PENGELOLAAN
HUTAN BERDASARKAN TAMBO
(Studi
Kasus di Hutan Desa Kabupaten Merangin, Jambi)
Pendahuluan
Membicarakan
Hutan Desa di Kabupaten Merangin1
tidak dapat dipisahkan dari LUAK XVI2.
Sebagai masyarakat hukum adat, Luak XVI memang menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari cara dan model pengelolaan hutan.
Luak
XVI menjadi pembahasan cukup serius ketika mengadvokasi masyarakat
yang termasuk kedalam izin HTI PT. DAM3.
Dalam perjalanan proses perizinan mendapat penolakan besar-besaran
dari masyarakat namun kurang diindahkan oleh pihak Kementrian
Kehutanan.
Tanggal
24 Maret 2009 Menteri kehutanan mengeluarkan surat perihal Perintah
pemenuhan Kewajiban SP-1 IUPHHK-HTI yaitu memberikan waktu selama 150
hari atau sampai 24 agustus 2009 untuk memenuhi kewajiban AMDAL.
Penolakan atas izin ini terus menguat dengan dukungan dari berbagai
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) / Non Governance Organization (NGO).
LSM di Merangin menanggapi tanggapan- tanggapan dari masyarakat dan
mendukung adanya gerakan penolakan PT Duta Alam Makmur.
Beberapa
LSM di Merangin seperti : Lembaga Tiga Beradik, PAGAR Merangin, JERAM
Merangin, Luhak Enam Belas, Karang Taruna Kecamatan Jangkat, Karang
Taruna Desa Muara Madras, Warung Komunikasi Publik (WARKOP), GP Ansor
Merangin dan TMP2H Melalui FORUM BERSAMA LSM DAN ORMAS PEDULI
LINGKUNGAN KABUPATEN MERANGIN PROPINSI JAMBI melakukan penolakan
terhadap pembangunan HTI PT.Duta Alam Makmur (PT.DAM). Setelah
dilaksanakan konfrensi pers pada tanggal 02 Juli 2009 bertempat di
Lesehan Kondang Asri bersama Pemda Kabupaten Merangin, yang
menyatakan LSM di Merangin mendukung penolakan oleh masyarakat
terhadap PT.Duta Alam Makmur. Kemudian pada tanggal 29 Juli 2009
Forum Bersama LSM dan Ormas Peduli Lingkungan di Merangin mengirimkan
surat nomor 01/FBLO/VII/2009 kepada Menteri Kehutanan, Gubernur Jambi
dan Bupati Merangin perihal Penolakan Izin PT.Duta Alam Makmur di
Kabupaten Merangin Propinsi Jambi.
Disamping
itu dari beberapa diskusi-diskusi kritis beberapa NGO yang concern
terhadap lingkungan hidup di Jambi kemudian disepakati dibentuknya
ALIANSI TOLAK DAM. Aliansi ini bersifat cair dan merupakan aliansi
strategis untuk mengadvokasi penolakan PT Duta Alam Makmur. ALIANSI
TOLAK DAM terdiri dari 18 Lembaga yaitu : Lembaga Tiga Beradik
(L-TB), KKI-Warsi, Walhi Jambi, Perkumpulan Hijau, Perkumpulan Gita
Buana, OPPA Gita Buana Club, CAPPA, SETARA, YLBHL, Pinse, LASSER,
TMP2H, LPM „Patriotik‟ UNBARI, Mapala Gitasada, Mapala Himapasti,
YKR, Mapelbi, Akar Network. Setelah memperhatikan berbagai kajian
aspek lingkungan, daya rusak, kesinambungan ekosistem, daerah
tangkapan air, maka aliansi LSM yang tergabung dalam ALIANSI TOLAK
DAM kemudian memberikan pernyataan bersama untuk menolak rencana
pembangunan Hutan Tanaman Industri PT. Duta Alam Makmur (DAM) Sinar
Mas Group di atas areral eks HPH PT. Sarestra II (47.645 ha), eks HPH
PT. Nusa Lease Timber Coorperation (56.770 ha) dan eks HPH Rimba
Kartika Jaya (14.540 ha) di Provinsi Jambi dengan total luas areal
118.955 ha. Penyataan tersebut tertuang didalam sebuah petisi yang
diikrarkan pada tanggal 14 Juli 2009.
