Marga
VII Koto juga dikenal sebagai “jalur” perjalanan Raja Tanah Pilih. Alur
perjalanan ini setelah ditempuh dari Marga IX Koto di Teluk Kuali.
Sebagai
Raja, untuk “mengunjungi” wilayahnya, maka Raja menggunakan “jung” menempuh
jalur “Pemayung” di Marga Pemayung Ulu, kemudian ke Marga IX Koto dan terakhir
ke Marga VII. Sehingga alur ini selain “merupakan” wilayah Kerajaan Tanah Pilih[2]
dan kemudian menjadi Kerajaan Jambi juga langsung berbatasan dengan Kerajaan
Pagaruyung sebagaimana ikrar di Bukit Sitinjau Laut[3].
Marga
VII Koto mempunyai hubungan dengan Marga IX Koto. Disebut “koto bersekutu”. Atau
sering juga disebut “7 jantan dan 9
betino. Hubungan ini masih berlaku
baik didalam menyelesaikan persoalan adat maupun hubungan perkawinan.
Didalam
tutur di tengah masyarakat[4],
“beinduk ke Marga VII Koto. Bebapak
kepada Marga IX Koto”. Dengan tuturan ini maka setiap proses adat dapat
dilihat dari tutur dan pendekatan kekeluargaan. Hubungan ini kemudian
dilanjutkan dengan Marga Sumay sebagai anak dari kedua Marga. Sehingga Marga
VII kemudian disebut “Berbenteng dado.
Berkutu berpagar di batu”[5].
Selain
Marga Sumay, dikenal juga tiga dusun. Dusun Tuo, Dusun Sukarame dan Dusun Sogo[6].
Ketiga dusun termasuk kedalam Dusun Bale Rajo[7].
Dalam
Tambo Minangkabau[8], Nan salilik Gunuang Marapi,
Saedaran Gunuang
Pasaman, Sajajran
Sago jo Singgalang,
Saputaran Talang jo Kurinci, Dari sirangkak nan badangkang, Hinggo
buayo putiah daguak, Sampai ka pinto rajo hilie, Hinggo durian
ditakuak rajo, Sapisai-pisau hanyuik, Sialang balantak basi, Hinggo
aia babaliak mudiak, Sampai ka ombak nan badabua, Sailiran batang
sikilang, Hinggo lawuik nan sadidieh, Ka timua ranah Aia Bangih,
Rao jo Mapat Tunggua, Gunuang Mahalintang, Pasisie Rantau
Sapuluah, Hinggo Taratak Aia Itam, Sampai ka Tanjuang Simalidu,
Pucuak Jambi Sambilan Lurah
“Sialang Belantak besi, Tanjung Simalidu”
merupakan nama tempat di Marga VII Koto.
Marga
VII Koto disebutkan sebagai wilayah Kerajaan Pagaruyung. Marga VII Koto yang
mengilir Sungai Batanghari sebagai “ikua Rantau”. Cerita “Datuk Perpatih nan sebatang
dan Datuk Ketemenggunggan” begitu kuat[9].
Bahkan Elsbeth Scholten-Locker “menyebutkan” Marga VII Koto dan Marga IX alur
jalur Pagaruyung[10]”.
Sehingga tidak salah kemudian Marga VII Koto dan Marga ICX Koto dikategorikan
sebagai merupakan “ikua rantau”
“Puyang”
Marga VII Koto “Rajo Hitam”. Ada juga menyebutkannya Raja Gagak. Mengilir dari
Ulu Sungai Batanghari kemudian “bermukim” di dekat Tambun.
Namun
ada juga versi yang menyebutkan “puyang” bernama “Sutan Suto Menggalo. Bermukim
di Dusun Tuo Sebelah Kotojayo. Menurut tutur di Marga VII Koto, “Datuk Perpatih
nan sebatang” kemudian mengilir ke Sungai Batanghari. Sedangkan Datuk
Ketemenunggungan kemudian menuju ke Bangko dan Titian Dalam. “Titian Dalam”
kemudian dikenal sebagai nama Sarolangun.
Suta
Suto Menggalo kemudian membawahi Kedemangan Niti Menggalo. Kedemangan Suto
Yudho, Ngebi Kardelo dan Ngebi Tano Karti di Teluk Kembang, Jambu.
Marga
VII berbatasan dengan Marga IX Koto yang ditandai dengan seloko “Durian takuk Rajo, Keramat tanah tumbuh,
Muara Sako, Ke Tonggak Perabun Bulian, Menyeberang Sungai Mengkawas, mendaki
Batu belarik, Danau terumbai, Menurun ke ujung pematang kulin, tanah ditumbuhi
salak”.
“Sungai Mengkawas” adalah nama Sungai
Batanghari.
