Perjalanan
ke Margo Sungai Tenang “seakan-akan” memenuhi rindu akan suara
burung, rindu sejuknya Desa, gemercik suara air sungai ataupun
dentangan nada-nada bijak memandang alam.
Rindu
ini seakan-akan bermakna, disaat kita bicara hutan belajar dari
konsep negara, konsep pengetahuan yang terus diproduksi oleh
negara-negara utara.
Rindu
akan pengetahuan lama yang terbukti mampu memandang dan menjaga
hutan.
Perjalanan
dimulai dari Desa Tanjung Benuang, Kecamatan Sungai Tenang, Kabupaten
Merangin. Kesempatan untuk mampir di Desa Tanjung Benuang, selain
karena sudah lama tidak kesana, juga sudah beberapa kali di telephone
agar kalo mau ke Sungai Tenang, mampir di Desa-desa.
Kesempatan
ini tidak disia-siakan. Setelah berkesempatan ada waktu untuk mampir,
penulis “mendengarkan” kesaksian masyarakat didalam menjaga
hutan.
Desa
Tanjung Benuang telah menerima izin hutan Desa dari Menteri Kehutanan
berdasarkan Surat Keputusan Nomor SK.441/Menhut-II/2011 seluas 1254
hektar. Sebelum meneria SK dari Menteri Kehutanan, Desa Sungai
Benuang mempunyai pengetahuan yang arif.
Desa
Tanjung Benuang mengikrarkan diri sebagai keturunan dari Depati Suko
Menggalo. Pengetahun tentang Desa diikrarkan dengan istilah tambo1.
Tambo adalah batas Margo yang ditandai dengan tanda-tanda alam.
Tambo
Desa Tanjung Benuang “Dari
telun tujuh yang ketigo ke renah bukit serik(batu panjang) ke sungai
tengan dari sungai tengan ke alen pelarung ke pematang asal bunting
ke rantau lolo sungai lolo terus ke napal belepang bukit tungkat
turun ke lubuk merah sungai kandis ke renah sungai kandis muaro
sungai langkon ke renah tabu gelanggang ke renah sawah bekisah ke
lubuk panjang bawah betung sungai tembesi balik ke telun tujuh yang
ke tigo.
Sebagai
wujud nyata masyarakat Desa Tanjung Benuang mempunyai kearifan yang
panjang didalam memandang hutan ditandai dengan membuat peraturan
desa yang berangkat dari pengetahuan yang mereka kuasai.
Didalam
Peraturan Desa2,
adanya pantang larang yang terdiri dari berbagai larangan3,
tata cara membuka hutan yang ditandai dengan berbagai seloko seperti
Alam
berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak4,
Lambas5,
SESAP RENDAH, BELUKAR TINGGI6
Sedangkan
terhadap masyarakat di luar Desa Tanjung Benuang dimulai dengan tata
cara seperti Dimana
Tembilang tecacak, disitu ubi berisi7,
Mencari induk semang8,
Nasi
putih air jernih. Masuk petang, keluar pagi9.
Mereka
juga mengenal retribusi terhadap hasil sumber daya alam yang biasa
dikenal dengna istilah “ke aek bebungo pasir, ke darat bebungo
kayu”. Untuk menguatkan retribusi, seloko digunakan “Adat
samo diisi, Tembago Sama dituang. Berat sama di pikul, ringan sama
dijinjing.
Terhadap
Sanksi adat biasa ditandai dengan kambing
Sekok, beras 20,-,
emas 7 tail sepaho. Atau Beras 2 ayam 2. Denda dijatuhkan senilai
Beras dua gantang dan ayam dua ekor10.
Sedangkan
terhadap penyelesaian berbagai sengketa yang timbul dari proses
dilanggarnya Peraturan Desa ditandai seloko ““Yang
berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung
putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek,
menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang
turun. Proses yang dilalui seperti Dari Suku membawa ke nenek mamak.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada
Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun
memberitahu kepada kepala Desa.
Begitu
arif dan dalamnya pengetahuan yang mereka miliki membuat kita
“seakan-akan” belajar dan meneguk air yang sumur yang sangat
dalam. Semakin digali, semakin airnya banyak mengalir dan kita tidak
puas-puasnya menggali sumur itu
Setelah
mendengarkan “kesaksian” mereka yang mampu menjaga hutan,
perjalanan dilanjutkan ke Desa Kotobaru.
