Bahkan harga sawit yang sangat murah membuat perencanaan kebutuhan rumah tangga petani menjadi terganggu bahkan sudah sampai tahap menghentikan seluruh perencanaan yang telah disusun lama oleh petani.
Data-data yang dimuat di berbagai media massa, sikap stress petani juga mengarah kepada gangguan kejiwaan petani, sehingga sudah sampai berobat ke Rumah Sakit Jiwa.
Selain daripada itu, perencanaan petani untuk menyekolahkan putra/putri ke luar daerah menjadi terhenti.
Praktis, setelah habis idul Fitri tahun ini, kepulangan putra/putri dalam rangka berlebaran ke kampung halaman di daerah masing-masing kemudian tidak dapat kembali ke tempat pendidikan.
Selain daripada itu, kredit yang berkaitan dengan kendaraan bermotor seperti Sepeda motor, truk yang sering digunakan sebagai transportasi mengangkut sawit tidak dapat dilunasi dan sudah banyak ditarik pihak kreditor/dealer kendaraan.
Ketertindasan petani semakin menjadi-jadi disaat bersamaan, lips servise dari Pemerintah yang tetap menekan pihak Pabrik menerima harga Rp 900/kilo tidak diindahkan oleh perusahaan.
Pemerintahpun cuci tangan yang menganggap bahwa persoalan harga sawit bukanlah kebijakan pemerintah daerah tapi adanya krisis global yang memaksa sektor di bidang perkebunan sawit tidak maksimal
Dari titik sudut pandang ini, sama sekali tidak tepat dan lebih cenderung mencari kambing hitam.
Memang benar sekarang telah terjadi krisi global yang memukul sektor-sektor perekonomian dunia.
Tapi Pemerintah lupa bahwa sektor yang mengalami krisis adalah sektor-sektor yang berkaitan dengan bursa saham, perbankan, perkreditan dan berbagai sektor yang tidak bersentuhan langsung.
Apabila Amerika mengalami krisis yang paling parah, maka dapat dimengerti, karena 60% penduduk di amerika terlibat dalam sektor bursa saham. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya terlibat dalam sektor ini 0,5% (Kompas, 27 Oktober 2008).
Padahal sektor riil ternyata tidak mengalami dampak langsung. Sektor riil di Indonesia terutama sektor perdagangan merupakan penggerak perekonomian nasional.
Sektor riil Indonesia ternyata terbukti tangguh dalam melewati krisis ekonomi sebelum dan sesudah reformasi.
Sektor ini tahan banting dan tetap maju dan tidak terpengaruh dengan krisis yang tengah terjadi.
Berkaca dari pengalaman krisis 1998-an, maka sebenarnya alasan yang dkemukakan bahwa harga sawit turun merupakan dampak dari krisis global hanyalah pengalihan issu dari persoalan pokok yang sebenarnya (smoking green).
Padahal persoalan pokok harga sawit jatuh, salah satunya bersumber dari kebijakan Pemerintah yang “memaksa” pemilik tanah yang telah menanam karet untuk menanam sawit.
Menurut berbagai data, Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta.
Pertumbuhan luas areal yang pesat kembali terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dari 2,96 juta hektar menjadi 3,8 juta hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata lebih dari 200 ribu hektar setiap tahunnya.
Dilihat dari status kepemilikannya, perkebunan kelapa sawit Indonesia terdiri dari Perkebunan Negara, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat.
Sekitar 60% dari produk CPO Indonesia diekspor ke luar negeri, sementara sisanya diserap untuk konsumsi di dalam negeri.
Untuk penggunaan lokal, industri minyak goreng merupakan penyerap CPO dominan, mencapai 29,6% dari total produksi, sedang sisanya dikonsumsi oleh industri oleokimia, sabun dan margarine atau shortening.
Indonesia berambisi menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Data terakhir menyebutkan dalam tempo lima tahun, misalnya, pertumbuhan itu terlihat. Kalau pada 2002 luasannya baru 5,06 juta hektare (ha), setahun kemudian naik menjadi 5,28 juta ha.
Pada 2004, menjadi 5,40 juta ha, 2005 menjadi 5,50 juta ha dan 2006 sudah 6,33 juta ha. Dalam kurun waktu itu ada pertambahan sekitar 1,27 juta hektare. Data lain juga menyebutkan luas area kebun sawit untuk tahun 2004-2006 mencapai masing-masing 4,1 juta, 4,9 juta, dan 5,2 juta hektar.
