05 Januari 2009

opini musri nauli : BANTUAN HUKUM DALAM PARADIGMA SBY




Beberapa waktu yang lalu, tepatnya sebelum tahun 2008 berakhir pada tanggal 30 Desember 2008, Pemerintahan SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 (selanjutnya dibaca PP No. 83 tahun 2008). 

PP ini kemudian mengatur tentang Persyaratan dan tata cara Pemberian Bantuan Hukum cuma-cuma. 
Dilihat dari isi dan materi yang diatur didalam PP tersebut, tidak ada yang baru selain daripada turunan UU No. 18 tahun 2003 Tentang Advokat. Isi dan materi PP tersebut mengatur tata cara dan persyaratan bantuan hukum di Indonesia. 

31 Desember 2008

opini musri nauli : ADVOKAT DIPERSIMPANGAN JALAN


Penulis memberikan judul diatas sebagai bentuk otokritik tentang reposisi dan peran advokat dalam sistem hukum di Indonesia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam amanat reformasi. 

29 Desember 2008

opini musri nauli : catatan Hukum 2008


Kasus Korupsi secara nasional tahun 2008 tidak dapat dipisahkan dari daerah Jambi. Tertangkapnya Al Amin Nur Nasution, Anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan ini diberitakan di mana-mana, bukan dalam peran dia sebagai pejuang aspirasi rakyat, tetapi karena diduga menerima suap dari Sekda Kabupaten Bintan Azirwan, dengan memanfaatkan lolosnya permohonan konversi hutan lindung di kabupaten itu. 

17 Desember 2008

Burhanuddin : Jangan Lahan Pertanian Dijadikan Kebun Sawit.

KOTAJAMBI - Bupati Muaro Jambi, Burhanuddin Mahir mengusulkan kepada Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin untuk mengeluarkan peraturan tentang pelarangan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan sawit. 


" Kita melihat saat ini ada kecenderungan alih fungsi lahan di lapangan, banyak petani yang menjual lahan pertaniannya untuk dijadikan kebun sawit," ujar Burhan dalam rapat Ketahanan Pangan Propinsi Jambi di ruang Pola Kantor Gubernur Jambi, Selasa. 

09 Desember 2008

opini musri nauli : Orang rimba dan Taman nasional bukit duabelas



Hari Jumat yang lalu (5/12/2008), Harian KOMPAS dengan berita besar memuat tentang kiprah dan perjalanan Hidup Saur Marlina Manurung yang biasa dikenal dengan nama Butet Manurung. 

30 November 2008

opini musri nauli : Perdebatan Tentang Hukum Islam tidak lagi menarik untuk dibahas

 

Beberapa waktu yang lalu, Hermanto Harun menawarkan konsepsi Hukum Islam didalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan hukum yang terjadi di Indonesia. Sebagai sebuah tawaran yang berdampak terhadap hukum di Indonesia, penulis tertarik untuk membahas dan urun rembug terlibat memberikan pendapat terhadap usulan yang disampaikan.

25 November 2008

opini musri nauli : HUKUMAN MATI DAN MATINYA NURANI KITA




Beberapa waktu yang lalu, Indonesia menjadi sorotan dunia disaat ekseksi hukuman mati menjadi polemik yang berkepanjangan. Dijatuhkannya hukuman mati kepada tiga pelaku kasus bom “BALI I” yaitu Amrozy, Imam Samudra dan Ali Gufron menjadi perdebatan panjang. Hukuman mati yang dijatuhkannya menjadi pemberitaan sehari-hari. Para pelaku menjadi pemberitaan dan menghiasi media massa sepanjang waktu. Terlepas dari dijatuhkannya hukuman mati, pelaksanaan hukuman mati juga menarik perhatian masyarakat.

Perdebatan hukuman mati telah menjadi perdebatan panjang di Indonesia. Didalam literatur Hukum Pidana, Hukuman mati masih dikenal dan menjadi dasar menjatuhkan pidana. Didalam pasal 10 KUHP secara jelas masih mencantumkan hukuman mati.

Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", yang kemudian diatur didalam UU No. 39 Tahun 1999, tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.

Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara
Perdebatan hukuman mati telah diuji di Mahkamah Konstitusi. Dan walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan terhadap Hukuman Mati yang bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945), namun putusan itu haruslah dilakukan secara voting dengan perimbangan suara 5 yang menyetujui hukuman mati dan 4 orang yang menolak hukuman mati. Dengna demikian, walaupun putusan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan dari warga yang memohon agar hukuman mati dihapuskan, namun putusan itu memberikan gambaran bahwa dikalangan hakim Mahkamah Konstitusi itu sendiri tidak bulat didalam memutuskan tentang hukuman mati. Dengan demikian, walaupun secara konstitusi Hukuman mati masih berlaku, namun hukuman mati telah menimbulkan persoalan yang sangat serius di kalangan pemikir hukum.

Penulis juga telah memberikan porsi yang cukup untuk membahasnya (lihat Media Jambi, 31 Maret 2001, JE, 13 Desember 2004, JE 12 Oktober 2006). Penulis tetap berkeyakinan, bahwa “hak untuk hidup” adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan oleh keadaan apapun. Makna kata “siapapun” tentu saja merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang masih mencantumkan hukuman mati sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP dan berbagai ketentuan lainnya seperti UU Terorisme, UU Narkotika dan Psikotropika, UU Korupsi dan berbagai undang-undang lainnya. Penulis juga tetap berpendapat, terlepas dari argumentasi yang telah penulis sampaikan, penerapan hukuman mati selain tidak terpenuhinya tujuan pemidanaan, effek jera kepada pelaku, hukuman mati juga tidak dapat menyelesaikan kejahatan itu sendiri. Penerapan hukuman mati kepada para pelaku narkoba misalnya, tidak mengurangi tindak pidana di bidang peredaran narkoba. Begitu juga dengna tindak pidana terorisme. Selain juga penerapan hukuman mati masih peninggalan dari masa kolonial dan sisa-sisa zaman barbar yang tidak sesuai dengan prinsip negara yang memasuki zaman millenium yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dan sampai sekarang penulis tetap menyatakan termasuk barisan yang menolak tentang penerapan hukuman mati. Namun sorotan penulis yang hendak penulis uraikan pada saat ini, adalah tentang pelaksanaan hukuman mati yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat sipil.

Pelaksanaan hukuman mati

DALAM UU No 2/PNPS/1964 Bab I Pasal 1 disebutkan, di lingkup peradilan umum atau peradilan militer pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati. Pada Pasal 10 disebutkan eksekutor yang ditunjuk adalah satu bintara, 12 orang tamtama, dan di bawah pimpinan seorang perwira. Semuanya berasal dari Brigade Mobil (Brimob).

Di berbagai negara, cara menggunakan hukuman mati dilakukan dengan cara memancung kepala yang dilakukan di negara Saudi Arabia dan Iran. Dengan cara sengatan listrik di Amerika Serikat, Dengan cara digantung di Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura, dengan cara suntik mati: Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS, dengan cara ditembak: Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dengna cara dirajam: Afganistan, Iran.

Terlepas dari perdebatan tentang penerapan hukuman mati, pemberitaan pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku bom “BALI I”, telah menyentak penulis. Yang menjadi sorotan penulis tentang cara-cara pelaksanaan hukuman mati. Apabila kita perhatikan ketentuan didalam UU No. 2/PNPS/1964, pelaksanaan dengan cara ditembak bertentangan dengan semangat negara sipil bukan negara militer. Cara pelaksanaan dengan ditembak lebih dikenal didalam sistem hukum militer terhadap pelaku yang berkhianat dan dapat meruntuhkan moril pasukan. Cara pelaksanaan dengan ditembak dilaksanakan agar pelaku tidak mengganggu konsolidasi negara dalam menghadapi musuh yang dalam keadaan perang. Cara ini lebih praktis dan dapat disaksikan seluruh prajurit untuk memberi peringatan agar sikap khianat tidak terjadi lagi. Cara ini selain biasa dikenal didalam sistem hukum militer juga biasa dikenal dalam keadaan perang.

