Selama
dua tahun ini, kita disuguhkan berita-berita hoax, caci maki, berita
pelintiran, tidak nyambung, saling menyalahkan, memperkeruh keadaan, logika
tidak jalan hingga berbagai issu yang bikin suasana bikin kisruh.
Jokowi
dan Ahok dijadikan sasaran tembak. Entah betul atau tidak berita yang dishare,
tapi Jokowi dan Ahok sering disalahkan dan dan menjadi penyebab kekisruahan.
Entah
pengguna medsos, masyarakat bahkan pejabat yang mendiskusikan tentang berita
dari medsos. Dan untuk membantu alur
memahami, maka saya akan beberapa contoh bagaimana logika tidak jalan.
Entah
koplok atau “sok tahu”, berbagai medsos “menghajar” ulama-ulama sepuh yang
kadar keilmuannya tidak diragukan lagi. Gus Mus, Buya Syafie, Quraish Shihab,
Said Agil Siroj.
Medsos
kemudian “memborbardir” issu bid’ah dari seorang artis yang enteng ngomong di
televisi. Artis yang datang entah darimana, “seakan-akan” fasih bercerita
tentang bid’ah.
Bagaimana
saya percaya. Jangankan Menafsirkan. Tajwid aja tidak lurus. Jadi. Bagaimana
pula saya percaya dengan omongannya.
Namun
medsos kemudian tidak henti-hentinya mempersoalkan bid’ah dan meragukan
keulamaan dari Gus Mus, Quraish Shihab maupun Said Aqil Siroj.
BERITA
BOHONG
Issu
komunis dan issu Syiah merupakan issu sensitive dan memancing kemarahanan
rakyat. Entah koplok atau memang hendak mengail di air keruh, berita ini
menggelinding “bak salju”.
Dalam
suasana pilres, Jokowi sering dipelintir dengan berita komunis. Dan entah
darimana sumbernya, berita ini kemudian mempengaruhi pemilih pilres. 2 tahun
kemudian penyebar berita “Obor Rakya” disidangkan dan kita mengetahui, hukuman
pidana telah menyatakan bersalah.
Tidak
cukup dengan Jokowi. Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj bahkan mantan Menteri
Agama, Quraish Shihab, ahli tafsir kemudian disebut Syiah. Issu sensitive yang
bikin heboh negeri.
Namun
entah “terlalu” bersemangat, bahkan ada juga yang jurnalis, disatu sisi
menyelesaikan beritanya namun juga share
berita hoax.
Ah.
Bikin geleng-geleng kepala saja.
JOKOWI
DAN AHOH
Entah
nyambung atau tidak, atau disambung-sambung, setiap permasalahan di negeri ini
haruslah disalahkan Jokowi atau Ahok.
Diangkatnya
Setya Novanto, Ketua DPR-RI yang pasti dipilih oleh anggota DPR, malah meme
beterbangan pernyataan Jokowi dalam issu “papa minta saham”. Coba hayo. Yang
dipilih Ketua DPR, kok Presiden dijadikan meme.
Bahkan
seorang pembesar dengan “enteng” menuduh masuknya 10 juta pekerja dari
Tiongkok. Sayapun geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin pembesar yang
menyandang gelar berteret, sering tampil di media tapi kok percaya berita hoax.
Emangnya
mudah memasukkan pekerja 10 juta orang. Lha wong menarik minat mendatangkan
turis 10 juta, Negara sibuk promosi di berbagai dunia.
Banjir
di daerah Jawa Barat, Gubernur cuma
meminta berdoa dan bersabar. Banjir di Bandung, Ahok kena getahnya.
BERITA
PELINTIRAN
Nah.
Kalo berita pelintiran jangan disebutkan jumlahnya. Situs-situs abal-abal
sering menyampaikan berita pelintiran. Berita sebenarnya “discreenshoot”,
diedit ditambahkan nada provokatif dan kemudian dishare.
Tidak
cukup tukang sate ataupun penjaga warnet yang melakukan. Bahkan yang mengaku
dari kampus, mengajar ilmu jurnalistik, sedang mengambil gelar Doktor di
Belanda kemudian dengan enteng kemudian menyebarkannya dan membikin “degup”
jantung negeri sedang dipertaruhkan.
Berita
ini kemudian menjadi berita paling panas tahun 2016. Bahkan berita paling panas
setelah pilpres.
Lalu
mengapa “gonjang-ganjing” ini sedang menggema di dunia ini.