Penolakan
dari masyarakat dan NGO Lingkungan hidup tidak diindahkan oleh
Departemen Kehutanan. Melalui surat resmi Menteri Kehutanan juga
menjawab penolakan masyarakat yang diteruskan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Merangin, dalam surat tersebut Menteri Kehutanan menyatakan
bahwa perizinan IUPHHK-HTI PT.Duta Alam Makmur telah sesuai dengan
peraturan perundangan- undangan dan bagi areal masyarakat yang berada
di areal izin HTI dapat mengajukan keberatan selama memiliki bukti
kepemilikan yang sah.
Kemudian
pada tanggal 6 Agustus 2009 PT Duta Alam Makmur kembali mengajukan
surat kepada Menteri Kehutanan melalui surat nomor 04/DAM-
JKT/VIII/2009 untuk memohon perpanjangan SP-1 IUPHHK HTI. Permohonan
PT.DAM direspon baik oleh Menteri Kehutanan melalui surat nomor :
S.663/Menhut- VI/2009 tanggal 21 Agustus 2009 perihal Perpanjangan
SP-1 IUPHHK-HTI PT.Duta Alam Makmur, pada prinsipnya Departemen
Kehutanan memahami kendala PT.DAM dalam melaksanakan penyusunan
AMDAL, berkaitan dengan hal tersebut kemudian diberikan perpanjangan
waktu hingga 30 Oktober 2009 kepada PT.DAM untuk menyelesaikan
penyusunan dan penyampaian AMDAL IUPHHK-HTI PT.DAM.
Gelombang
penolakan IUPHHK-HTI PT Duta Alam Makmur yang terus dilakukan
masyarakat desa, Forum Kepala Desa, LSM di Merangin dan NGO
lingkungan hidup yang tergabung dalam ALIANSI TOLAK DAM akhirnya
dapat menghentikan proses perizinan PT Duta Alam Makmur.
Penolakan
ini juga didukung oleh Pemda Kabupaten Merangin, Pemda Propinsi Jambi
dan DPRD Propinsi Jambi. Sehingga akhirnya proses AMDAL PT Duta Alam
Makmur tidak dibahas oleh Komisi AMDAL hingga 30 Oktober 2009 seperti
waktu penyusuan dan penyampaian AMDAL yang telah diberikan oleh
Menteri Kehutanan RI.
Akhirnya
pada tanggal 23 November 2009 melalui surat nomor S.746/Menhut-IV/Set
/2009 Perihal Pembatalan Perintah Pemenuhan Kewajiban SP1 IUPHHK-HTI
PT.Duta Alam Makmur di Propinsi Jambi. Dalam surat tersebut
disampaikan bahwa persetujuan prinsip pembangunan HTI dan perintah
penyusunan dan penyampaian AMDAL yang diberikan selama 150 hari
melalui surat Menteri Kehutanan nomor S.224/Menhut-IV/2009 tanggal 24
Maret 2009 dan perpanjangan waktu penyusunan dan penyampaian AMDAL
hingga 30 Oktober 2009 melalui surat Menteri Kehutanan nomor
S.663/Menhut-IV/2009 pada tanggal 21 Agustus 2009, hingga batas akhir
tersebut PT.Duta Alam Makmur belum menyampaikan AMDAL maka secara
persetujuan prinsip pembangunan HTI PT.Duta Alam Makmur dibatalkan.
Pertengahan
tahun 2009 sekitar 30 desa di Kabupaten Merangin mengajukan
permohonan untuk mendapat hak pengelolaan hutan kepada pemerintah
daerah. Selanjutnya kemudian pada melalui surat Bupati Merangin
No.522/350/PH/Disbunhut/2010 tanggal 17 Mei 2010 mengusulkan 49.514
ha untuk ditetapkan sebagai areal kerja Hutan Desa di 17 Desa.