Apabila diperhatikan paparan yang telah penulis sampaikan, maka menurut penulis, cara yang digunakan sudah sangat ketinggalan dan tidak sesuai dengan prinsip negara yang tidak dibawah dengan cara-cara militer.

Berdasarkan kepada uraian yang disampaikan, maka menurut penulis penerapan hukuman mati walaupun masih diatur didalam berbagai ketentuan seperti didalam pasal 10 KUHP dan berbagai ketentuan lainnya seperti UU terorisme, UU narkoba, UU Korupsi dan berbagai ketentuan lainnya yang masih mengatur tentang pencantuman hukuman mati, penerapan hukuman ini haruslah sangat ketat. Dan penerapannya haruslah dilihat dari berbagai sisi. Hukum janganlah digunakan sebagai sarana balas dendam dan hanya menyenangkan publik (lips servise). Penerapan hukum mati juga harus dilihat dari berbagai konteks sehingga penerapan hukuman mati dapat mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu mencapai keadilan. Setidak-tidaknya, mencapai keadilan dilihat dari kepentingan keluarga korban yang ingin mencapai keadilan.

Selain itu juga pelaksanaan hukuman mati haruslah dicari formula yang menjunjung tinggi sikap negara yang modern. Cara-cara pelaksanaan hukuman mati yang masih merujuk kepada UU No. 2/PNPS/1964 sudah tidak tepat diterapkan didalam negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Cara-cara ini sudah tidak pantas di negara sipil yang tidak dibawah tekanan cara-cara militerisme.

Apakah kita masih mempunyai hati nurani apabila kita masih menerapkan hukuman mati dan masih menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan hati nurani ?

Dimuat di Harian Jambi Star 28 November 2008

22 November 2008

opini musri nauli : HARGA SAWIT TURUN, SIAPA YANG SALAH ?


Beberapa waktu yang lalu, petani sawit menjerit dengan harga sawit yang turun drastis. Hitung-hitungan ekonomis menyebutkan, sekilo sawit yang dihargai dengan harga yang sangat murah dan tidak cukup membeli permen, membuat petani menjerit. 

13 November 2008

opini musri nauli : CATATAN HUKUM KASUS ANAS BAFADHAL



Beberapa waktu yang lalu, media massa gencar mempersoalkan Anas Bafadhal sebagai Caleg dari Partai Demokrat untuk DPRD Kota Jambi. 

Sebagai issu politik, kasus Anas Bafadhal memang empuk menjadi santapan mengikuti kasus ini. 

Kasus ini menjadi menarik dibahas apabila kita lihat berbagai ketentuan yang berkaitan dengan UU Pemilu, sistem pemidanaan, tujuan pemidanaan, makna keadilan, putusan hakim terhadap perkara itu sendiri. 

Untuk memudahkan pembahasan ini, maka penulis akan mencoba urun rembug melihat kasus ini dari berbagai sudut. 

 Posisi Kasus Apabila kita perhatian kasus ini secara cermat, kita tidak boleh melupakan sejarah di Jambi. 

Sebagai mahasiswa, Anas Bafadhal melakukan tugas mahasiswa sebagai mahasiswa yang kritis yang tidak bisa diam melihat ketidakadilan. 

Di saat mahasiswa, sebagian mahasiswa sibuk bercengkarama dengan berbagai pusat kekuasaan, Anas Bafadhal kemudian melakukan perlawanan ketidakadilan yang terjadi diluar menara gading. 

Bersama-sama dengan berbagai komponen mahasiswa, Anas Bafadhl melakukan kritik dengan menolak terhadap Pemilihan Wawako yang digelar di DPRD Kota Jambi (saat itu pemilihan Walikota dan wakil Kotamadya Jambi masih dipilih oleh anggota parlemen). 

