Putusan
MK terhadap permohonan pembatalan kata-kata “negara” dalam
definisi hutan adat menarik perhatian publik.
Sebagaimana
kita ketahui berdasarkan Putusan MK Nomor Nomor 35/PUU-X/2012 telah
menyatakan “kata negara dalam dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dengan
demikian, maka Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”
Demikian
juga juga Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan harus dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Begitu
juga Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan harus dimaknai “Hutan negara tidak termasuk hutan
adat”
Eforia
terhadap putusan MK disambut berbagai kalangan. Dalam berbagai media,
putusan MK kemudian dimaknai sebagai penghormatan terhadap masyarakat
adat.
Catatan
Yuridis
Tanpa
mengurangi semangat eforia, ada beberapa catatan penting untuk
melihat putusan. Pertama. Putusan MK “sebenarnya” bentuk
konsistensi” putusan MK yang berkaitan dengan definisi “hak
menguasai negara”. Dalam berbagai putusannya, MK selalu
mendasarkan “hak menguasai negara” bersandarkan kepada
pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ” Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Makna
”dikuasai oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat
berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet.
Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan
kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3)
pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5)
pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai
oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat
(3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi
Indonesia.
Putusan
MK sudah sering mengabulkan “paradigma” hak menguasai negara
dalam pandangan konstitusinya. Putusan MK yang Sering mengabulkan
permohonan para pihak. (Sekedar contoh dapat dilihat putusan MK
45/PUU-IX/2011, 32/PUU-VIII/2010 dan 34/PUU-IX/2011)
Jadi,
Putusan MK tentu saja “meneruskan” paradigma konstitusi
mengenai “HMN”.
Kedua.
Problema di sektor kehutanan memang menimbulkan persoalan pelik.
Terlepas dari penghormatan konstitusi melalui Putusan MK mengenai
Desa didalam hutan, Dalam berbagai catatan, masih ada desa didalam
hutan sebanyak 18.784 desa atau 26,6% dari jumlah seluruh desa di
Indonesia. Bahkan dalam identifikasi oleh Kementerian Kehutanan
berjumlah 31.957 Desa.
Sedangkan
berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2003 tercatat
sekitar 48,8 juta jiwa atau 22 persen dari 219,9 juta penduduk
Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, 10,2 juta jiwa di
antaranya masuk dalam klasifikasi penduduk miskin. Dari data tersebut
diketahui sekitar 6 juta jiwa penduduk memiliki mata pencaharian
langsung dari hutan dan sekitar 3,4 juta jiwa di antaranya bekerja di
sektor swasta kehutanan
Problemapun
muncul. Apakah status sebagai wilayah adat sudah berhasil
diidentifikasikan dan diberi penghormatan oleh konstitusi ?
Ketiga.
Lantas apakah putusan MK dapat menyelesaikan berbagai persoalan
masyarakat adat yang berkaitan dengan hutan. Apakah sudah
dipersiapkan berbagai infrastruktur terhadap pola penyelesaian
terhadap berbagai persoalan yang berkaitan hutan dengan masyarakat ?
Keempat.
Apakah simbol-simbol adat seperti “Titian Teras Betanggo Batu
atau Cermin Gedang Nan Dak Kabur atau Lantak Dalam Nan Tak Goyah,
Kapik Dak Tak Gelensur atau Kato Mupakat atau Tidak Lapuk Di Hujan,
Tidak Lekak Di Paneh masih berfungsi ?
Kelima.
Apakah masih berfungsinya Struktur Dan Pranata Sosial didalam lapisan
masyarakat adat (persekutuan
hukum/rechtsgemeenshap).
Apakah sistem pemerintahan masih berangkat dari nilai-nilai kearifan
lokal
(indigenous
knowledge).
Bagaimana
dengan sistem pemerintahan terendah (village
government).
Apakah masih mengenal seperti dusun, mendapo, nagari, kampung ?
Padahal
kita sudah mengetahui, lahirnya UU No. 5 Tahun 1979 tidak hanya
mengganti sistem pemerintahan terendah (village government)
menjadi seragam, namun “merusak” berbagai struktur dan
pranata sosial.
Keenam.
Bagaimana nilai dan norma dari
nilai-nilai kearifan lokal
(indigenous
knowledge).
Apakah masih “bertahan”
atau sudah tergerus dengan perkembangan zaman ?
Mengutip
pendapat Ter Haar yang menyebutkan identifikasi masyarakat hukum adat
adanya Adanya tempat yang dilarang. Masyarakat bersama-sama dapat
mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang
terdapat dalam hutan.
Mereka
mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan Penghulu
(volkshoofd). Hak ini kemudian dikenal dengan istilah hak
Membuka Tanah (ontginningrecht), Hak Menikmati (genotrecht)
dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang
digarapnya. Atau biasa juga dikenal ”Qui prior et tempore,
potior est in jure orang yang pertama datang adalah orang yang
paling pertama mendapat hak.
Sedangkan
apabila ditanami tanaman keras dan diberi tanda-tanda berupa tanaman
buah-buahan seperti durian, maka hak miliknya dilindungi.
Terhadap
masyarakat yang membuka hutan telah sesuai dengan tata cara maka
adanya pengakuan hak milik. Hak milik kemudian diakui. Soepmo
merumuskan dengan istilah “kepemilikan
hak milik membuka peluang bagi pemiliknya untuk berbuat apa saja
terhadap tanah yang dimilikinya”.
Dalam teori lain disebutkan dengan istilah “tak
terpisahkan tetapi dapat dibedakan”
Begitu
banyak catatan yuridis yang mendasarkan putusan MK membuat kita
berkeyakinan. Putusan MK tidak menyelesaikan berbagai persoalan
antara masyarakat adat (rechtsgemeenschap) dengan hutan. Namun
Putusan MK “membuka” pintu untuk “sekedar”
menengok persoalan antara masyarakat adat dengan hutan. Dan Putusan
MK membuka mata kita dan menyadarkan kita, masih banyak yang harus
kita kerjakan.
Baca : Mendengarkan kesaksian para penyelamat hutan
Dimuat di Posmetronline, 4 Juni 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom.html
Dimuat di Posmetronline, 4 Juni 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom.html