28 April 2013

opini musri nauli : Pengelolaan Hutan berdasarkan Tembo



PENGELOLAAN HUTAN BERDASARKAN TAMBO
(Studi Kasus di Hutan Desa Kabupaten Merangin, Jambi)


Pendahuluan

Membicarakan Hutan Desa di Kabupaten Merangin1 tidak dapat dipisahkan dari LUAK XVI2. Sebagai masyarakat hukum adat, Luak XVI memang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari cara dan model pengelolaan hutan.

Luak XVI menjadi pembahasan cukup serius ketika mengadvokasi masyarakat yang termasuk kedalam izin HTI PT. DAM3. Dalam perjalanan proses perizinan mendapat penolakan besar-besaran dari masyarakat namun kurang diindahkan oleh pihak Kementrian Kehutanan.

Tanggal 24 Maret 2009 Menteri kehutanan mengeluarkan surat perihal Perintah pemenuhan Kewajiban SP-1 IUPHHK-HTI yaitu memberikan waktu selama 150 hari atau sampai 24 agustus 2009 untuk memenuhi kewajiban AMDAL. Penolakan atas izin ini terus menguat dengan dukungan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) / Non Governance Organization (NGO). LSM di Merangin menanggapi tanggapan- tanggapan dari masyarakat dan mendukung adanya gerakan penolakan PT Duta Alam Makmur.


Beberapa LSM di Merangin seperti : Lembaga Tiga Beradik, PAGAR Merangin, JERAM Merangin, Luhak Enam Belas, Karang Taruna Kecamatan Jangkat, Karang Taruna Desa Muara Madras, Warung Komunikasi Publik (WARKOP), GP Ansor Merangin dan TMP2H Melalui FORUM BERSAMA LSM DAN ORMAS PEDULI LINGKUNGAN KABUPATEN MERANGIN PROPINSI JAMBI melakukan penolakan terhadap pembangunan HTI PT.Duta Alam Makmur (PT.DAM). Setelah dilaksanakan konfrensi pers pada tanggal 02 Juli 2009 bertempat di Lesehan Kondang Asri bersama Pemda Kabupaten Merangin, yang menyatakan LSM di Merangin mendukung penolakan oleh masyarakat terhadap PT.Duta Alam Makmur. Kemudian pada tanggal 29 Juli 2009 Forum Bersama LSM dan Ormas Peduli Lingkungan di Merangin mengirimkan surat nomor 01/FBLO/VII/2009 kepada Menteri Kehutanan, Gubernur Jambi dan Bupati Merangin perihal Penolakan Izin PT.Duta Alam Makmur di Kabupaten Merangin Propinsi Jambi.

Disamping itu dari beberapa diskusi-diskusi kritis beberapa NGO yang concern terhadap lingkungan hidup di Jambi kemudian disepakati dibentuknya ALIANSI TOLAK DAM. Aliansi ini bersifat cair dan merupakan aliansi strategis untuk mengadvokasi penolakan PT Duta Alam Makmur. ALIANSI TOLAK DAM terdiri dari 18 Lembaga yaitu : Lembaga Tiga Beradik (L-TB), KKI-Warsi, Walhi Jambi, Perkumpulan Hijau, Perkumpulan Gita Buana, OPPA Gita Buana Club, CAPPA, SETARA, YLBHL, Pinse, LASSER, TMP2H, LPM „Patriotik‟ UNBARI, Mapala Gitasada, Mapala Himapasti, YKR, Mapelbi, Akar Network. Setelah memperhatikan berbagai kajian aspek lingkungan, daya rusak, kesinambungan ekosistem, daerah tangkapan air, maka aliansi LSM yang tergabung dalam ALIANSI TOLAK DAM kemudian memberikan pernyataan bersama untuk menolak rencana pembangunan Hutan Tanaman Industri PT. Duta Alam Makmur (DAM) Sinar Mas Group di atas areral eks HPH PT. Sarestra II (47.645 ha), eks HPH PT. Nusa Lease Timber Coorperation (56.770 ha) dan eks HPH Rimba Kartika Jaya (14.540 ha) di Provinsi Jambi dengan total luas areal 118.955 ha. Penyataan tersebut tertuang didalam sebuah petisi yang diikrarkan pada tanggal 14 Juli 2009.