Sebagian dari desa tersebut adalah Desa Tanjung Benuang, Gedang, Koto
Baru, Tanjung Alam dan Tanjung Mudo Kecamatan Sungai Tenang. Dalam
rangka mendampingi masyarakat di 5 (lima) Desa tersebut perlu kajian
mengenao sistem penguasan dan pengelolaan sumberdaya alam oleh
masyarakat lokal.
Setelah
ditolaknya PT. DAM, timbul pertanyaan. Lantas mau diapakan areal di
HP tersebut ? Apakah didiamkan saja atau harus diadvokasi sehingga
masyarakat mendapatkan kepastian ?
Pertanyaan
itu mengemuka berdasarkan pertemuan dengan Wakil Bupati Merangin,
Drs. Hasan Basri Harun. Berangkat dari pertanyaan kemudian diinisasi
untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Setelah
melalui berbagai rangkaian pertemuan, kemudian disepakati
terbentuknya Poros Masyarakat Kehutanan Merangin (PMKM). PMKM
kemudian melihat berbagai skenario dan sistem pengelolaan yang dapat
memberikan “ruang kelola” sehingga masyarakat dapat diproteksi.
Semula
mengusulkan model Hutan Adat. Namun dengan melihat peraturan yang
berkaitan yang membuka ruang “hutan Desa”, maka pengusulan hutan
desa merupakan salah satu pilihan yang bertujuan proteksi terhadap
“ruang kelola” masyarakat Luak XVI.
Dari
Seluruhnya seluas 84.356 ha Dari 22 Desa setelah diverifikasi maka
tinggal 17 Desa yang semulanya 84.356 ha menjadi 49.514 ha.
Struktur
Dan Pranata Sosial
Dalam
melakukan advokasi, tema LUAK XVI memang menjadi perhatian utama.
Luak
XVI terdiri Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo,
Margo Senggrahan, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah pembarap. Dalam
kajian ini, penulis berkonsentrasi terhadap Desa-desa seperti Desa
Tanjung Mudo, Desa Tanjung Alam, Desa Tanjung Benuang, Desa Kotobaru
dan Desa Gedang. Semuanya Desa termasuk kedalam Margo Sungai Tenang.
Desa
Tanjung Mudo mengaku keturunan dari Rio Penganggun Jago Bayo. Desa
Tanjung Alam Keturunan Depati Duo Menggalo. Desa Tanjung Benuang
Keturunan Depati Suko Menggalo. Desa Gedang Keturunan Depati Suko
Merajo.
Dengan
memperhatikan kata-kata seperti “Depati” dan “Rio” untuk
pemerintahan setingkat Dusun, maka kata-kata “Depati” dan
Kata-kata “Rio”, adalah pemerintahan setingkat dusun.
Dusun
merupakan sebagai
pemerintahan terendah (village
government).
Dusun terdiri dari beberapa kampung. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun
1979, maka Dusun menjadi Desa sebagai pemerintahan terendah (village
government).
Sedangkan kampung menjadi dusun.
Dalam
penjelasan F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar diterangkan,
“Kepala-kepala
Adat di Kesultanan – Federasi, dusun, kampung menggunakan berbagai
macam-macam gelar, seperti Rio, Rio Depati, Rio Pamuncak, Tumenggung,
Depati, Kedenang, Lurah, Penghulu, Mangku. Mereka memiliki wewenang
pelaksanaan hukum besar atau hukum kecil4
Dalam
penjelasan lain disebutkan oleh K.R. Hall5,
Istilah Bathin dan Penghulu meski menunjuk kelompok-kelompok etnis
berbeda, secara etimologis mengungkapkan hubungan hirarkis. Bathin
berarti pemimpin tertinggi, sedangkan penghulu menunjukkan peran
subordinat. Para penguasa bathin menunjuk penghulu sebagai pemimpin
lokal.