Bahkan Luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2009 diprediksi bisa mencapai 7.125.331 juta hektare dari tahun ini yang diprediksi seluas 6.425.061 hektare
Sedangkan di Jambi Lahan kelapa sawit seluas 259.786 ha dengan produktivitas 3.110 kg per hektar setiap tahunnya. Jambi sendiri kemudian berambisi menjadikan Perkebunan Kelapa sawit seluas 1 juta hektar.
Terakhir menyebutkan Luas lahan yang ada di Provinsi Jambi berdasarkan data sementara tahun 2005 berjumlah 400.168 hektare.
Dimana, dari jumlah tersebut, tanaman yang belum menghasilkan berjumlah 109.357 hektare, tanaman menghasilkan 285.161 dan tanaman yang tidak menghasilkan 5.649 hektare dengan luas lahan seluruhnya 400.168 hektare.
Erwan Malik, Kepala Badan Pengembangan dan Promosi Daerah (Bapemproda) Provinsi Jambi, Tahun 2005.
Ambisi ini kemudian ditentang oleh Walhi Jambi dan kelompok LSM lingkungan yang kemudian berhasil menggagalkan program ambisisus tersebut dan hanya menjadi wacana yang sampai sekarang masih hangat dibicarakan
Dari berbagai potensi konflik, konflik yang berkaitan dengan tanah terutama terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit dan konflik dalam penguasaan tanah dalam kawasan konservasi terutama taman nasional mendominasi dibandingkan dengan persoalan lainnya.
Tabe 1 . Kerusuhan Massa 1998 – 2007
NO TAHUN/TEMPAT KASUS KETERANGAN
1 November 1998 di Tungkal Ulu di Kab. Tanjab Pembakaran PT. DAS Akibat pembakaran, 1 orang petani dijadikan tersangka.
2 April 1999 di Tanah Tumbuh Kab. Bute Pembakaran PT. TEBORA
3 September 1999 di Empang Benao Kab. Bangko Pembakaran PT. KDA 13 orang dijadikan tersangka dengna pasal 170, 363, dan 218 KUHP
4 Januari 2000 di Tanah Tumbuh Kab. Bute Pembakaran PT. Jamika Raya 13 orang dijadikan tersangka dengan pasal yang berlapis seperti pasal 170, 187, 406,412,164 KUHP
7 September 2002 di Bungo Pengrusakan PTPN VI 18 Orang dijadikan tersangka dengan tuduhan pasal 170 KUHP
10 Desember 2006 di Singkut Kabupaten Sarolangun Pembakaran PT. DIPP 27 orang dijadikan tersangka dengan 5 berkas terpisah
11 Desember 2007 di Lubuk Madrasah Kabupaten Tebo Pembakaran alat-alat berat di PT. WKS 9 orang dijadikan tersangka dengan 2 berkas terpisah.
Hal ini mengakibatkan timbulnya sengketa tanah dengan terjadinya kerusuhan massal yang berakhir dengan pembakaran pabrik dan berbagai alat vital perusahaan. Kerusuhan massal ini kemudian disikapi secara reaktif oleh aparat keamanan dengan mencari pelaku kerusuhan massal dan memproses secara hukum hingga dimuka persidangan.
Sejumlah petani mengalami intimidasi, siksaan, penangkapan, penahanan dan pemidanaan.
Bahkan agenda semula memperjuangkan tanah kemudian bergeser menjadi persoalan kriminalisasi.
Pada tahap inilah, potensi perjuangan masyarakat kemudian “diuji” dan dilihat dari militansi untuk tetap kokoh memperjuangkan tanahnya.
Apabila dilihat dari tabel yang telah dipaparkan diatas, maka terhadap potensi konflik telah merata hampir disetiap daerah di Propinsi Jambi.
Terlepas dari peristiwa pengrusakan kantor Gubernur dan kantor Polda Jambi yang dilakukan oleh mahasiswa, peristiwa itu terjadi di daerah-daerah yang berkaitan dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Tahun 1998, pembakaran PT. DAS, April 1999 pembakaran PT. Tebora, September 1999, Pembakaran PT. KDA, Januari 2000, pembakaran PT. Jamika Raya, Januari 2000 dan pembakaran PT. DIPP, Desember 2006 selain juga pembakaran PTPN VI September 2002, pembakaran alat-alat PT. WKS Desember 2007 membuktikan bahwa dalam periode waktu dan rentang yang tidak lama, telah terjadi pembakaran di perusahaan. Bahkan pembakaran tersebut tidak hanya terjadi di satu daerah saja, namun telah melebar ke berbagai daerah. Selain dari pembakaran alat-alat PT. WKS, seluruh data-data yang dilampirkan merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Data-data diatas telah memaparkan.
