12 Desember 2016

opini musri nauli : LOGIKA TERORIS

Saya tidak akan membahas penggunaan ayat-ayat Al Qur’an oleh teroris didalam bai’at ataupun meyakini perbuatan terorisnya. Biarlah itu menjadi ranah kaum agamawan untuk menolak ataupun membenarkannya. Tapi saya mengetahui bagaimana penggunaan ayat-ayat Al Qur’an ataupun tafsiran “sempit” untuk membenarkan perbuatannya.
Tapi penangkapan seorang perempuan lugu di kontrakan di Bekasi dan jaringannya di berbagai tempat di Ngawi, Klaten mengganggu nurani kita melihat peristiwa.
Padahal ditemukan bom dengan 3 kg berjenis TATP berbentuk rice cooker sudah memberikan pesan yang berbahaya terhadap “daya ledak” bom yang diciptakan. Kemampuan ledaknya mencapai 300 meter (high explosive)
Meremehkan kemampuan merakit bom ataupun jaringan terorisme mengingatkan peristiwa Bom Bali I tahun 2002. Masih ingat tuduhan kepada pelaku Bom Bali I yang tertangkap dianggap “tidak mungkin’. Bayangkan dari pesantren kecil di Jawa, bagaimana mungkin mereka bisa mendesain perencanaan bom Bali I yang menghentak Indonesia dan dunia. Imam Samudra, Umar Patek, Ali Imron, Ali Gufron, Amrozi adalah nama-nama yang terlibat didalam desain canggih pada saat itu.
Publik “meragukan” hasil penangkapan dan menuduh “ada desain besar” menghancurkan kelompok Islam. Tuduhan itu cukup serius sehingga sebuah televisi harus melayangkan secara “live” bagaimana Ali Imron harus memeragakan perakitan bom dalam sejumlah “filling” cabinet hingga siap digunakan.
Dengan santai, Ali Imron memeragakan rangkain 23 adegan lengkap detail penggunaan istilah kimia untuk merakit bom, memasukkan kedalam mobil L-300 hingga meledak di  Legian, Kuta, Bali. Hasil rakitan bom kemudian dapat disetarakan dengan bom TNT seberat 1 kg  merupakan bom RDX berbobot 50-150 kg. Serpihan mobil L-300 adalah awal investigas membuka misteri peristiwa tersebut.
Peristiwanya sungguh dahsyat. 202 orang tewas. 209 orang luka-luka. Dunia hukum kemudian heboh terhadap terorisme yang belum diatur didalam norma hukum Indonesia.
“Meremehkan” kemampuan para veteran Afganistan dengan “daya ledak luarbiasa” adalah “kekagetan” rakyat Indonesia pada saat itu. Perang Afganistan yang jauh dari ufuk Indonesia membuat “ketidakpercayaan” alumni pesantren mampu merakit bom hingga mempunyai daya ledak di 23 negara. Australia menjadi korban yan warganegaranya yang cukup banyak.
Entah didesain khusus ataupun “kekurangpengetahuan” tentang veteran Afganistan, resistensi public terutama tokoh-tokoh Islam menolak keras penangkapan dan tuduhan dari Mabes Polri terhadap Imam Samudra cs. Tuduhan “mengada-ada” kepada Mabes Polri begitu kuat.
Namun dengan ketekunan dimulai dari pengungkapan sepeda motor Yamaha, serpihan mobil L-300 (nomor chasis dan nomor mesin sudah dihapus dengan cara digerinda namun KIR masih meninggalkan jejak) maka misteri ini kemudian terkuak.
Jejak ini kemudian menemukan  Amrozi di Lamongan tiga minggu kemudian. Jejak ini kemudian berhasil mengungkapkan pelaku lain seperti Ali Imron, Ali Gufron, Imam Samudra, Umar Patek dan lain-lain.
Publik kemudian “kaget” dengan kelompok Bom Bali I. Dengan latarbelakangi veteran Afganistan, jaringan teroris mereka sudah menjadi jaringan global yang disebut-disebut bagian dari Al Qaeda.
Dengan kemampuan itulah, maka misteri terhadap “peristiwa” kemudian membuka mata Indonesia. Kemampuan “merakit” bom adalah keahlian yang tidak bisa diremehkan walaupun mereka berasal dari pesantren kecil di Jawa.
Kemampuan itu tidak boleh diremehkan dengan melihat penampilan dari pelaku. Itu pelajaran yang disampaikan oleh Ali Gufron ketika “mempresentasikan” perakitan bom yang mempunyai daya ledak luarbiasa.” Begitu juga kesaksian Nasir Abbas, Anggota Jamaah Islamiyah yang terlibat serangkaian teror bom di Indonesia seperti bom di Kedutaan Australia dan di Hotel JW Marriot.
Ali Imron menceritakan pengalamannya saat terlibat pengeboman di Bali tahun 2002. "Yang saya lakukan dulu itu bukan jihad. Itu jihad yang lebih banyak mudaratnya”. Ali Imron dan Nasir Abbas kemudian membantu Indonesia untuk mengungkapkan scenario teroris.
Yang pasti, saya tidak mempertaruhkan masa depan anak-anak saya dengan kejadian seperti di Syria, Lebanon.
Jadi. Meremehkan kemampuan para teroris dengan kehidupan sehari-hari memberikan peluang terjadinya teroris. Dan itu yang diinginkan oleh teroris yang menganggap Indonesia sebagai surga tumbuhnya terorisme.
Dan tugas kita bersama untuk melawan teroris untuk menghancurkan Indonesia.