Sedangkan
didalam menentukan wilayah dikenal istilah Tambo6.
Tambo adalah batas Margo yang ditandai dengan tanda-tanda alam.
Desa
Tanjung Mudo mempunyai tambo yang berbunyi “Batas
dengan tanjung alam muaro sungai titian teras ke sungai jangkang ke
genting tanjung alam kemudian bukit sedingin, arah ke Desa Koto Teguh
sepanjang sungai tembesi perbatasan dengan TNKS lereng Gunung
Masurai.
Desa Tanjung Alam “Mulai
dari lubuk hujan sungai tembesi terus keatas ke muara sungai gelam di
sungai lembatang,terus ke muaro sungai kiro mas(kiro meh) menuju pauh
belepang terus menuju ke muaro sungai kandis di sungai lembatang
terus ke mudik terus ke danau hijau terus ke TNKS terus ke bukit
muncung terus ke sungai matang duo terus ke hulu sungai bayu terus ke
simpang 3 terus ke muaro sungai titian teras terus ke sungai tembesi
terus ke lubuk hujan sungai tembesi”.
Desa Gedang “Mulai
dari Telun Sungai Maram, Menuju ke Batu Larung, terus ke muaro Sungai
Mengkarung Abang, terus ke hulu Sungai Sadan (hulu air bening), terus
ke tangkal jeletam, hulu sungai sudung, melayangi hulu sungai rian,
terus ke hulu Sungai Aro,terus ke hulu Sungai Lulo melayangi Sungai
Pingan terus ke Pangirukam, mendarat ke Sungai Pinang, terus ke bukit
Gambut telun rendah Sungai Gelam, menuju Lubuk Beguni Sungai Aro,
terus ke danau telao, turun Lubuk Buih Sungai Rian, menyelusuri
Sungai Rian sampai ke Muaro Sungai Rian, mudik Sungai Tembesi sampai
ke telun Tujuh Sungai Tembesi ke muaro Merang, lalu ke pematang gaung
balik ke telun Tinggi Sungai Maram.
Desa
Tanjung Benuang “Dari
telun tujuh yang ketigo ke renah bukit serik(batu panjang) ke sungai
tengan dari sungai tengan ke alen pelarung ke pematang asal bunting
ke rantau lolo sungai lolo terus ke napal belepang bukit tungkat
turun ke lubuk merah sungai kandis ke renah sungai kandis muaro
sungai langkon ke renah tabu gelanggang ke renah sawah bekisah ke
lubuk panjang bawah betung sungai tembesi balik ke telun tujuh yang
ke tigo.
Nilai
dan Norma
Didalam
masyarakat hukum adat Margo Sungai Tenang, dikenal istilah Pucuk
Undang nan limo, Merupakan hukum dasar Kerajaan Melayu Jambi, sebagai
sumber dari hukum dan undang adat, dan segala yang udang dan hukum
adat yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pucuk
Undang. Pucuk Undang ada lima yaitu : (1) Titian Teras Betanggo
Batu, (2) Cermin Gedang Nan Dak Kabur , (3) Lantak Dalam Nan Tak
Goyah, Kapik Dak Tak Gelensur, (4) Kato Mupakat (5) Tidak Lapuk Di
Hujan, Tidak Lekak Di Paneh.
Tanah
adat merupakan suatu wilayah (teritorial) sebagai satu kesatuan
bentang tanah, satu kesatuan biosfisik dan masyarakat hukum adat yang
mendiaminya serta memiliki interaksi secara sosial, ekonomi, politik
dan budaya. Tanah adat merupakan suatu wilayah yang mencakup sawah,
ladang, hutan, rimbo, lebak, lebung, gunung, lekuk, sungai, danau.
Zaman Kerajaan Melayu Jambi, wilayah telah terbagi habis menjadi
tanah adat yang dikepalai oleh kepala adat.
