Menjelang
akhir tahun, Epistema Institute kemudian menetapkan Luluk Uliyah (Luluk)
sebagai Direktur Epistema Institute. Mengikuti jejak Nur Hidayati (Yaya -
Walhi), Rahmawati Retno Winarni (Wiwin - Tuk Indonesia), Dewi Kartika (Dewi –
KPA), Inda Pattinaware (Inda – Sawit Watch), Asfin (YLBHI), Dahniar (Huma). Luluk
juga mengikuti jejak Myrna Safitri memimpin Epistema Institut. Myrna Safitri
kemudian menjadi Deputi di Badan Restorasi Gambut (BRG).
Terpilihnya
perempuan memimpin LSM nasional dalam periode tahun 2016 menarik untuk diikuti.
Suasana dipimpin perempuan Indonesia tentu saja ditunggu berbagai pihak untuk
agenda-agenda advokasi.
Melihat
jejak, sepak terjang para pemimpin perempuan membuktikan “kaderisasi” di
kalangan LSM tidak pernah memandang kepada persoalan jenis kelamin, ras, agama
atau issu sectarian. Dalam bahasa gaul anak muda di Indonesia. “Issu SARA tidak
laku”.
Terpilihnya
perempuan Indonesia bukanlah “sekedar penghormatan” ataupun bentuk solidaritas
lainnya. Tapi terpilihnya selain memang dimatangkan didalam organisasi yang
cukup lama, terlatih, terbukti hingga mampu dipercayakan memimpin LSM nasional
juga membuktikan, tidak ada yang baru di dunia LSM.
Dukungan
kepada terpilihnya perempuan semata-mata didasarkan pemilihan rasional,
kemampuan berorganisasi juga kemampuan didalam membangun jaringan. Sama sekali
didasarkan kepada pekerjaan, dedikasi yang panjang sehingga pilihan kemudian
ditetapkan kepada perempuan Indonesia untuk memimpin LSM. Mengikuti jejaknya
lihatlah bagaimana perjalanan panjang organisasi dipimpin oleh perempuan.
Di
Walhi sendiri, dikenal Erna Witolar (Pendiri dan Direktur Walhi), Emmy Hafid
dan sekarang Yaya.Yaya sebelumnya memimpin Green Peace.
Begitu
juga Walhi daerah. Dalam 4 tahun terakhir, Walhi daerah pernah dipimpin perempuan
seperti Uslaini (Walhi Sumbar), Ning Fitriyani (Walhi Jateng), Anggelin A.
Palit (Walhi Sulut). Sebelumnya Cut Hindon (Walhi Aceh), Sri Lestari (Walhi Sumsel) dan Inda Pattinaware (Walhi Sulsel).
Sedangkan
di Jatam dikenal Maimunah yang sekarang aktif menyebarkan gagasan dan aktif
menulis di Kompas, Atau Zoemrotin (YLKI), Indriaswati Dyah Saptaningrum (Indri
– Elsam). Ataupun Arimbi yang memimpin
Debt Watch yang produktif menuliskan buku. Tentu masih banyak lagi yang tidak
mungkin disebutkan satu persatu.
Melihat
rentang panjang dari perempuan Indonesia memimpin, maka kepercayaan kepada
perempuan untuk memimpin membuktikan selain kaderisasi yang terus menerus
dilahirkan oleh organisasi masing-masing juga konsistensi, sikap kukuh dalam
advokasi hingga kemampuan yang kemudian dukungna yang diberikan.
Pengalaman
panjang dari interaksi dan berjaringan dengan perempuan Indonesia memimpin LSM
tidaklah menjadi persoalan.
Namun yang menarik di tahun 2016, “kebetulan” – sekali lagi kebetulan, perempuan Indonesia kemudian bersamaan memimpin LSM Indonesia. Ini yang menarik perhatian.
Namun yang menarik di tahun 2016, “kebetulan” – sekali lagi kebetulan, perempuan Indonesia kemudian bersamaan memimpin LSM Indonesia. Ini yang menarik perhatian.
Mari
kita tunggu kiprah dan dedikasi untuk mengawal agenda-agenda advokasi berdasarkan
mandate organisasi.