Di saat pemilihan itu, kemudian Anas Bafadhal, Hendri Dunant dan beberapa mahasiswa lainnya kemudian berhasil masuk dalam rapat paripurna pemilhan Wakil Walikota Jambi. 

Suasana sidang Paripurnapun heboh. 

Pihak keamananpun melakukan pengamanan terhadap mahasiwa yang berhasil masuk kedalam sidang paripurna. 

Beberapa mahasiswa kemudian diperiksa dan diproses pihak keamanan. Di badan Anas Bafadhal ditemukan botol yang berisi minyak tanah dan sumbu (kemudian dikenal sebagai bom molotov) dan didalam tas Hendri Dunant ditemukan senjata tajam. 

Kemudian Anas Bafadhal dan Hendri Dunant ditahan di Polresta Jambi. Penahanan kedua mahasiswa ini kemudian menimbulkan reaksi dari kalangan mahasiswa. 

Sehingga satu minggu kemudian, melakukan aksi besar-besaran (penulis mencatat, aksi besar-besaran ini merupakan salah satu sejarah gerakan mahasiswa Jambi) ke Polda Jambi menuntut agar kedua mahasiswa itupun dibebaskan. 

Bentrokan tidak dapat dihindarkan sehingga terjadi saling lempar, saling pukul antara mahasiswa dan aparat keamanan. 

Peristiwa ini kemudian berakhir dengan dirobohkan pagar Mapolda Jambi. 

Proses ini kemudian juga mengakibatkan beberapa mahasiswa diproses secara hukum hingga dimuka persidangan. 

Persidangan terhadap mahasiswa juga menyita perhatian publik Jambi. 

Di muka persidangan, ternyata proses hukum tidak menyentuh kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana yang dituduhkan. 

Tetapi hanya menyentuh kepada koordinator aksi yang kemudian memberikan pidana bersyarat selama 2 tahun. 

Hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada Anas Bafadhal dan Hendri Dunant. Anas Bafadhal dan Hendri Dunant kemudian diproses dengan UU No. 12 Tahun 1951 dengan ancaman 15 tahun penjara. 

 Sistem Pemidanaan & Tujuan Pemidanaan 

Kasus ini semula tidak menjadi perhatian publik. Kasus ini kemudian hilang dan semua konsentrasi menghadapi Pemilu. 

Namun disaat nama Anas Bafadhal terdaftar sebagai Daftar Calon Tetap. Isupun meruak. 

Panwaslu kemudian menuding Anas Bafadhal tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur didalam pasal 50 ayat (1) Huruf g UU No. 10 Tahun 2008. Didalam rumusan pasal itu dinyatakan, Pasal 50 (1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan: (g). tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 

Publikpun menunggu momentum langkah yang hendak diambil oleh KPU Kota Jambi menyikapi kasus Anas Bafadhal. 

Berangkat dari kasus Anas Bafadhal, banyak dimensi yang harus dilihat didalam menafsirkan norma pasal itu. 

Untuk memudahkan gagasan yang hendak disampaikan, penulis akan melihat dari sudut pandang sistem pemidanaan, penjatuhan pidana dan tujuan pemidanaan. 

Apabila kita melihat teori kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, maka Rujukan yang paling mudah ditemui dapat ditemukan didalam pasal 1 ayat (1) KUHP. 

Secara prinsip dari ketentuan pasal 1 dapat dirumuskan : 1. bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis; 2. bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat berlaku surut 3. bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan UU pidana. 

Dari ketentuan itu apabila kita kongkritkan dengan kesalahan dan pertanggungjawaban sebagaimana dirumuskan didalam ketentuan hukum di Indonesia, maka Simon mengatakan bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. (S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit ALUMNI AHAEM –PTHAEM, Jakarta, 1986, Hal. 205). 

Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa Strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam Undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 

Menjadi pertanyaan yang pantas diajukan. Apakah terhadap ketentuan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 dapat dijatuhkan kepada Anas Bafadhal ?. Sekedar mengingatkan, 

Penjatuhan pidana kepada Anas Bafadhal dan Hendri Dunant dijatuhkan selama 2 tahun pidana bersyarat. 

Pidana bersyarat dikenal didalam hukum Pidana sebagaimana diatur didalam pasal 14 KUHP. 

Didalam Pasal 14a (1) “Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani”. Sedangkan ayat (5) “Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu”. 

Didalam Pasal 14b ayat (1) “Masa percobaan bagi kejahatan dan pelanggaran dalam pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya paling lama dua tahun. 

Sedangkan didalam ayat (2) Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang. 

 Sebagai sebuah prinsip didalam menjatuhkan pidana, ketentuan pasal 10 KUHP merupakan pidana pokok yang diatur didalam KUHP. 

 Perbuatan pidana yang diatur diluar KUHP tidak boleh bertentangan dengan pidana pokok didalam KUHP. 

Perbuatan pidana dapat mengatur ancaman pidana, tetapi secara prinsip tidak boleh mengatur apabila tidak diatur didalam KUHP. Prinsip ini sengaja penulis tekankan untuk melihat bagaimana norma yang mengatur yang berkaitan dengan UU Pemilu. 

Dari berbagai norma yang berkaitan dengan UU Pemilu, sama sekali tidak mengatur tentang pidana yang berbeda dengan pidana pokok sebagaimana diatur didalam Pasal 10 KUHP. 

Atau dengan kata lain, terhadap berkaitan dengan pidana haruslah dilihat didalam KUHP terutama didalam pasal 10 dan pasal 14 KUHP. 

Berangkat dari pemikiran itu, maka apabila kita lihat dalam kasus Anas Bafadhal, maka terhadap Anas Bafadhal telah divonis dengan pidana bersyarat. 

Dan dengan pertimbangan pidana bersyarat yang telah dijatuhkan kepada Anas Bafadhal maka haruslah dilihat dari konteks tujuan pemidanaan bersyarat sebagaimana telah penulis sampaikan. 

Apabila kita memaknai norma pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008, maka tafsiran gramatikal, Pasal 50 (1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan: (g). tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; sebagian kalangan menganggap Anas Bafadhal dapat saja digugurkan oleh KPU Kota. 

Perhatian pasal itu dengan lebih lengkap. Tafsiran terhadap “ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih” harus juga dilihat dari “tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara”. 

Dengan demikian jangan semata-mata melihat dari “ancaman pidana” tapi juga apakah “menjalani dan dijatuhi hukuman pidana penjara”. 

Padahal sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terhadap Anas Bafadhal karena dijatuhi pidana bersyarat, maka Anas Bafadhal tidak pernah menjalani pidana penjara. 

Sehingga norma pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 tidak dapat diterapkan kepada Anas Bafadhal. 

Selain itu juga apabila kita lihat dari tujuan pemidanaan pidana bersyarat, maka harus penulis uraikan panjang lebar. 

Pertama, tujuan pemidanaan “pidana bersyarat” ditujukan dan dijatuhkan kepada pelaku, pelaku tidak usah menjalani pidana pokok. Tentu saja dengan alasan hakim yang mendasarkan kenapa pidana bersyarat itu dijatuhkan. 

Didalam pertimbangan Pengadilan Negeri Jambi terhadap Anas Bafadhal, pertimbangan yang digunakan, karena Anas Bafadhal merupakan Mahasiswa IAIN dan diharapkan dapat memperbaiki dirinya di masa depan. 

Pertimbangan dijatuhkan pidana bersyarat agar pidana pokok yang tidak dijalani oleh terdakwa bertujuan untuk tidak membalas dendam. 