Kesatuan
teritorial (wilayah) dengan batas-batas yang disepakati, semua yang
terdapat didalamnya merupakan tanah adat dusun atau negeri tersebut.
Tanah adat ini merupakan miliki bersama penduduk dusun sebagai mana
disebut keayek samo diperikon kedarat samo diperotan artinya ke
daerah perairan sama-sama mengambil ikan ke daerah daratan sama-sama
mengambil rotan. Tanah adat merupakan tempat beumah belaman, berumo
beladang artinya tempat mendirikan rumah (dalam skala luas berarti
pemukiman atau kampung) berserta halamannya, tempat ber-humo (membuka
areal persawahan) dan tempat berladang (membuka areal pertanian,
perkebunan dan perladangan).
Batas
wilayah dusun dapat ditetapkan melalui mupakat antar dusun dengan
memperhatikan pembukaan areal pertanian dusun berdampingan sehingga
disebut dengan laring terung larik cabe, larik ceko larik kunyit.
Maka batas dusun dapat berbelok-belok menyesuaikan dengan areal
perkebunan dan batas alam yang disepakati melalui mupakat.
Ter
Haar menyebutkan identifikasi masyarakat hukum adat.
- Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan. Pohon-pohon itu tidak diboleh ditebang seperti pohon durian, duku, bedaro, manggis, petai dan pohon sialang9
- Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan Depati (volkshoofd). Ini ditandai dengan seloko “alam sekato rajo. Negeri sekato bathin”. Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Hak ini kemudian dikenal dengan istilah hak Membuka Tanah (ontginningrecht)
- Depati kemudian menyetujui dan memberitahukan kepada Pesirah10. Terhadap pembukaan tanah maka harus digarap. Dalam teori hak individu atas tanah dikenal dengan Hak Menikmati (genotrecht) dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang digarapnya. Atau biasa juga dikenal ”Qui prior et tempore, potior est in jure orang yang pertama datang adalah orang yang paling pertama mendapat hak. Para pemangku adat membuat hubungan yang harmonis antara warga masyarakat dengan adat, masyarakat dengan alam sekitarnya.
- Apabila tidak digarap, “sesap rendah, belukar tinggi ”, maka hak untuk menggarap tanah menjadi hilang. Dalam teori hak individu atas tanah, biasa dikenal dengan “hak wenang pilih”11. Sehingga hak seperti Hak Menikmati (genotrecht) dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang digarapnya Atau ”Qui prior et tempore, potior est in jure orang yang pertama datang adalah orang yang paling pertama mendapat hak tidaklah bersifat mutlak. Hak ini akan hapus apabila “sesap rendah, belukar tinggi. Tiderman memberikan istilah ”tanah belukar tuo dan tanah belukar mudo12. Dalam ujaran adat juga dikenal ”harta berat ditinggalkan. Harta ringan dibawa”.
- Sedangkan apabila ditanami tanaman keras dan diberi tanda-tanda berupa tanaman buah-buahan seperti durian, maka hak miliknya dilindungi oleh Dusun13. Mereka mengenal dengan istilah “hilang celak dengan mentaro”, atau cacak tanam, jambu kleko”, atau “lambas”. Tiderman memberikan istilah ”Tanah sesap”14
- Diluar dari masyarakat yang membuka hutan tanpa persetujuan dari Depati atau Pesirah, maka “Hilang mati”. Segala sesuatu tidak diurus. “mati tidak diurus”. Van Vollenhoven merumuskan sebagai “delik”15.
- Pengakuan hak milik. Terhadap masyarakat yang membuka hutan telah sesuai dengan tata cara di Desa “seperti memberitahukan Depati atau pesirah, memberikan tanda seperti tanaman buah-buahan, maka adanya pengakuan hak milik. Hak milik kemudian diakui. Soepmo merumuskan dengan istilah “kepemilikan hak milik membuka peluang bagi pemiliknya untuk berbuat apa saja terhadap tanah yang dimilikinya”. Namun tidak dikenal adanya jual beli. Apabila adanya jual beli tanah, maka hak milik menjadi hapus dan tanah kembali ke Dusun. Dalam teori lain disebutkan dengan istilah “tak terpisahkan tetapi dapat dibedakan”16.
