Saya tidak akan membahas penggunaan ayat-ayat Al Qur’an oleh teroris
didalam bai’at ataupun meyakini perbuatan terorisnya. Biarlah itu menjadi ranah
kaum agamawan untuk menolak ataupun membenarkannya. Tapi saya mengetahui
bagaimana penggunaan ayat-ayat Al Qur’an ataupun tafsiran “sempit” untuk
membenarkan perbuatannya.
Tapi penangkapan seorang perempuan lugu di kontrakan di Bekasi dan
jaringannya di berbagai tempat di Ngawi, Klaten mengganggu nurani kita melihat
peristiwa.
Padahal ditemukan bom dengan 3 kg berjenis TATP berbentuk rice cooker
sudah memberikan pesan yang berbahaya terhadap “daya ledak” bom yang
diciptakan. Kemampuan ledaknya mencapai 300 meter (high explosive)
Meremehkan kemampuan merakit bom ataupun jaringan terorisme mengingatkan
peristiwa Bom Bali I tahun 2002. Masih ingat tuduhan kepada pelaku Bom Bali I
yang tertangkap dianggap “tidak mungkin’. Bayangkan dari pesantren kecil di
Jawa, bagaimana mungkin mereka bisa mendesain perencanaan bom Bali I yang
menghentak Indonesia dan dunia. Imam Samudra, Umar Patek, Ali Imron, Ali
Gufron, Amrozi adalah nama-nama yang terlibat didalam desain canggih pada saat
itu.
Publik “meragukan” hasil penangkapan dan menuduh “ada desain besar”
menghancurkan kelompok Islam. Tuduhan itu cukup serius sehingga sebuah televisi
harus melayangkan secara “live” bagaimana Ali Imron harus memeragakan perakitan
bom dalam sejumlah “filling” cabinet hingga siap digunakan.
Dengan santai, Ali Imron memeragakan rangkain 23 adegan lengkap detail
penggunaan istilah kimia untuk merakit bom, memasukkan kedalam mobil L-300
hingga meledak di Legian, Kuta, Bali. Hasil
rakitan bom kemudian dapat disetarakan dengan bom TNT seberat 1 kg merupakan bom RDX berbobot 50-150 kg. Serpihan
mobil L-300 adalah awal investigas membuka misteri peristiwa tersebut.
Peristiwanya sungguh dahsyat. 202 orang tewas. 209 orang luka-luka. Dunia
hukum kemudian heboh terhadap terorisme yang belum diatur didalam norma hukum
Indonesia.
“Meremehkan” kemampuan para veteran Afganistan dengan “daya ledak
luarbiasa” adalah “kekagetan” rakyat Indonesia pada saat itu. Perang Afganistan
yang jauh dari ufuk Indonesia membuat “ketidakpercayaan” alumni pesantren mampu
merakit bom hingga mempunyai daya ledak di 23 negara. Australia menjadi korban
yan warganegaranya yang cukup banyak.
Entah didesain khusus ataupun “kekurangpengetahuan” tentang veteran
Afganistan, resistensi public terutama tokoh-tokoh Islam menolak keras
penangkapan dan tuduhan dari Mabes Polri terhadap Imam Samudra cs. Tuduhan
“mengada-ada” kepada Mabes Polri begitu kuat.
Namun dengan ketekunan dimulai dari pengungkapan sepeda motor Yamaha,
serpihan mobil L-300 (nomor chasis dan
nomor mesin sudah dihapus dengan cara digerinda namun KIR masih meninggalkan
jejak) maka misteri ini kemudian terkuak.
Jejak ini kemudian menemukan Amrozi di Lamongan tiga minggu kemudian. Jejak
ini kemudian berhasil mengungkapkan pelaku lain seperti Ali Imron, Ali Gufron,
Imam Samudra, Umar Patek dan lain-lain.
Publik kemudian “kaget” dengan kelompok Bom Bali I. Dengan latarbelakangi
veteran Afganistan, jaringan teroris mereka sudah menjadi jaringan global yang
disebut-disebut bagian dari Al Qaeda.
Dengan kemampuan itulah, maka misteri terhadap “peristiwa” kemudian
membuka mata Indonesia. Kemampuan “merakit” bom adalah keahlian yang tidak bisa
diremehkan walaupun mereka berasal dari pesantren kecil di Jawa.
Kemampuan itu tidak boleh diremehkan dengan melihat penampilan dari
pelaku. Itu pelajaran yang disampaikan oleh Ali Gufron ketika
“mempresentasikan” perakitan bom yang mempunyai daya ledak luarbiasa.” Begitu
juga kesaksian Nasir Abbas, Anggota
Jamaah Islamiyah yang terlibat serangkaian teror bom di Indonesia seperti bom
di Kedutaan Australia dan di Hotel JW Marriot.
Ali Imron menceritakan pengalamannya saat terlibat
pengeboman di Bali tahun 2002. "Yang
saya lakukan dulu itu bukan jihad. Itu jihad yang lebih banyak mudaratnya”.
Ali Imron dan Nasir Abbas kemudian membantu Indonesia untuk mengungkapkan
scenario teroris.
Yang pasti, saya
tidak mempertaruhkan masa depan anak-anak saya dengan kejadian seperti di
Syria, Lebanon.
Jadi. Meremehkan kemampuan para teroris
dengan kehidupan sehari-hari memberikan peluang terjadinya teroris. Dan itu
yang diinginkan oleh teroris yang menganggap Indonesia sebagai surga tumbuhnya
terorisme.
Dan tugas kita bersama untuk melawan teroris
untuk menghancurkan Indonesia.