Pertama.
Manusia yang percaya berita dari hantu kemudian mendiskusikannya dan kemudian
menjadikan kebenaran, maka ada sesuatu yang salah dari informasi yang
diterimanya.
Mengapa
ada nada kebencian terhadap NU, Muhammadiyah, ulama sepuh, Jokowi dan Ahok ?
Terlepas
dari kasus Ahok, issu ini terus menggelinding dan memakan korban saling
berjatuhan.
Ulama
sepuh seperti Gus Musa tau Said Aqil Siroj tidak terlepas dari issu panas dan
terus berhadapan dengan medsos.
Tidak
cukup dengan perdebatan panas bahkan issu penggulinggan sebagai Ketua Umum PBNU
terus disuarakan. Ah. Benteng terus digempur hingga NU tidak menjadi benteng
mengawal kebenaran.
Kedua.
Penegakkan Hukum terhadap pelaku penyebar berita medsos yang kurang maksimal.
Iss
Rush money yang dilakukan oleh seorang guru SMK di Jakarta, seorang pendidik
yang menyampaikan pendidikan yang baik kepada muridnya, justru terjebak dengan
issu sensitive. Rush Money. Sebuah isu tidak main-main. Bahkan dapat
dikategorikan sebagai “issu bom”.
Selain
itu praktis, terhadap penyebar berita hoax tidak terdengar lagi kabarnya.
Ketiga.
Meruntuhkan symbol-simbol pengawal kebenaran.
Menghajar
NU namun tidak berhasil. NU kemudian menjadi benteng kokoh mengawal kebenaran.
Islam, Kebangsaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan nafas merupakan “sikap
patriotic” NU yang handal didalam mengawal Keindonesiaan.
NU
kemudian dianggap sebagai benteng yang harus dirobohkan. Dari ranah ini,
kemudian NU menjadi “sasaran” tembak yang terus menerus disasar.
Begitu
juga Quraish Shihab sebagai ahli tafsir. Dalam berbagai tema penting, tausiah
Quraish Shihab mampu menjernihkan persoalan dan mengembalikan makna Islam
sebagai agama bagi semua umat manusia. Rahmatan lil Alamin.
Kesulitan
berargumentasi dengan Quraish Shihab kemudian menyebabkan, serangan kepada
Quraish Shihab menjadi personal. Quraish Shihab kemudian dituduh Syiah. Bahkan
putri Quraish Shihab, Najwa Shihab sebagai pembaca acara “Mata Najwa”
dipersoalkan tidak memakai jilbab.
Upaya
menghajar dari segi personal dilakukan selain meruntuhkan integritasnya juga
bertujuan agar “tausiah” tidak menjadi bahan pembanding dari serangan dari
dunia maya.
Keempat.
Mengalihkan persoalan
Dengan
serangan sistematis , cyber war ketika kehilangan issu, mulai mengalihkan
persoalan.
Masih
ingat ketika paska Pilpres, tiba-tiba berita kemudian digiring ke persoalan
Palestina. Namun entah dukungan apa yang diberikan kepada Palestina, namun
persoalan kemanusiaan Palestina tidak mendapatkan porsi yang cukup dari
dukungan yang diberikan oleh Indonesia.
Atau
masih ingat dengan ditetapkan Ahok sebagai tersangka. Tiba-tiba konsentrasi
kemudian diberikan kepada Rohingya. Sembari menunggu tanggal 2 Desember, Issu
Rohingya dijadikan sebagai issu perekat.
Membaca
suasana gaduh di negeri ini, maka
kemudian tidak salah, hantu terus berkeliaran menghinggapi pikiran kita. Hantu
terus menebar teror, menciptakan permusuhan, mempersoalkan aqidah, mengusung
issu agama menjadi trending politik di kancah negeri.
Kita
tidak lagi dibebani berfikir mengenai kebangsaan, pluralism, masalah pangan,
masalah banjir, masalah tanah atapun masalah kesehatan yang tidak diurus oleh
Negara.
Hantu
kemudian mengelilingi pikiran kita dan menciptakan teror baru yang lebih
dahsyat dampaknya dari alam bawah sadar.
Hantu
kemudian menempatkan sebagai manusia dungu. Percaya kepada hantu yang
memberikan kabar namun kemudian kabur tidak bertanggungjawab.
Sudah
saatnya manusialah yang menjadi pengendali. Mengusir hantu dari pikiran kita
agar bisa tetap berfikir jernih.