Melihat
penjelasan yang disampaikan, maka terhadap kekuatan hak milik
tidaklah mutlak. Hak milik akan didapatkan apabila membuka hutan
telah adanya persetujuan dari Depati atau pesirah. Harus segera
ditanami. Seperti ujaran “Sesap
rendah, jerami tinggi”.
Apabila tidak ditanami, maka hak untuk menggarap menjadi hilang.
Setiap tanah yang telah dibuka harus diberi tanda yang berupa tanaman
seperti durian dan sebagainya. Sedangkan apabila telah dibuka, namun
tidak ditanami keras dan hanya ditanami tanaman palawija baik
sayur-sayuran maupun padi, maka apabila tidak dikerjakan lagi, maka
hak milik menjadi hapus. Dalam teori lain disebutkan dengan istilah
penguasaan berbalik (adverse
possession)17
Dengan
melihat prinsip-prinsip yang telah disampaikan, maka hak milik
tidaklah mutlak sebagaimana dalam teori Quadragessimo Anno dalam
prinsip UUPA.
Terhadap
tanah tidak dapat diperalihkan kepada orang lain. Masyarakat mengenal
istilah “hak wenang pilih”. Artinya Hak wenang beli adalah hak
untuk diutamakan boleh membeli sebidang tanah dengan harga yang sama.
Hak
milik akan tetap berada didalam tangannya apabila memang dikerjakan.
Hak milik merupakan hak terkuat di antara hak perorangan yang ada.
Tanah
yang telah dibuka maka harus diberi tanda (sign) seperti “hilang
celak dengan mentaro”, atau cacak
tanam, jambu kleko”, atau “lambas”
Dengan
memperhatikan sistem dan model pengelolaan yang berangkar dari
kearifan lokal, maka sudah terbukti hutan tetap lestasi. Karena
selain sadar akan pentingnya menjaga hutan, hutan di Luak XVI
merupakan Kawasan
hutan areal perlindungan bagi DAS Utama Sungai Batang Hari, yang
pada umumnya merupakan huluan sungai bagi Sub DAS Batang Tembesi,
Batang Merangin, Batang Mesumai, Batang Tabir, Batang Tantan, Sungai
Aur dan Batang Nilo
Dimuat dalam Buku "Antara Primordial dan Rejim Pasar, Jakarta, 16 Mei 2013
Dimuat dalam Buku "Antara Primordial dan Rejim Pasar, Jakarta, 16 Mei 2013
Baca juga : Catatan Hukum Putusan MK tentang Kehutanan
1
Kabupaten Merangin terletak di wilayah provinsi Jambi bagian Barat
dengan luas wilayah ± 767. 890 Ha, dan secara Geografis terletak
pada kordinat 101˚ 32’ 11” - 102˚ 50’ 00” Bujur Timur dan
Lintang Selatan dengan 1˚ 28’ 23” - 1˚ 52’ 00” dengan
jumlah populasi penduduk 289. 926 jiwa. Dari berbagai sumber
disebutkan . Kabupaten
Merangin merupakan salah satu kabupaten yang ada di propinsi Jambi.
Kabupaten Merangin mempunyai luas Taman Nasional (TNKS) 121.046 Ha
dari total jumlah TNKS 402,500
Ha,
Hutan Lindung (HL) 36.734 Ha dari total jumlah hutan lindung
1,653,352
Ha,
Hutan Produksi (HP) 136.275 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 44.118
Ha, Areal Penggunaan Lain (APL) 429.729 Ha, dengan luas kawasan
hutan di kabupaten merangin 767.900 Ha.