Penolakan dari masyarakat dan NGO Lingkungan hidup tidak diindahkan oleh Departemen Kehutanan. Melalui surat resmi Menteri Kehutanan juga menjawab penolakan masyarakat yang diteruskan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Merangin, dalam surat tersebut Menteri Kehutanan menyatakan bahwa perizinan IUPHHK-HTI PT.Duta Alam Makmur telah sesuai dengan peraturan perundangan- undangan dan bagi areal masyarakat yang berada di areal izin HTI dapat mengajukan keberatan selama memiliki bukti kepemilikan yang sah.
Kemudian pada tanggal 6 Agustus 2009 PT Duta Alam Makmur kembali mengajukan surat kepada Menteri Kehutanan melalui surat nomor 04/DAM- JKT/VIII/2009 untuk memohon perpanjangan SP-1 IUPHHK HTI. Permohonan PT.DAM direspon baik oleh Menteri Kehutanan melalui surat nomor : S.663/Menhut- VI/2009 tanggal 21 Agustus 2009 perihal Perpanjangan SP-1 IUPHHK-HTI PT.Duta Alam Makmur, pada prinsipnya Departemen Kehutanan memahami kendala PT.DAM dalam melaksanakan penyusunan AMDAL, berkaitan dengan hal tersebut kemudian diberikan perpanjangan waktu hingga 30 Oktober 2009 kepada PT.DAM untuk menyelesaikan penyusunan dan penyampaian AMDAL IUPHHK-HTI PT.DAM.
Gelombang penolakan IUPHHK-HTI PT Duta Alam Makmur yang terus dilakukan masyarakat desa, Forum Kepala Desa, LSM di Merangin dan NGO lingkungan hidup yang tergabung dalam ALIANSI TOLAK DAM akhirnya dapat menghentikan proses perizinan PT Duta Alam Makmur.
Penolakan ini juga didukung oleh Pemda Kabupaten Merangin, Pemda Propinsi Jambi dan DPRD Propinsi Jambi. Sehingga akhirnya proses AMDAL PT Duta Alam Makmur tidak dibahas oleh Komisi AMDAL hingga 30 Oktober 2009 seperti waktu penyusuan dan penyampaian AMDAL yang telah diberikan oleh Menteri Kehutanan RI.
Akhirnya pada tanggal 23 November 2009 melalui surat nomor S.746/Menhut-IV/Set /2009 Perihal Pembatalan Perintah Pemenuhan Kewajiban SP1 IUPHHK-HTI PT.Duta Alam Makmur di Propinsi Jambi. Dalam surat tersebut disampaikan bahwa persetujuan prinsip pembangunan HTI dan perintah penyusunan dan penyampaian AMDAL yang diberikan selama 150 hari melalui surat Menteri Kehutanan nomor S.224/Menhut-IV/2009 tanggal 24 Maret 2009 dan perpanjangan waktu penyusunan dan penyampaian AMDAL hingga 30 Oktober 2009 melalui surat Menteri Kehutanan nomor S.663/Menhut-IV/2009 pada tanggal 21 Agustus 2009, hingga batas akhir tersebut PT.Duta Alam Makmur belum menyampaikan AMDAL maka secara persetujuan prinsip pembangunan HTI PT.Duta Alam Makmur dibatalkan.
Pertengahan tahun 2009 sekitar 30 desa di Kabupaten Merangin mengajukan permohonan untuk mendapat hak pengelolaan hutan kepada pemerintah daerah. Selanjutnya kemudian pada melalui surat Bupati Merangin No.522/350/PH/Disbunhut/2010 tanggal 17 Mei 2010 mengusulkan 49.514 ha untuk ditetapkan sebagai areal kerja Hutan Desa di 17 Desa. Sebagian dari desa tersebut adalah Desa Tanjung Benuang, Gedang, Koto Baru, Tanjung Alam dan Tanjung Mudo Kecamatan Sungai Tenang. Dalam rangka mendampingi masyarakat di 5 (lima) Desa tersebut perlu kajian mengenao sistem penguasan dan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal.
Setelah ditolaknya PT. DAM, timbul pertanyaan. Lantas mau diapakan areal di HP tersebut ? Apakah didiamkan saja atau harus diadvokasi sehingga masyarakat mendapatkan kepastian ?

