang dipimpin oleh Depati Benda Tenap. Kemudian atas perintah Depati Karto Dewo dianjak ke Sungai Maram Dusun Kotobaru. Kemudian becacak tanam dan kemudian menjadi Desa Kotobaru.

Pada kesempatan ini, penulis menjadi saksi bagaimana mereka merumuskan persoalan-persoalan sumber daya alam berangkat dari pengetahuan dari sejarah yang panjang.
Mereka juga mengenal “pantang larang”, Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak11, Rapat Besar12, Jeluang13, Belukar Lasah14.

Mereka juga mengenal JENJANG ADAT. Proses penyelesaiannya dimulai dari Dari Suku membawa ke tuo tengganai. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Dkepala Dusun memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Desa dapat melaporkannya sesuai dengan hukum yang berlaku.

Setelah membahas “Peraturan Desa Depati Suko Berajo” di Desa Kotobaru, maka pada kesempatan juga digunakan untuk “berkunjung” ke Desa Tanjung Mudo dan Desa Tanjung Alam.

Kedatangan ke Desa Tanjung Mudo, memang sudah lama tidak ditempuh. Hampir praktis 3 tahun tidak kesana. Padahal hampir praktis, setiap 6 bulan Kepala Desa Tanjung Mudo selalu mampir ke Walhi Jambi. Sehingga kedatangan ke Desa Tanjung Mudo “harus dipaksakan” sebagai janji turun kesana.

Desa Tanjung Mudo telah menerima izin hutan desa Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.444/Menhut-II/2011 seluas 1058 hektar.

Setelah menerima izin hutan Desa, masyarakat Desa Tanjung Mudo kemudian membuat peraturan Desa yang kemudian mereka menyebutkan “Piagam Rio Penganggun Jago Bayo”.

Masyarakat Desa Tanjung Mudo mempunyai Tambo yang berbunyi “Batas dengan tanjung alam muaro sungai titian teras ke sungai jangkang ke genting tanjung alam kemudian bukit sedingin, arah ke Desa Koto Teguh sepanjang sungai tembesi perbatasan dengan TNKS lereng Gunung Masurai.
Mereka mengenal “pantang larang”, tata cara membuka hutan seperti Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin15, Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi16 Cacak Tanam, Jambu Kleko17.

Secara umumnya mereka juga mengenal “ke aek bebungo pasir, ke darat bebungo kayu, sanksi adat dan tata cara menyelesaikan persoalan.

Ini ditandai dengan Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.

Pembicaraan mengalir seperti air. Diskusi selalu diselingi dengan canda tawa. Selain memang hubungan sudah terbangun cukup lama, persoalan pelik selalu dijawab dengan gurauan canda. Memang rindu selalu belajar dari masyarakat. Persoalan pelik selalu ditemukan jawaban yang logis yang membuktikan mereka sudah lama memandang dan mengelola hutan demi kelangsungan hidup anak cucu mereka.

Kesempatan untuk ke Desa Tanjung Alam tidak sempat dilakukan selain karena perjalanan yang tidak mungkin ditempuh juga didasarkan kepada musim hujan yang tidak memungkinkan kesana. Namun dengan via telephone sudah dikabarkan dan masyarakat sudah mengetahui kedatangan.

DEPATI DAN RIO

Apabila sekilas kita perhatikan, maka adanya kata-kata seperti “Depati” dan “Rio”. Dalam berbagai dokumen disebutkan “Margo adalah kepala Pemerintahan. Pesirah18 merupakan orang semendo19. Rio merupakan putra asli. Sedangkan Depati dan Bathin merupakan Kepala Pemerintahan di tingkat Dusun. Depati merupakan orang semendo. Bathin merupakan putra asli.
Sedangkan menurut F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Dusun adalah kumpulan kampung atau kelabu. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman)20.

Dengan melihat keterangan yang disampaikan oleh F. J Tideman, maka ada perbedaan yang mendasar mengenai istilah “Rio”. “Rio” adalah Kepala Pemerintahan Margo. “Rio” merupakan Putra Asli. Bandingkan dengan Keterangan F. J. Tideman yang menganggap “Rio” adalah Kepala Pemerintahan setingkat Dusun.

Dalam penjelasan lebih lanjut F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar diterangkan, “Kepala-kepala Adat di Kesultanan – Federasi, dusun, kampung menggunakan berbagai macam-macam gelar, seperti Rio, Rio Depati, Rio Pamuncak, Tumenggung, Depati, Kedenang, Lurah, Penghulu, Mangku. Mereka memiliki wewenang pelaksanaan hukum besar atau hukum kecil21.

Tanah adat merupakan suatu wilayah (teritorial) sebagai satu kesatuan bentang tanah, satu kesatuan biosfisik dan masyarakat hukum adat yang mendiaminya serta memiliki interaksi secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Tanah adat merupakan suatu wilayah yang mencakup sawah, ladang, hutan, rimbo, lebak, lebung, gunung, lekuk, sungai, danau. Zaman Kerajaan Melayu Jambi, wilayah telah terbagi habis menjadi tanah adat yang dikepalai oleh kepala adat.