Luas
lahan kritis dikabupaten Merangin seluas 230.121 Ha (29,96%) dari
luas Kabupaten Merangin
2Luak
XVI sudah menjadi hidup dan tidak terpisahkan daripada kehidupan
masyarakat di Bangko. LUAK XVI merupakan komunitas wilayah adat yang
mempunyai identitas yang khas, wilayah klaim adat dan hukum yang
mengatur kehidupan komunal masyarakat adat. LUAK XVI merupakan
komunitas yang sampai sekarang masih tunduk kepada klaim wilayah
adat dan menghormati hukum adat Dalam kajian ilmu hukum lebih
dikenal ubi societas ibi jus yang artinya (dimana) ada masyarakat
(disitu) ada hukum. Luak XVI terdiri Margo Serampas, Margo Sungai
Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Senggrahan, Margo Tiang Pumpung,
Margo Renah pembarap. Hubungan antara Margo Renah pembarap, Tiang
Pumpung dan Margo sanggrehan dapat dilihat dari ujaran “ Margo
Renah Pembarap nenek moyangnya adalah Syeh Rajo, Syeh Baiti Nenek
moyang Tiang Pumpung, Syeh Saidi Malin Samad Nenek moyang
Sanggrehan”. “Gedung di Pembarap, Pasak di Tiang Pumpung, Kunci
di pembarap’ Pembarap berrenah luas, Tiang pumpung berlarik
panjang, Sanggrehan berhutan lebar.
3Merupakan
anak perusahaan Sinar Mas Grup (SMG) yang mendapat rekomendasi
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di kawasan hutan HP Sungai
Aur, HP Batang Nilo-Nilo Dingin, HPT Gunung Sedingin dan HPT Lubuk
Pekak. Kawasan hutan ini merupakan eks HPT Rimba Karya Indah (RKI),
Sarestra II, dan Nursalease TC
4Lihat
F. J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi, Koninklijke
Vereeniging, Amsterdam, 1938
5K.R.Hall,
“The Coming of Islam ti the Archipelago “ A Reasessment”,
sebagaimana dikutip oleh Elsbeth
Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan
Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda,
KITLV, Jakarta, 2008, hal
42
6Tambo
berasal
dari
bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam
tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan
turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo
atau
tarambo
dapat
juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno
Diradjo, Dt. Tambo
Alam Minangkabau,
Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai
istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan
suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat
sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan
bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda
alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya.
Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan
masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan
oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN
RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma,
9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah
baru semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi
yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan
sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH
dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam
majalah Orientasi,
nomor
2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV
ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan,
“Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji
Masyarakat,
nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh
Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah
Hukum
dan Pembangunan, nomor
1, Tahun VIII, Januari 1978.
7Yusmar
Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009,
Hal. 71
8F.
J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut,
Amsterdam, 1938
9Pohon
yang terdapat sarang lebah.
10Ahmad
Intan, op.cit.
11Hak
utama dari si pengelola yang tanahnya menjadi belukar lagi untuk
mengerjakan tanahnya. Hak ini berakhirnya apabila tanah itu menjadi
belukar kembali atau tanah belukar itu serentak dibuka kembali.
Sedangkan pengelola sebelumnya tidak menggunakan haknya itu.
12F.
J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut,
Amsterdam, 1938.
13Van
Vollenhoven pernah merumuskannya dalam buku “De Indonesier en zijn
grond (Orang Indonesia dengan tanahnya), Bockhandel en Drukkerij v/h
E.J, Leiden, 1925. Hal. 9 sebagaiman dikutip Nico Nganni. Op. Cit.
Hal. 53.
14F.
J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut,
Amsterdam, 1938.
15Van
Vollenhoven, De Indonesier en Zign Grond sebagaimana dikutip Nico
Ngani, Op.cit. Hal. 118.
16Nico
Ngani, Op.Cit.
17Adverse
possession merupakan konsep “common law” yang memberikan hak
kepemilikan dalam keadaan tertentu kepada pemilik dalam jangka
panjang atas tanah lainnya. Daniel Fitzpatrick, Tanah, Adat dan
Negara di Indonesia pasca Soeharto perspektif seorang ahli hukum
asing dalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, KITLV dan Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 161.