13 Desember 2016

PAKAIAN



Akhir-akhir ini kita kemudian “digerahkan” dengan pakaian. Bukan udara panas yang menyengat tanpa pendingin. Ataupun gedung tanpa jendela. Tapi memang pakaian yang bikin kita gerah.
Cerita pakaian mengingatkan cerita Abunawas.
Alkisah. Abu Nawas diundang pesta oleh Raja. Sebagai pesta, tentu saja dihadiri orang-orang kaya pada zaman itu, pembesar negeri hingga orang-orang ternama.
Namun Abu Nawas datang tidak biasanya. Abunawas “berpakaian” kampong, celana lusuk, baju kusam tanpa alas kaki  memasuki sebuah pesta.
Di pintu masuk, sang pengawal pintu tidak mengenalnya sebagai “orang kepercayaan” Sang Raja. Orang yang paling didengar nasehatnya ketika Raja “galau” memutuskan sebuah persoalan.  Abu Nawas kemudian diusir dan tidak diperkenankan masuk.
Abu Nawaspun pulang dan menggantikan baju kebesaran istana. Lengkap dengan pasukan mengiringi dengan pasukan terbaik istana.
Ketika datang kedua kalinya, Abu Nawas disambut dengan meriah. Lengkap dengan hidangan mewah  Seperti biasa, Sang Raja ingin mendengar cerita Abu Nawas. Sindirannya dalam namun tidak mengejek.
Setelah bercerita, maka tibalah saatnya tamu kemudian disuguhi makanan. Tamupun lahap memakan hidangan yang disediakan.
Namun berbeda dengan tamu yang lain. Abu Nawas justru membuka bajunya dan kemudian memberikan makanan kepada bajunya.
Tamupun heran. Melihat tingkah laku Abu Nawas.
Lantas Sang Raja bertanya. “Abu Nawas. Apa yang kau lakukan ?. Dengan enteng Abu Nawas kemudian menjawab. “Ketika aku masuk kesini, namun diusir. Setelah aku berganti pakaian, maka aku bisa masuk.. Maka Pakaian inilah yang lebih tepat menikmati makanan dan minuman. Bukan Aku”.
Cerita Abu Nawas begitu kocak sehingga sering disebut sebagai “humor” ala rakyat. Setiap sindirannya tajam, jenaka namun berbekas.
Ya. Dengan pakaianlah, kita kemudian dilihat dan dihargai orang. Dengan pakaian, kita kemudian diperlakukan berbeda. Dengan pakaian, maka kita bisa menikmati fasilitas ataupun kemudahan. Dengan pakaian, kita kemudian menjadi istimewa.
Dengan pakaian kita kemudian menjadi berbeda dengan orang lain. Dengan pakaian, maka teman sekolah menjadi berbeda. Dengan pakaian, satu persatu tidak menganggap kita bagian dari persahabatannya.
Dengan pakaian, maka penilaian kemudian dijatuhkan. Palupun diketuk. Godampun ditabuhkan. Kamu bukan bagian dari kami. Kamu bukan golongan kami. Kamu bukan ciptaaan Illahi.
Lha. Kok kita tidak dihargai sebagai manusia ?

12 Desember 2016

opini musri nauli : LOGIKA TERORIS

Saya tidak akan membahas penggunaan ayat-ayat Al Qur’an oleh teroris didalam bai’at ataupun meyakini perbuatan terorisnya. Biarlah itu menjadi ranah kaum agamawan untuk menolak ataupun membenarkannya. Tapi saya mengetahui bagaimana penggunaan ayat-ayat Al Qur’an ataupun tafsiran “sempit” untuk membenarkan perbuatannya.
Tapi penangkapan seorang perempuan lugu di kontrakan di Bekasi dan jaringannya di berbagai tempat di Ngawi, Klaten mengganggu nurani kita melihat peristiwa.

11 Desember 2016

opini musri nauli : Catatan Hukum PP No 57 Tahun 2016



Memasuki musim hujan, tahun 2016 dilalui dengan tenang tanpa adanya titik api yang berarti. Langit tetap cerah tanpa diselimuti asap seperti 5 tahun terakhir.

opini musri nauli : SOSIOLOGI MENJADI MENARIK DI TANGANNYA


Pagi hari tadi, saya mendapatkan berita tentang meninggalnya George Aditjondro,(dengan dialek “Jos”) seorang sosiologi politik yang terkenal menuliskan buku “gurita” kekayaan Presiden Indonesia. Baik Soeharto yang kemudian dimuat Time dan Tempo juga “gurita Cikeas” yang terkenal.