Kesatuan teritorial (wilayah) dengan batas-batas yang disepakati, semua yang terdapat didalamnya merupakan tanah adat dusun atau negeri tersebut. Tanah adat ini merupakan miliki bersama penduduk dusun sebagai mana disebut keayek samo diperikon kedarat samo diperotan artinya ke daerah perairan sama-sama mengambil ikan ke daerah daratan sama-sama mengambil rotan. Tanah adat merupakan tempat beumah belaman, berumo beladang artinya tempat mendirikan rumah (dalam skala luas berarti pemukiman atau kampung) berserta halamannya, tempat ber-humo (membuka areal persawahan) dan tempat berladang (membuka areal pertanian, perkebunan dan perladangan).

Dalam Perjalanan pulang, perjalanan ditempuh tidak melalui Lembah Masurai melalui Tanjung Dalam. Tapi Dari Desa Kotobaru melalui Pulau Tengah, Muara Madras, Renah Alai. Perjalanan ini sengaja ditempuh untuk melihat “janji” Gubernur Jambi yang berjanji akan membangun jalan Bangko – Jangkat dengan tahap multiyears.

Janji ini bisa dirasakan. Yang pasti perjalanan dengan aspal mulus dari Rantau Suli merupakan ibukota kecamatan Sungai Tenang hingga ke Desa Sungai Lalang. Dari Sungai lalang hingga ke Ibukota Kecamatan Lembah Masurai sedang pengerasan jalan. Sedangkan dari Lembah Masurai hingga ke Bangko kembali mulus.

Perjalanan merupakan “pemenuhan rindu” belajar dari masyarakat yang langsung menjaga dan mengelola hutan. Mereka mampu mengidentifikasi dan mengaktualkan diri sebagai identitas masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.


1Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII, Januari 1978.

2Mereka menyebutkan “Keputusan Depati Suko Menggalo”.

3 Seperti Ulu Sungai, Gunung, lereng sungai, Harimau diburu dan dibunuh, Tanaman yang menghasilkan seperti Pohon Durian, Pohon petai, pohon embacang, pohon rambutan tidak boleh dipanjat, Ikan tidak boleh diracun.

  1. 4Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak, Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat. Hutan yang Dibuka dilakukan secara kelompok
5LAMBAS. setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara membuat pagar bambu dan harus membuka selama 3 bul
  1. 6SESAP RENDAH, BELUKAR TINGGI. Apabila tanah dibuka tidak ditanami, maka tidak ada hak
  • 7Dimana Tembilang tecacak, disitu ubi berisi. Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat. Setiap pendatang yang masuk ke Desa Tanjung Benuang harus Memenuhi persyaratan administrasi kependudukan, mengikuti segala hukum adat dan bersedia melaksanakan hukum adat.
  • 8Mencari induk semang selama 6 enam) bulan.
9Nasi putih air jernih. Masuk petang, keluar pagi. Kemudian induk semang mengabarkan kepada Kepala Desa dan mengadakan rapat

10Beras 2 ayam 2. Denda dijatuhkan senilai Beras dua gantang dan ayam dua ekor. KATO DAK SERENTAK, RUNDING DAK SELUKUR” Membuka hutan bukan pada waktu yang ditentukan.

11Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat
  1. 12Rapat Besar. Lembaga adat mengadakan “Rapat Besar” pada hari ke 7 Lebaran Besar (idul Fitri) untuk menentukan pembagian kelompok membuka rimbo.
    1. 13Jeluang. setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara menanam phon jeluang dan harus membuka selama 3 bulan.
  1. 14Belukar Lasah. Areal yang dulunya berupa hutan kemudian dibuka tapi tidak jelas lagi siapa yang membukanya, kemudian ditetapkan melalui mufakat desa untuk dijadikan areal pertanian semusim yang boleh dikelola secara bersama oleh masyarakat dusun setempat.
  • 15Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin. Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat;
  • 16Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi Apabila pemilik tanah pergi meninggalkan Desa dan mencari kehidupan diluar Desa, maka tanah berasal dari Rimbo yang telah dibuka maka menjadi hak milik. Sedangkan sesap jerami kembali ke penghulu.
17Cacak Tanam, Jambu Kleko. Tanah yang telah dibuka diberi tanda dengan menanam pohon seperti jeluang

18Dari berbagai sumber, juga disebutkan Pesirah (margahoofd) adalah kepala pemerintahan margapada masa Hindia-Belanda di wilayah Zuid Sumatra (Sumatera Selatan yang wilayahnya bukan seperti saat ini). Pesirah merupakan seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa. Pasirah adalah salah satu elite tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun. Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862.

19 Orang semendo merupakan orang bukan putra daerah, namun sudah lama tinggal di suatu daerah. Sudah punya induk semang. Mempunyai kebijaksanaan dan mempunyai pengetahuan tentang adat dan dihormati. Sehingga diangkat menjadi pemimpin baik di tingkat Margo yang disebut sebagai Pesirah dan Rio. Di tingkat Dusun, orang semendo dikenal dengan istilah Depati. Sedangkan putra asli adalah Bathin. Keterangan ini kemudian didukung oleh Lihat Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 330 sebagaimana dikutip dari “memorie van Overgave, V.E. Korn, 1936

20Lihat F. J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi, Koninklijke Vereeniging, Amsterdam, 1938

21Ibid