Berbatasan
dengan Marga Jujuhan yang ditandai dengan seloko “Payung nan tiga kaki, tiwang tiga kabung”. Marga Bilangan V “tujuh nan tanah sepenggal hingga kabau nan
basurek. Sungai Cempedak belarik”.
Berbatasan
dengan Sumatera Barat yang ditandai dengan “Sungai
tidak beulu. bermuara ke Sungai Mengkares. Tebing dalam tidak terturuni.
Tebingi tinggi dak tedaki. Nampak masam sebelah”.
Dalam
Tambo Minangkabau, disebutkan batas timur dengan “Tanjung Samalidu”. Tanjung
Samalidu kemudian ditandai dengan nama “berjenjang
dari sialang belantak besi lepas ke durian Takuk Rajo. Melayang ke Tanjung
Samalidu menuju berajo nan sebatang. Seloko ini juga dikenal di Marga
Jujuhan[11].
Berbatasan
dengan Riau yang ditandai dengan “Tanah
cindaku alit hingga alunan basibak, Bekal besibak[12].
Bekal nan besibak di kenal didalam Marga
Sumay[13]
sebagai batas langsung dengan Propinsi Riau. Selain Sebekal bekuak, bekal bekuak, dikenal juga Salo belarik”.
“Puyang”
Marga VII Koto bernama “Sutan Suto Menggalo. Bermukim di Dusun Tuo Sebelah
Kotojayo. Menurut tutur di Marga VII Koto, “Datuk Perpatih nan sebatang”
kemudian mengilir ke Sungai Batanghari. Sedangkan Datuk Ketemenunggungan
kemudian menuju ke Bangko dan Titian Dalam. “Titian Dalam” kemudian dikenal
sebagai daerah Sarolangun.
Dusun-dusun
yang termasuk kedalam Marga VII Koto adalah Dusun Tanjung, Dusun Sungai Abang,
Dusun Kuamang, Dusun Tabun, Dusun Teluk Kepayang, Dusun Bale Rajo, Dusun
Sukarame.
Disebut
Sungai Abang dikisahkan seorang adik hendak mencari saudara laki-lakinya
(Abang). Si Abang yang kemudian menyepi (betarak) kemudian ditemukan di sungai
oleh si adik. Sungai inilah yang kemudian disebut sebagai dusun “Sungai Abang’.
Namun
ada juga versi yang menyebutkan “Sungai Abang” berasal dari kata “Abang” yang
berarti “merah”. Sungai itu banyak berisi darah karena tidak ada satupun
“debalang raja” yang bisa masuk ke wilayah itu. Begitu banyaknya darah (abang),
maka kemudian disebut Sungai Abang.
Disebut
“Teluk Kepayang” karena di teluk banyak terdapat pohon “Kepayang”. Karena
banyak kayu kepayang maka kemudian disebut sebagai “Dusun” Teluk Kepayang.
Sedangkan
disebut “Bale Rajo” karena ditempat inilah adanya pertemuan Rajo dari Tanah
Pilih dengan debalang Rajo. Sehingga kemudian disebut sebagai dusun Bale Rajo.
Sedangkan
disebut “Sukarame” karena di tempat ini sering didatangi orang sehingga tempat
ini selalu Ramai. Sehingga Dusun ini kemudian disebut “dusun Sukarame.
Didalam
struktur masyarakat dikenal “Depati” Diatas Depati disebut Temenggung.
Sedangkan Temenggung dibantu Penghulu Mudo.
Sedangkan
tiga Dusun (Dusun Tuo, Dusun Sukarame dan
Dusun Sogo) dibawah oleh Datuk Temenggung Suto Yudho.
Namun
yang unik. Dusun Tanjung, Dusun Kuamang dan Dusun Cermin Alam mempunyai
struktur di keluarga Ibu. Mereka mempunyai “datuk seibu”. Datuk seibu kemudian
disebut “Mamak”, kemudian “datuk Suku”
Didalam
menyelesaian persoalan dimulai dari berjenjang naik betangkap turun. Dimulai
dari “mamak”. Apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan “datuk Suku”.
Sedangkan tidak bisa diselesaikan juga maka diserahkan kepada “Mangku”. Namun
apabila tidak bisa diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada negeri”. Proses
ini dapat dilihat dari seloko “tua betengganai, negeri bebatin”
Mangku
terdiri dari “ninik mamak, tuo kampong, cerdik pandai, pegawai syara’.
Melihat
persoalan yang timbul, maka menggunakan seloko “tumbuh diatas tumbuh. Tegak kedalam”. Tumbuh diatas tumbuh juga dikenal di Marga Sumay. Sedangkan di
Marga IX Koto disebut “nengok tumbuh”.