09 Desember 2016

opini musri nauli : Perempuan Memimpin Indonesia



Menjelang akhir tahun, Epistema Institute kemudian menetapkan Luluk Uliyah (Luluk) sebagai Direktur Epistema Institute. Mengikuti jejak Nur Hidayati (Yaya - Walhi), Rahmawati Retno Winarni (Wiwin - Tuk Indonesia), Dewi Kartika (Dewi – KPA), Inda Pattinaware (Inda – Sawit Watch), Asfin (YLBHI), Dahniar (Huma). Luluk juga mengikuti jejak Myrna Safitri memimpin Epistema Institut. Myrna Safitri kemudian menjadi Deputi di Badan Restorasi Gambut (BRG).

08 Desember 2016

opini musri nauli : Makar dalam Pandangan Hukum Adat Jambi





Akhir-akhir ini berita makar menghiasi media massa nasional. Makar dalam ilmu hukum pidana dikenal Kejahatan terhadap keamanan negara.


Dalam BAB I Buku II KUHP, yang disebut sebagai makar dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap keamanan Negara. Baik dengan upaya penghilangan nyawa Presiden/Wakil Presiden (Pasal 104 KUHP), memisahkan dari wilayah Negara Indonesia (Pasal 106 KUHP), Menggulingkan Pemerintah yang sah (Pasal 107 KUHP). Pemberontakan (Pasal 108 KUHP), perbuatan penyertaan/deelneming (Pasal 110 KUHP), bersekutu dengan Negara lain (Pasal 111 KUHP), berkhianat kepada Negara lain (Pasal 113 KUHP). Pokoknya upaya mendongkel pemerintahan yang sah. Ini tentu saja berbeda dengan kritikan, petisi ataupun penolakan kebijakan dari Pemerintah. Sebuah upaya pengaburan ataupun upaya mencampuradukkan persoalan makar dengan kritikan kepada Negara yang digagas untuk menutupi tuduhan makar.


Dalam ranah ilmu politik, makar sering juga disebut sebagai upaya penggulingan Pemerintah yang sah ataupun tidak mengakui pemerintahan yang sah.


Perbuatan makar dalam ranah hukum pidana merupakan pidana yang sangat serius. Diletakkan sebagai kejahatan utama didalam Bab I Buku II KUHP membuktikan upaya Negara didalam melindungi kedaulatan Negara. Upaya ini adalah harga yang harus dibayar mahal apabila ada pihak-pihak tertentu yang melakukan tuduhan makar.


Sebagai tuduhan serius, tentu saja tuduhan makar tidak dapat dikategorikan sebagai tuduhan tanpa bukti. Tanpa mempengaruhi proses hukum, “dugaan” dari penyidik terhadap orang-orang yang dikategorikan sebagai “tuduhan serius” makar haruslah didasarkan kepada bukti-bukti hukum yang kuat. Sehingga tuduhan tersebut tidak menjadi persoalan main-main di tengah masyarakat. Apalagi adanya tuduhan “melempar” gertakan kepada sebagian masyarakat.


Begitu juga pandangan didalam hukum adat di Jambi. Tuduhan makar dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang serius.


Dalam “Pucuk Undang Nan Delapan”, kategori makar juga diletakkan didalam persoalan pertama. Makar kemudian dikategorikan sebagai perbuatan “Dago Dagi”. Dalam bahasa umum dikategorikan sebagai “perbuatan melanggar kepentingan umum dan menimbulkan kekacauan di negeri.


Menempatkan Makar dikategorikan sebagai persoalan pertama menunjukkan begitu serius perhatian dari hukum adat didalam kejahatan hukum adat Jambi.


Dago dagi adalah kejahatan adat yang menimbulkan kegemparan, kehebohan masyarakat sehingga masyarakat menjadi resah, khasak khusuk sehingga masyarakat menjadi tidak tenang dan resah. Keresahan di negeri menimbulkan syakwasangka dan rakyat kemudian mengadu kepada pembesar negeri.


Kepentingan umum terganggu. Ketenangan di kampong tidak dirasakan lagi. Anak-anak tidak berani mandi di sungai. Bapak-bapak tidak berani ke ladang. Ibu-ibu tidak berani mengambil air di sungai. Orang-orang tidak berani kumpul di masjid. Jalanan kampong menjadi sepi. Orang takut tidur dan meronda kampong secara bergantian.


Kegemparan di kalangan rakyat inilah yang menyebabkan, pembesar negeri memerintahkan dubalang, menti ataupun pengawal kampong untuk menjaga negeri.


Kegemparan yang disebabkan berita tentang perbuatan yang menimbulkan keributan di negeri membuat rakyat menjadi berjaga-jaga kampong sehingga kampong tidak diserang ataupun kepentingan umum rakyat tetap terjaga.


Kegemparan, kehebohan, kepanikan di tengah masyarakat terhadap perbuatan yang menimbulkan keributan di kampong membuat “dago dagi” kemudian menjadikan perbuatan utama yang harus segera diselesaikan. Sehingga Kepentingan umum tidak boleh terganggu.


Dengan demikian, maka “dago-dagi” adalah persoalan serius didalam pandangan hukum adat di Jambi.