Desa
Koto Baru mendapatkan izin Hutan Desa berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor SK.442/Menhut-II/2011 seluas 762 hektar.
Masyarakat
Desa Kotobaru mengikrarkan diri sebagai keturunan dari Depati Suko
Berajo.
Desa
Kotobaru berasal dari Desa Gedang yang dahulu kala dipimpin oleh
Depati Suko Derajo. Penduduknya kemudian Betalang jauh, beladang
suluk dan pindah ke Pondok cincin. Kemudian pindah ke Mangala Lengis
yang dipimpin oleh Depati Benda Tenap. Kemudian atas perintah Depati
Karto Dewo dianjak ke Sungai Maram Dusun Kotobaru. Kemudian becacak
tanam dan kemudian menjadi Desa Kotobaru.
Pada
kesempatan ini, penulis menjadi saksi bagaimana mereka merumuskan
persoalan-persoalan sumber daya alam berangkat dari pengetahuan dari
sejarah yang panjang.
Mereka
juga mengenal “pantang larang”, Alam
berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak11,
Rapat Besar12,
Jeluang13,
Belukar
Lasah14.
Mereka
juga mengenal JENJANG
ADAT.
Proses penyelesaiannya dimulai dari Dari Suku membawa ke tuo
tengganai. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada
Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Dkepala Dusun
memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan,
maka kepala Desa dapat melaporkannya sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Setelah
membahas “Peraturan Desa Depati Suko Berajo” di Desa Kotobaru,
maka pada kesempatan juga digunakan untuk “berkunjung” ke Desa
Tanjung Mudo dan Desa Tanjung Alam.
Kedatangan
ke Desa Tanjung Mudo, memang sudah lama tidak ditempuh. Hampir
praktis 3 tahun tidak kesana. Padahal hampir praktis, setiap 6 bulan
Kepala Desa Tanjung Mudo selalu mampir ke Walhi Jambi. Sehingga
kedatangan ke Desa Tanjung Mudo “harus dipaksakan” sebagai janji
turun kesana.
Desa
Tanjung Mudo telah menerima izin hutan desa Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.444/Menhut-II/2011 seluas 1058
hektar.
Setelah
menerima izin hutan Desa, masyarakat Desa Tanjung Mudo kemudian
membuat peraturan Desa yang kemudian mereka menyebutkan “Piagam Rio
Penganggun Jago Bayo”.
Masyarakat
Desa Tanjung Mudo mempunyai Tambo yang berbunyi “Batas
dengan tanjung alam muaro sungai titian teras ke sungai jangkang ke
genting tanjung alam kemudian bukit sedingin, arah ke Desa Koto Teguh
sepanjang sungai tembesi perbatasan dengan TNKS lereng Gunung
Masurai.
Mereka
mengenal “pantang larang”, tata cara membuka hutan seperti Alam
sekato Rajo, Negeri sekato batin15,
Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi16
Cacak Tanam, Jambu Kleko17.
Secara
umumnya mereka juga mengenal “ke aek bebungo pasir, ke darat
bebungo kayu, sanksi adat dan tata cara menyelesaikan persoalan.
Ini
ditandai dengan Yang
berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung
putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek,
menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu,
Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.
Pembicaraan
mengalir seperti air. Diskusi selalu diselingi dengan canda tawa.
Selain memang hubungan sudah terbangun cukup lama, persoalan pelik
selalu dijawab dengan gurauan canda. Memang rindu selalu belajar dari
masyarakat. Persoalan pelik selalu ditemukan jawaban yang logis yang
membuktikan mereka sudah lama memandang dan mengelola hutan demi
kelangsungan hidup anak cucu mereka.
Kesempatan
untuk ke Desa Tanjung Alam tidak sempat dilakukan selain karena
perjalanan yang tidak mungkin ditempuh juga didasarkan kepada musim
hujan yang tidak memungkinkan kesana. Namun dengan via telephone
sudah dikabarkan dan masyarakat sudah mengetahui kedatangan.