Pertanyaan itu mengemuka berdasarkan pertemuan dengan Wakil Bupati Merangin, Drs. Hasan Basri Harun. Berangkat dari pertanyaan kemudian diinisasi untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Setelah melalui berbagai rangkaian pertemuan, kemudian disepakati terbentuknya Poros Masyarakat Kehutanan Merangin (PMKM). PMKM kemudian melihat berbagai skenario dan sistem pengelolaan yang dapat memberikan “ruang kelola” sehingga masyarakat dapat diproteksi.

Semula mengusulkan model Hutan Adat. Namun dengan melihat peraturan yang berkaitan yang membuka ruang “hutan Desa”, maka pengusulan hutan desa merupakan salah satu pilihan yang bertujuan proteksi terhadap “ruang kelola” masyarakat Luak XVI.

Dari Seluruhnya seluas 84.356 ha Dari 22 Desa setelah diverifikasi maka tinggal 17 Desa yang semulanya 84.356 ha menjadi 49.514 ha.


Struktur Dan Pranata Sosial

Dalam melakukan advokasi, tema LUAK XVI memang menjadi perhatian utama. Luak XVI terdiri Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Senggrahan, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah pembarap. Dalam kajian ini, penulis berkonsentrasi terhadap Desa-desa seperti Desa Tanjung Mudo, Desa Tanjung Alam, Desa Tanjung Benuang, Desa Kotobaru dan Desa Gedang. Semuanya Desa termasuk kedalam Margo Sungai Tenang.

Desa Tanjung Mudo mengaku keturunan dari Rio Penganggun Jago Bayo. Desa Tanjung Alam Keturunan Depati Duo Menggalo. Desa Tanjung Benuang Keturunan Depati Suko Menggalo. Desa Gedang Keturunan Depati Suko Merajo.

Dengan memperhatikan kata-kata seperti “Depati” dan “Rio” untuk pemerintahan setingkat Dusun, maka kata-kata “Depati” dan Kata-kata “Rio”, adalah pemerintahan setingkat dusun.

Dusun merupakan sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979, maka Dusun menjadi Desa sebagai pemerintahan terendah (village government). Sedangkan kampung menjadi dusun.

Dalam penjelasan F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar diterangkan, “Kepala-kepala Adat di Kesultanan – Federasi, dusun, kampung menggunakan berbagai macam-macam gelar, seperti Rio, Rio Depati, Rio Pamuncak, Tumenggung, Depati, Kedenang, Lurah, Penghulu, Mangku. Mereka memiliki wewenang pelaksanaan hukum besar atau hukum kecil4

Dalam penjelasan lain disebutkan oleh K.R. Hall5, Istilah Bathin dan Penghulu meski menunjuk kelompok-kelompok etnis berbeda, secara etimologis mengungkapkan hubungan hirarkis. Bathin berarti pemimpin tertinggi, sedangkan penghulu menunjukkan peran subordinat. Para penguasa bathin menunjuk penghulu sebagai pemimpin lokal.

Sedangkan didalam menentukan wilayah dikenal istilah Tambo6. Tambo adalah batas Margo yang ditandai dengan tanda-tanda alam.

Desa Tanjung Mudo mempunyai tambo yang berbunyi “Batas dengan tanjung alam muaro sungai titian teras ke sungai jangkang ke genting tanjung alam kemudian bukit sedingin, arah ke Desa Koto Teguh sepanjang sungai tembesi perbatasan dengan TNKS lereng Gunung Masurai. Desa Tanjung Alam “Mulai dari lubuk hujan sungai tembesi terus keatas ke muara sungai gelam di sungai lembatang,terus ke muaro sungai kiro mas(kiro meh) menuju pauh belepang terus menuju ke muaro sungai kandis di sungai lembatang terus ke mudik terus ke danau hijau terus ke TNKS terus ke bukit muncung terus ke sungai matang duo terus ke hulu sungai bayu terus ke simpang 3 terus ke muaro sungai titian teras terus ke sungai tembesi terus ke lubuk hujan sungai tembesi”. Desa Gedang “Mulai dari Telun Sungai Maram, Menuju ke Batu Larung, terus ke muaro Sungai Mengkarung Abang, terus ke hulu Sungai Sadan (hulu air bening), terus ke tangkal jeletam, hulu sungai sudung, melayangi hulu sungai rian, terus ke hulu Sungai Aro,terus ke hulu Sungai Lulo melayangi Sungai Pingan terus ke Pangirukam, mendarat ke Sungai Pinang, terus ke bukit Gambut telun rendah Sungai Gelam, menuju Lubuk Beguni Sungai Aro, terus ke danau telao, turun Lubuk Buih Sungai Rian, menyelusuri Sungai Rian sampai ke Muaro Sungai Rian, mudik Sungai Tembesi sampai ke telun Tujuh Sungai Tembesi ke muaro Merang, lalu ke pematang gaung balik ke telun Tinggi Sungai Maram. Desa Tanjung Benuang “Dari telun tujuh yang ketigo ke renah bukit serik(batu panjang) ke sungai tengan dari sungai tengan ke alen pelarung ke pematang asal bunting ke rantau lolo sungai lolo terus ke napal belepang bukit tungkat turun ke lubuk merah sungai kandis ke renah sungai kandis muaro sungai langkon ke renah tabu gelanggang ke renah sawah bekisah ke lubuk panjang bawah betung sungai tembesi balik ke telun tujuh yang ke tigo.