Didalam pertimbangan Pengadilan Negeri Jambi dengan tegas dinyatakan baik didalam pertimbangan maupun didalam amar Putusan dengan kata-kata “terdakwa tidak usah menjalani penjara…” 

Berangkat dari pertimbangan yang disampaikan oleh Pengadilan Negeri Jambi didalam menjatuhkan pidana bersyarat kepada Anas Bafadhal, maka haruslah diletakkan konteks dari tujuan pemidanaan. 

Sebagaimana telah disampaikan, bahwa tujuan pemidaaan bukan bertujuan sebagai balas dendam tapi memberikan pembinaan terhadap pelaku. 

Dengan demikian, maka terhadap penjelasan yang telah penulis sampaikan, pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada Anas Bafadhal telah dijalani oleh Anas Bafadhal sehingga Anas Bafadhal tidak pernah menjalani hukuman pidana pokok sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP. 

Selain itu juga, terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap yang dijatuhkan kepada Anas Bafadhal dengan pidana bersyarat, maka terhadap pelaku tidak dapat dinyatakan bersalah lagi. 

Dengan demikian dapat dinyatakan, Anas Bafadhal tidak menjalani pidana dan terhadap Anas Bafadhal tidak dapat diterapkan norma pasaal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008. 

Oleh karena itu terhadap DCT Anas Bafadhal tidak dapat digugurkan oleh KPU Kota. Dengan demikian, maka terhadap paparan yang telah penulis sampaikan, terhadap kasus Anas Bafadhal haruslah dilihat dari konteks secara luas. 

Tidak semata-mata berkutat dengan urusan norma pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 Argumentasi ini juga mementahkan pendapat yang berkembang yang hanya melihat rumusan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 an sich. 

Dengan memperbandingkan norma terhadap pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 dengan pidana bersyarat terhadap Anas Bafadhal maka rumusan pasal itu tidak berlaku lagi. 

Untuk mendukung argumentasi yang penulis sampaikan, maka menurut pasal 10 huruf b ayat (1), “Tidak ada perintah hakim didalam putusannya yang menyatakan terdakwa dicabut haknya baik baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih”. 

 Dengan demikian, Putusan Pengadilan Negeri Jambi tidak pernah mencabut hak untuk dipilih terhadap Anas Bafadhal. 

Sehingga apabila adanya wewenang KPU untuk menggugurrkan Anas Bafadhal dari DCT maka KPU telah melakukan perbuatan yang bukan wewenangnya. Makna Keadilan. 

Berangkat dari pemikiran yang telah penulis sampaikan, maka apabila dilihat dari sistem pemidanaan, tujuan pemidanaan, pidana bersyarat dan berbagai kaitan dengan hukum pidana, menggugurkan Anas Bafadhal dari DCT akan menimbulkan ketidakadilan terhadap Anas Bafadhal. 

Padahal menurut teori pemidanaan, pidana bersyarat yang dijatuhkan kepada Anas Bafadhal tidak dapat ditarik menjadi norma yang dijatuhi berdasarkan syarat-syarat pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008. 

Oleh karena itu menurut penulis, norma itu haruslah diletakkan dalam konteks menciptakan keadilan bagi calon Legislatif. Menggugurkan DCT terhadap Anas Bafadhal sama juga tidak menghormati putussan Pengadilan Terhadap Anas Bafadhal, bertentangan dengan pasal 14 KUHP dan memberikan hukuman yang semestinya tidak boleh dilakukan KPU Kota Jambi yaitu mematikan hak politik Anas Bafadhal yang mempunyai hak untuk dipilih sebagaimana didalam rumusan pasal 10 huruf b KUHP. 

KPU Kota telah memberikan hukuman yang bukan wewenang KPU mematikan hak politik Anas Bafadhal. 

Oleh karena itu terhadap ketidakadilan yang terjadi, maka sudah semestinya haruslah dilakukan perlawanan menurut hukum. 

 Dimuat di Info Jambi online, tanggal 15 November 2008. http://infojambi.com/content/view/2592/101/lang,/