Akhir-akhir ini kita kemudian
“digerahkan” dengan pakaian. Bukan udara panas yang menyengat tanpa pendingin.
Ataupun gedung tanpa jendela. Tapi memang pakaian yang bikin kita gerah.
Cerita pakaian mengingatkan
cerita Abunawas.
Alkisah. Abu Nawas diundang
pesta oleh Raja. Sebagai pesta, tentu saja dihadiri orang-orang kaya pada zaman
itu, pembesar negeri hingga orang-orang ternama.
Namun Abu Nawas datang tidak
biasanya. Abunawas “berpakaian” kampong, celana lusuk, baju kusam tanpa alas
kaki memasuki sebuah pesta.
Di pintu masuk, sang pengawal
pintu tidak mengenalnya sebagai “orang kepercayaan” Sang Raja. Orang yang
paling didengar nasehatnya ketika Raja “galau” memutuskan sebuah persoalan. Abu Nawas kemudian diusir dan tidak
diperkenankan masuk.
Abu Nawaspun pulang dan
menggantikan baju kebesaran istana. Lengkap dengan pasukan mengiringi dengan
pasukan terbaik istana.
Ketika datang kedua kalinya, Abu
Nawas disambut dengan meriah. Lengkap dengan hidangan mewah Seperti biasa, Sang Raja ingin mendengar
cerita Abu Nawas. Sindirannya dalam namun tidak mengejek.
Setelah bercerita, maka tibalah
saatnya tamu kemudian disuguhi makanan. Tamupun lahap memakan hidangan yang
disediakan.
Namun berbeda dengan tamu yang
lain. Abu Nawas justru membuka bajunya dan kemudian memberikan makanan kepada
bajunya.
Tamupun heran. Melihat tingkah
laku Abu Nawas.
Lantas Sang Raja bertanya. “Abu Nawas. Apa yang kau lakukan ?. Dengan
enteng Abu Nawas kemudian menjawab. “Ketika
aku masuk kesini, namun diusir. Setelah aku berganti pakaian, maka aku bisa
masuk.. Maka Pakaian inilah yang lebih tepat menikmati makanan dan minuman.
Bukan Aku”.
Cerita Abu Nawas begitu kocak
sehingga sering disebut sebagai “humor” ala rakyat. Setiap sindirannya tajam,
jenaka namun berbekas.
Ya. Dengan pakaianlah, kita
kemudian dilihat dan dihargai orang. Dengan pakaian, kita kemudian diperlakukan
berbeda. Dengan pakaian, maka kita bisa menikmati fasilitas ataupun kemudahan.
Dengan pakaian, kita kemudian menjadi istimewa.
Dengan pakaian kita kemudian
menjadi berbeda dengan orang lain. Dengan pakaian, maka teman sekolah menjadi
berbeda. Dengan pakaian, satu persatu tidak menganggap kita bagian dari
persahabatannya.
Dengan pakaian, maka penilaian
kemudian dijatuhkan. Palupun diketuk. Godampun ditabuhkan. Kamu bukan bagian
dari kami. Kamu bukan golongan kami. Kamu bukan ciptaaan Illahi.
Lha. Kok kita tidak dihargai
sebagai manusia ?