Nilai dan Norma

Didalam masyarakat hukum adat Margo Sungai Tenang, dikenal istilah Pucuk Undang nan limo, Merupakan hukum dasar Kerajaan Melayu Jambi, sebagai sumber dari hukum dan undang adat, dan segala yang udang dan hukum adat yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pucuk Undang. Pucuk Undang ada lima yaitu : (1) Titian Teras Betanggo Batu, (2) Cermin Gedang Nan Dak Kabur , (3) Lantak Dalam Nan Tak Goyah, Kapik Dak Tak Gelensur, (4) Kato Mupakat (5) Tidak Lapuk Di Hujan, Tidak Lekak Di Paneh.

Tanah adat merupakan suatu wilayah (teritorial) sebagai satu kesatuan bentang tanah, satu kesatuan biosfisik dan masyarakat hukum adat yang mendiaminya serta memiliki interaksi secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Tanah adat merupakan suatu wilayah yang mencakup sawah, ladang, hutan, rimbo, lebak, lebung, gunung, lekuk, sungai, danau. Zaman Kerajaan Melayu Jambi, wilayah telah terbagi habis menjadi tanah adat yang dikepalai oleh kepala adat.

Kesatuan teritorial (wilayah) dengan batas-batas yang disepakati, semua yang terdapat didalamnya merupakan tanah adat dusun atau negeri tersebut. Tanah adat ini merupakan miliki bersama penduduk dusun sebagai mana disebut keayek samo diperikon kedarat samo diperotan artinya ke daerah perairan sama-sama mengambil ikan ke daerah daratan sama-sama mengambil rotan. Tanah adat merupakan tempat beumah belaman, berumo beladang artinya tempat mendirikan rumah (dalam skala luas berarti pemukiman atau kampung) berserta halamannya, tempat ber-humo (membuka areal persawahan) dan tempat berladang (membuka areal pertanian, perkebunan dan perladangan).

Batas wilayah dusun dapat ditetapkan melalui mupakat antar dusun dengan memperhatikan pembukaan areal pertanian dusun berdampingan sehingga disebut dengan laring terung larik cabe, larik ceko larik kunyit. Maka batas dusun dapat berbelok-belok menyesuaikan dengan areal perkebunan dan batas alam yang disepakati melalui mupakat.

Ter Haar menyebutkan identifikasi masyarakat hukum adat.