Sebagaimana seloko “Belum gajah lalu,
belum rumput rendah. Belum enggang lalu, belumlah rantinglah patah”
Pelanggaran
adat dijatuhi denda berdasarkan kesalahannya. Tingkatannya “ayam sekok. Beras segantang, selemak-semanis,
kemudian “kambing sekok, beras sepuluh,
selemak-semanis”, dan yang terberat “kerbau
sekok, beras seratus, selemak-semanis”.
Untuk
menyelesaikan persoalan rumit maka dapat menggunakan kiasan “fajarlah menyingsing. Murailah bekicau.
Kilat beliung lah kekaki. Kilat cermin lah kemuko.
Didalam
menyelesaikan persoalan adat maka harus bijaksana seperti ujaran “anak
buayo tegontang-gontang. Anak cigak dalam perahu. Nak beiyo takut tehutang. Nak
beidak oranglah tahu”.
Terhadap
pelanggaran yang tidak mau dibayar maka dikenal “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah
ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane.
Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau[14]”
Di
Marga Sungai Tenang dikenal “Plali”. Seloko
“Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah.
Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo.
Namun apabila kemudian ”sang kena denda”
meminta maaf dan mau membayar denda, maka harus dilakukan upacara adat untuk
menyelesaikannya.
Karena ”Raja tidak boleh menolak sembah. Teluk dak boleh nolak limpahan kapar
Marga
VII Koto, Marga IX Koto, Marga Tabir Ilir, Marga Sumay dan Marga Jujuhan tahun 1934 menjadi “onderafdeeling” Muara
Bungo[15].
“Onderafdeeling” dikepalai oleh seorang “Controleur (Kontrolur). Onderafdeeling
terdiri dari district yang dikepalai oleh Demang. Distrik terdiri atas
onderdistrik yang dikepalai asisten Demang. Onderdistrik terdiri dari Marga
yang dikepalai oleh Pesirah atau Depati[16].
Marg
VII Koto kemudian menjadi Kecamatan VII Koto dan kemudian dimekarkan menjadi
Kecamatan VII Koto dan Kecamatan VII Koto Ilir, Kabupaten Tebo.
Desa-desa didalam Kecamatan
VII Koto adalah Desa Dusun Baru, Desa Kuamang, Desa Muara Niro, Desa Muara
Tabun, Desa Pucuk Jambi, Desa Sungai Abang, Desa Tabun, Desa Teluk Lancang dan
Desa Teluk Kayu Putih.
Sedangkan Desa didalam
Kecamatan VII Koto Ilir adalah Desa Balai Rajo, Desa Cermin Alam, Desa Paseban,
Desa Karang, Desa Teluk Kepayang Pulau Indah dan Desa Pasir Mayang.
Baca : Istilah Marga di Jambi
[1] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016. Cikman,
Ketua Lembaga Adat Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari.
[2] Kerajaan Tanah Pilih merupakan Kerajaan Jambi Tua
atau Muara Jambi. Legenda Tanah Pilih merupakan perpindahan dari hulu
Batanghari kemudian pindah ke Jambi. Barbara Watson Andaya, To Live as Brothers
: Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth, Universitas Hawaii
Press, Hal. 260
[3] Ikrar Bukit Sitinjau Laut adalah bertemunya Kerajaan
Tanah Pilih, Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Indrapura untuk meletakkan hukum
adat sebagai pedoman kehidupan masyarakat. Samson, Desa Rantau Panjang, 25
Agustus 2016
[4] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame,
Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[5] Pertemuan di Rumah Pak Saiful. Dihadiri Ismail
(mantan Kades Cermin Alam), Syargawi (mantan Sekdes Sungai Abang), Anwar (Ketua
Lembaga Adat Kecamatan VII Koto dan Cucu Pesirah), dan Saiful.
[6] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame,
Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[7] Syargawi dan Saiful, Rumah Saiful, 26 Agustus 2016
[8] H. Datoek Toeh, Tambo Alam Minangkabau, Pustaka Indonesia,
Bukit Tinggi, 1930
[9] Barbara W Andaya, Cash Cropping and
Upstream-Downstream Tension : The Case of Jambi in the 17th and 18
th Century, University of Hawaii Press, Honolulu, 1993
[10] Watson Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100 sebagaimana
dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera
dan Negara Kolonial –
Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV,
Jakarta,
2008, Hal. 43
[11] Samson, Desa Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
[12] Secara lengkap akan dituliskan dalam catatan terpisah
[13] Khatib Karim, mantan Ketua Lembaga Adat Kecamatan Sumay, 22 Maret 2013 dan Ahmad
Intan, Kepala Dusun Semambu, 17 Maret 2013
[14] Langau adalah “lalat hijau”
[15] Tideman, Djambi, Kolonial Instituut Amsterdam, 1938,
Hal. 283
[16] Ibrahmi Alfian, Sejarah Perlawanan terhadap
Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sumatera Selatan, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1983, Hal. 58