Oleh karena itu, tuduhan serius dari kepolisian terhadap upaya makar dalam issu politik akhir-akhir ini haruslah dapat dibaca sebagai suasana kehebohan dalam ranah hukum adat di Jambi.


Menjadikan persoalan makar sebagai guyonan ataupun sebagai issu politik belaka tanpa membongkar rencana khusus upaya pembongkaran kasus makar, maka meninggalkan pemikiran terhadap pandangan hukum adat di Jambi.


Memberikan kabar tentang upaya makar maka haruslah diselesaikan. Selain memberikan kepastian terhadap kasus makar itu sendiri juga sebagai bentuk agar public tidak diresahkan “upaya pencongkelan” Pemerintah yang sah.


04 Desember 2016

opini musri nauli : AKU MEMILIH MUNDUR

                       
Tiba-tiba “Keislaman”ku dipertanyakan, digugat, dipersoalkan. Tiba-tiba keislamanku disalahkan. Tiba-tiba kemudian aku ngeri mendengkar kata”kafir” terhadap mereka yang berbeda paham



Karena memang ilmu agamaku dangkal. Atau memang aku yang bodoh kemudian “wiridan”, qunud, jilbab, atau kata “insya allah” kemudian kehilangan makna.

02 Desember 2016

opini musri nauli : TITO – DIPLOMAT ULUNG



Membaca “aksi damai” tanggal 2 Desember 2016 haruslah dilihat dari rangkaian panjang sehingga “suasana sejuk”, “doa bersama” hingga sholat jumat berakhir damai, kondusif dan bikin adem.

Rangkaian panjang dari tanggal 4 November 2016 bukanlah kemudian dibaca semata-mata tanggal 2 Desember. Ada rangkaian panjang peristiwa, strategi Jokowi yang kemudian dengan ciamik dimainkan oleh Kapolri, Tito Karnavia (Tito).

opini musri nauli : KITA DAN HANTU


Selama dua tahun ini, kita disuguhkan berita-berita hoax, caci maki, berita pelintiran, tidak nyambung, saling menyalahkan, memperkeruh keadaan, logika tidak jalan hingga berbagai issu yang bikin suasana bikin kisruh.

Jokowi dan Ahok dijadikan sasaran tembak. Entah betul atau tidak berita yang dishare, tapi Jokowi dan Ahok sering disalahkan dan dan menjadi penyebab kekisruahan.

Entah pengguna medsos, masyarakat bahkan pejabat yang mendiskusikan tentang berita dari medsos. Dan untuk membantu alur  memahami, maka saya akan beberapa contoh bagaimana logika tidak jalan.

01 Desember 2016

opini musri nauli : MENUNGGU JURUS WIRO SABLENG




Besok tanggal 2 Desember yang kemudian dikenal 212. Angka 212 mengingatkan sang pendekar unik khas Indonesia. Wiro Sableng. Seorang pendekar yang urakan, baik hati namun mampu mengalahkan musuh-musuh sakti yang hendak mengacau negeri yang damai.

Wiro Sableng adalah tokoh fiksi dari Bastion Tito. Melengkapi karakter dan kesaksian Wiro Sableng, maka Wiro Sableng kemudian berguru dengan Sinto Gendeng. Lengkaplah sudah rangkaian cerita menggunakan kata “Sableng” dan Gendeng” . Sebuah kata yang melambangkan “kegilaan”, keurakan hingga kesablengan dengan berbagai cerita novel berseri yang hidup di tahun 90-an.

Untuk melengkapi kesaktian, Wiro Sableng memiliki berbagai jurus. Baik dengan penamaan jurus yang bikin geleng kepala hingga nama jurus yang serius. Jurus seperti “ilmu silat orang Gila”, “Pukulan Angin Puyuh, “Pukulan Kunyuk Melempar buah” merupakan nama jurus Wiro Sableng dari pikiran iseng dari Bastian Tito. Namun untuk menguji kedigdayaan Wiro Sableng, maka jurus-jurus seperti Pukulan Dinding Angin Berhembus tindih-menindih, Pukul Dewa Menggusur Topan Menggusur gunung hingga pukulan pamungkas “Pukulan Harima Dewa’ dan Pukulan Sinar matahari merupakan jurus-jurus yang ampuh didalam mematikan kesaktian dari sang pengacau.

Cerita Wiro Sableng adalah cerita yang paling hidup dan paling dikenang oleh rakyat Indonesia. Bahkan berbagai bukunya kemudian mencapai hingga mencapai satu juta ekslampar. Cerita yang masih dikenang sebagai cerita yang melambangkan cerita Indonesia dari ranah silat. Seni Beladiri khas Indonesia.


Namun tentu saja Wiro Sableng tidak mau dikaitkan dengan hal-hal mistis. Berbagai cerita Wiro Sableng merupakan alur cerita yang disusun rapi. Hingga setiap penerbitan baru selalu ditunggu oleh pembaca.