  1. Adanya tempat yang dilarang. Semua Desa mengenal Pantang-larang yaitu Rimbo Ganuh. Dimana Rimbo Ganuh hutan yang tidak boleh dibuka. Adanya tempat yang dilarang untuk dibuka. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan7. Tideman melaporkan sebagai “rimbo gano8”.
  2. Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan. Pohon-pohon itu tidak diboleh ditebang seperti pohon durian, duku, bedaro, manggis, petai dan pohon sialang9
  3. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan Depati (volkshoofd). Ini ditandai dengan seloko “alam sekato rajo. Negeri sekato bathin”. Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Hak ini kemudian dikenal dengan istilah hak Membuka Tanah (ontginningrecht)
  4. Depati kemudian menyetujui dan memberitahukan kepada Pesirah10. Terhadap pembukaan tanah maka harus digarap. Dalam teori hak individu atas tanah dikenal dengan Hak Menikmati (genotrecht) dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang digarapnya. Atau biasa juga dikenal ”Qui prior et tempore, potior est in jure orang yang pertama datang adalah orang yang paling pertama mendapat hak. Para pemangku adat membuat hubungan yang harmonis antara warga masyarakat dengan adat, masyarakat dengan alam sekitarnya.
  5. Apabila tidak digarap, “sesap rendah, belukar tinggi , maka hak untuk menggarap tanah menjadi hilang. Dalam teori hak individu atas tanah, biasa dikenal dengan “hak wenang pilih11. Sehingga hak seperti Hak Menikmati (genotrecht) dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang digarapnya Atau ”Qui prior et tempore, potior est in jure orang yang pertama datang adalah orang yang paling pertama mendapat hak tidaklah bersifat mutlak. Hak ini akan hapus apabila “sesap rendah, belukar tinggi. Tiderman memberikan istilah ”tanah belukar tuo dan tanah belukar mudo12. Dalam ujaran adat juga dikenal ”harta berat ditinggalkan. Harta ringan dibawa”.
  6. Sedangkan apabila ditanami tanaman keras dan diberi tanda-tanda berupa tanaman buah-buahan seperti durian, maka hak miliknya dilindungi oleh Dusun13. Mereka mengenal dengan istilah “hilang celak dengan mentaro”, atau cacak tanam, jambu kleko”, atau “lambas”. Tiderman memberikan istilah ”Tanah sesap”14
  7. Diluar dari masyarakat yang membuka hutan tanpa persetujuan dari Depati atau Pesirah, maka “Hilang mati”. Segala sesuatu tidak diurus. “mati tidak diurus”. Van Vollenhoven merumuskan sebagai “delik15.
  8. Pengakuan hak milik. Terhadap masyarakat yang membuka hutan telah sesuai dengan tata cara di Desa “seperti memberitahukan Depati atau pesirah, memberikan tanda seperti tanaman buah-buahan, maka adanya pengakuan hak milik. Hak milik kemudian diakui. Soepmo merumuskan dengan istilah “kepemilikan hak milik membuka peluang bagi pemiliknya untuk berbuat apa saja terhadap tanah yang dimilikinya”. Namun tidak dikenal adanya jual beli. Apabila adanya jual beli tanah, maka hak milik menjadi hapus dan tanah kembali ke Dusun. Dalam teori lain disebutkan dengan istilah “tak terpisahkan tetapi dapat dibedakan”16.


Melihat penjelasan yang disampaikan, maka terhadap kekuatan hak milik tidaklah mutlak. Hak milik akan didapatkan apabila membuka hutan telah adanya persetujuan dari Depati atau pesirah. Harus segera ditanami. Seperti ujaran “Sesap rendah, jerami tinggi”. Apabila tidak ditanami, maka hak untuk menggarap menjadi hilang. Setiap tanah yang telah dibuka harus diberi tanda yang berupa tanaman seperti durian dan sebagainya. Sedangkan apabila telah dibuka, namun tidak ditanami keras dan hanya ditanami tanaman palawija baik sayur-sayuran maupun padi, maka apabila tidak dikerjakan lagi, maka hak milik menjadi hapus. Dalam teori lain disebutkan dengan istilah penguasaan berbalik (adverse possession)17

Dengan melihat prinsip-prinsip yang telah disampaikan, maka hak milik tidaklah mutlak sebagaimana dalam teori Quadragessimo Anno dalam prinsip UUPA.

Terhadap tanah tidak dapat diperalihkan kepada orang lain. Masyarakat mengenal istilah “hak wenang pilih”. Artinya Hak wenang beli adalah hak untuk diutamakan boleh membeli sebidang tanah dengan harga yang sama.

Hak milik akan tetap berada didalam tangannya apabila memang dikerjakan. Hak milik merupakan hak terkuat di antara hak perorangan yang ada.

Tanah yang telah dibuka maka harus diberi tanda (sign) seperti “hilang celak dengan mentaro”, atau cacak tanam, jambu kleko”, atau “lambas

Dengan memperhatikan sistem dan model pengelolaan yang berangkar dari kearifan lokal, maka sudah terbukti hutan tetap lestasi. Karena selain sadar akan pentingnya menjaga hutan, hutan di Luak XVI merupakan Kawasan hutan areal perlindungan bagi DAS Utama Sungai Batang Hari, yang pada umumnya merupakan huluan sungai bagi Sub DAS Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Mesumai, Batang Tabir, Batang Tantan, Sungai Aur dan Batang Nilo