DEPATI
DAN RIO
Apabila
sekilas kita perhatikan, maka adanya kata-kata seperti “Depati”
dan “Rio”. Dalam berbagai dokumen disebutkan “Margo
adalah kepala Pemerintahan. Pesirah18
merupakan orang semendo19.
Rio merupakan putra asli. Sedangkan Depati dan Bathin merupakan
Kepala Pemerintahan di tingkat Dusun. Depati merupakan orang semendo.
Bathin merupakan putra asli.
Sedangkan
menurut F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Dusun
adalah kumpulan kampung atau kelabu. Pembagian kekuasaan dalam negeri
atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati
atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku
dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman)20.
Dengan
melihat keterangan yang disampaikan oleh F. J Tideman, maka ada
perbedaan yang mendasar mengenai istilah “Rio”. “Rio” adalah
Kepala Pemerintahan Margo. “Rio” merupakan Putra Asli. Bandingkan
dengan Keterangan F. J. Tideman yang menganggap “Rio” adalah
Kepala Pemerintahan setingkat Dusun.
Dalam
penjelasan lebih lanjut F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar diterangkan,
“Kepala-kepala
Adat di Kesultanan – Federasi, dusun, kampung menggunakan berbagai
macam-macam gelar, seperti Rio, Rio Depati, Rio Pamuncak, Tumenggung,
Depati, Kedenang, Lurah, Penghulu, Mangku. Mereka memiliki wewenang
pelaksanaan hukum besar atau hukum kecil21.
Tanah
adat merupakan suatu wilayah (teritorial) sebagai satu kesatuan
bentang tanah, satu kesatuan biosfisik dan masyarakat hukum adat yang
mendiaminya serta memiliki interaksi secara sosial, ekonomi, politik
dan budaya. Tanah adat merupakan suatu wilayah yang mencakup sawah,
ladang, hutan, rimbo, lebak, lebung, gunung, lekuk, sungai, danau.
Zaman Kerajaan Melayu Jambi, wilayah telah terbagi habis menjadi
tanah adat yang dikepalai oleh kepala adat.
Kesatuan
teritorial (wilayah) dengan batas-batas yang disepakati, semua yang
terdapat didalamnya merupakan tanah adat dusun atau negeri tersebut.
Tanah adat ini merupakan miliki bersama penduduk dusun sebagai mana
disebut keayek samo diperikon kedarat samo diperotan artinya ke
daerah perairan sama-sama mengambil ikan ke daerah daratan sama-sama
mengambil rotan. Tanah adat merupakan tempat beumah belaman, berumo
beladang artinya tempat mendirikan rumah (dalam skala luas berarti
pemukiman atau kampung) berserta halamannya, tempat ber-humo (membuka
areal persawahan) dan tempat berladang (membuka areal pertanian,
perkebunan dan perladangan).
Dalam
Perjalanan pulang, perjalanan ditempuh tidak melalui Lembah Masurai
melalui Tanjung Dalam. Tapi Dari Desa Kotobaru melalui Pulau Tengah,
Muara Madras, Renah Alai. Perjalanan ini sengaja ditempuh untuk
melihat “janji” Gubernur Jambi yang berjanji akan membangun jalan
Bangko – Jangkat dengan tahap multiyears.
Janji
ini bisa dirasakan. Yang pasti perjalanan dengan aspal mulus dari
Rantau Suli merupakan ibukota kecamatan Sungai Tenang hingga ke Desa
Sungai Lalang. Dari Sungai lalang hingga ke Ibukota Kecamatan Lembah
Masurai sedang pengerasan jalan. Sedangkan dari Lembah Masurai hingga
ke Bangko kembali mulus.
Perjalanan
merupakan “pemenuhan rindu” belajar dari masyarakat yang langsung
menjaga dan mengelola hutan. Mereka mampu mengidentifikasi dan
mengaktualkan diri sebagai identitas masyarakat hukum adat
(rechtsgemeenschap) yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan
zaman.
1Tambo
berasal
dari
bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam
tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan
turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo
atau
tarambo
dapat
juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno
Diradjo, Dt. Tambo
Alam Minangkabau,
Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai
istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan
suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat
sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan
bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda
alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya.
Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan
masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan
oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN
RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma,
9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah
baru semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi
yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan
sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH
dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam
majalah Orientasi,
nomor
2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV
ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan,
“Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji
Masyarakat,
nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh
Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah
Hukum
dan Pembangunan, nomor
1, Tahun VIII, Januari 1978.
2Mereka
menyebutkan “Keputusan Depati Suko Menggalo”.
3
Seperti Ulu Sungai, Gunung, lereng sungai, Harimau diburu dan
dibunuh, Tanaman yang menghasilkan seperti Pohon Durian, Pohon
petai, pohon embacang, pohon rambutan tidak boleh dipanjat, Ikan
tidak boleh diracun.
- 4Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak, Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat. Hutan yang Dibuka dilakukan secara kelompok
5LAMBAS.
setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara membuat
pagar bambu dan harus membuka selama 3 bul
- 6SESAP RENDAH, BELUKAR TINGGI. Apabila tanah dibuka tidak ditanami, maka tidak ada hak
- 7Dimana Tembilang tecacak, disitu ubi berisi. Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat. Setiap pendatang yang masuk ke Desa Tanjung Benuang harus Memenuhi persyaratan administrasi kependudukan, mengikuti segala hukum adat dan bersedia melaksanakan hukum adat.
- 8Mencari induk semang selama 6 enam) bulan.
9Nasi
putih air jernih.
Masuk
petang, keluar pagi.
Kemudian induk semang mengabarkan kepada Kepala Desa dan mengadakan
rapat
10Beras
2 ayam 2. Denda dijatuhkan senilai Beras dua gantang dan ayam dua
ekor. KATO
DAK SERENTAK, RUNDING DAK SELUKUR” Membuka
hutan bukan pada waktu yang ditentukan.
11Hutan
yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat
- 12Rapat Besar. Lembaga adat mengadakan “Rapat Besar” pada hari ke 7 Lebaran Besar (idul Fitri) untuk menentukan pembagian kelompok membuka rimbo.
- 13Jeluang. setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara menanam phon jeluang dan harus membuka selama 3 bulan.
- 14Belukar Lasah. Areal yang dulunya berupa hutan kemudian dibuka tapi tidak jelas lagi siapa yang membukanya, kemudian ditetapkan melalui mufakat desa untuk dijadikan areal pertanian semusim yang boleh dikelola secara bersama oleh masyarakat dusun setempat.
- 15Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin. Hutan yang dibuka harus sepengetahuan Penghulu dalam rapat Adat;
- 16Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi Apabila pemilik tanah pergi meninggalkan Desa dan mencari kehidupan diluar Desa, maka tanah berasal dari Rimbo yang telah dibuka maka menjadi hak milik. Sedangkan sesap jerami kembali ke penghulu.
17Cacak
Tanam, Jambu Kleko.
Tanah yang telah dibuka diberi tanda dengan menanam pohon seperti
jeluang
18Dari
berbagai sumber, juga disebutkan Pesirah (margahoofd) adalah kepala
pemerintahan margapada masa Hindia-Belanda di wilayah Zuid Sumatra
(Sumatera Selatan yang wilayahnya bukan seperti saat ini). Pesirah
merupakan seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan
memerintah beberapa desa. Pasirah adalah salah satu elite
tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan
acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya.
Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi
sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik
yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian
dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan
adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun. Secara historis
sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial
Belanda Tertanggal 25 Desember 1862.
19
Orang semendo merupakan orang bukan putra daerah, namun sudah lama
tinggal di suatu daerah. Sudah punya induk semang. Mempunyai
kebijaksanaan dan mempunyai pengetahuan tentang adat dan dihormati.
Sehingga diangkat menjadi pemimpin baik di tingkat Margo yang
disebut sebagai Pesirah dan Rio. Di tingkat Dusun, orang semendo
dikenal dengan istilah Depati. Sedangkan putra asli adalah Bathin.
Keterangan ini kemudian didukung oleh Lihat Elsbeth Locher Sholten,
Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi –
Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV,
Jakarta, 2008, Hal. 330 sebagaimana dikutip dari “memorie van
Overgave, V.E. Korn, 1936
20Lihat
F. J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi, Koninklijke
Vereeniging, Amsterdam, 1938
21Ibid