Dimuat dalam Buku "Antara Primordial dan Rejim Pasar, Jakarta, 16 Mei 2013



1 Kabupaten Merangin terletak di wilayah provinsi Jambi bagian Barat dengan luas wilayah ± 767. 890 Ha, dan secara Geografis terletak pada kordinat 101˚ 32’ 11” - 102˚ 50’ 00” Bujur Timur dan Lintang Selatan dengan 1˚ 28’ 23” - 1˚ 52’ 00” dengan jumlah populasi penduduk 289. 926 jiwa. Dari berbagai sumber disebutkan . Kabupaten Merangin merupakan salah satu kabupaten yang ada di propinsi Jambi. Kabupaten Merangin mempunyai luas Taman Nasional (TNKS) 121.046 Ha dari total jumlah TNKS 402,500 Ha, Hutan Lindung (HL) 36.734 Ha dari total jumlah hutan lindung 1,653,352 Ha, Hutan Produksi (HP) 136.275 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 44.118 Ha, Areal Penggunaan Lain (APL) 429.729 Ha, dengan luas kawasan hutan di kabupaten merangin 767.900 Ha. Luas lahan kritis dikabupaten Merangin seluas 230.121 Ha (29,96%) dari luas Kabupaten Merangin
2Luak XVI sudah menjadi hidup dan tidak terpisahkan daripada kehidupan masyarakat di Bangko. LUAK XVI merupakan komunitas wilayah adat yang mempunyai identitas yang khas, wilayah klaim adat dan hukum yang mengatur kehidupan komunal masyarakat adat. LUAK XVI merupakan komunitas yang sampai sekarang masih tunduk kepada klaim wilayah adat dan menghormati hukum adat Dalam kajian ilmu hukum lebih dikenal ubi societas ibi jus yang artinya (dimana) ada masyarakat (disitu) ada hukum. Luak XVI terdiri Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Senggrahan, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah pembarap. Hubungan antara Margo Renah pembarap, Tiang Pumpung dan Margo sanggrehan dapat dilihat dari ujaran “ Margo Renah Pembarap nenek moyangnya adalah Syeh Rajo, Syeh Baiti Nenek moyang Tiang Pumpung, Syeh Saidi Malin Samad Nenek moyang Sanggrehan”. “Gedung di Pembarap, Pasak di Tiang Pumpung, Kunci di pembarap’ Pembarap berrenah luas, Tiang pumpung berlarik panjang, Sanggrehan berhutan lebar.
3Merupakan anak perusahaan Sinar Mas Grup (SMG) yang mendapat rekomendasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di kawasan hutan HP Sungai Aur, HP Batang Nilo-Nilo Dingin, HPT Gunung Sedingin dan HPT Lubuk Pekak. Kawasan hutan ini merupakan eks HPT Rimba Karya Indah (RKI), Sarestra II, dan Nursalease TC

4Lihat F. J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi, Koninklijke Vereeniging, Amsterdam, 1938
5K.R.Hall, “The Coming of Islam ti the Archipelago “ A Reasessment”, sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, hal 42
6Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII, Januari 1978.
7Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal. 71
8F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
9Pohon yang terdapat sarang lebah.
10Ahmad Intan, op.cit.
11Hak utama dari si pengelola yang tanahnya menjadi belukar lagi untuk mengerjakan tanahnya. Hak ini berakhirnya apabila tanah itu menjadi belukar kembali atau tanah belukar itu serentak dibuka kembali. Sedangkan pengelola sebelumnya tidak menggunakan haknya itu.
12F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
13Van Vollenhoven pernah merumuskannya dalam buku “De Indonesier en zijn grond (Orang Indonesia dengan tanahnya), Bockhandel en Drukkerij v/h E.J, Leiden, 1925. Hal. 9 sebagaiman dikutip Nico Nganni. Op. Cit. Hal. 53.
14F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
15Van Vollenhoven, De Indonesier en Zign Grond sebagaimana dikutip Nico Ngani, Op.cit. Hal. 118.
16Nico Ngani, Op.Cit.
17Adverse possession merupakan konsep “common law” yang memberikan hak kepemilikan dalam keadaan tertentu kepada pemilik dalam jangka panjang atas tanah lainnya. Daniel Fitzpatrick, Tanah, Adat dan Negara di Indonesia pasca Soeharto perspektif seorang ahli hukum asing dalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 161.