Apabila kita perhatikan, maka seluruh peristiwa yang paparkan, membuktikan bahwa terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan konflik dengan masyarakat pemilik tanah.
Konflik yang kemudian tidak diselesaikan oleh aparatur pemerintah kemudian berakhir dengan pembakaran perusahaan ataupun alat-alat perusahaan sebagai bentuk kekesalan masyarakat pemilik tanah terhadap perusahaan yang telah mengambil tanah yang telah dikuasai oleh masyarakat.
Dari peristiwa ini, maka aparat keamanan kemudian memproses para pelaku dan membawa hingga dimuka persidangan.
Dari tabel, maka terhadap peristiwa yang berakhir dengan kerusuhan massal maka terhadap para pelaku kemudian Pasal-pasal yang dituduhkan dapat berupa pasal 170 KUHP, 187 KUHP, 406 KUHP, pasal 412 KUHP, pasal 212 KUHP, pasal 218 KUHP
Dari data-data yang berhasil temukan dan berdasarkan kepada pemikiran yang telah penulis paparkan, maka kita kemudian dapat mengklasifikasikan terhadap penerapan pasal 170 KUHP. Dan kemudian mengkonsentrasikan terhadap penerapan pasal 170 KUHP dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. bahwa pasal 170 KUHP lebih banyak diterapkan didalam peristiwa kerusuhan massal yang kemudian berakhir dengan kerusuhan.
2. bahwa pembuktikan pasal 170 KUHP terhadap para pelaku berbeda-beda.
Di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal dalam kasus pengrusakan PT. DAS tahun 1998, Pengadilan Negeri Muara Bungo dalam kasus PT. Tebora Thun 1999, Pengadilan Negeri Bangko dalam kasus Pengrusakan PT. KDA September 1999 dan Pengadilan Negeri Bungo dalam kasus PT. Jamika Raya Tahun 2000, Pengadilan Negeri Bungo dalam kasus PTPN VI serta Pengadilan Negeri Sungai Penuh dan Pengadilan Negeri Muara Tebo, hakim membuktikan kesalahan dan pertanggungjawaban terhadap pelaku masih melihat unsur yang dituduhkan.
Sedangkan terhadap putusan Pengadilan Negeri Bangko dalam kasus pengrusakan PT. DIPP akan dilihat Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Bangko didalam menjatuhkan putusan yang mendasarkan kepada sifat perbuatan percobaan (poeging)
Dari paparan data yang telah disampaikan, maka pernyataan yang menyatakan harga sawit disebabkan krisis global adalah pernyataan yang menyesatkan.
Justru harga sawit selain karena berkaitan dengan tata kelola terhadap sektor perkebunan sawit, juga disebabkan ambisi Pemerintah Indonesia yang berambisi menjadi negara pengekspor sawit terbesar di dunia.
Sementara di Jambi sendiri, ambisi Gubernur Jambi menjadikan target sejuta hektar sawit menuai bencana.
Anjloknya harga sawit yang turun drastis disebabkan ambisi itu.
Selain berdampak masih banyaknya terjadi pelanggaran HAM dan tidak diselesaikannya berbagai kasus yang berkaitan dengan pembangunan kelapa sawit juga menyebabkan petani terjebak dengan harga yang tidak berhasil diredam oleh pasar.
Pemerintahpun seakan-akan mencuci tangan dan tidak melindungi petani dari harga yang turun drastis itu.
Bahkan sikap Pemerintah yang tidak bertanggungjawab terhadap harga sawit yang turun drastis membuktikan Pemerintah berkepentingan jangka pendek untuk mendatangkan investor namun mengabaikan kepentingan rakyat.
Data-data yang telah dipaparkan kemudian berbanding terbalik dengan ambisi Pemerintah sebagai negara produsen sawit terbesar di Indonesia dengan mengalahkan Malaysia membuat, persoalan perkebunan kelapa sawit menjadi rumit.
Selain daripada timbulnya masalah pelanggaran HAM, persoalan ekonomi, persoalan sosial dengan adanya perkebunanan kelapa sawit, harga sawit tidak dapat dikontrol oleh negara.
Sikap ambigu dimana Pemerintah menggunakan kekuatan represif untuk melaksanakan Program sebagai negara eksportir terbesar di dunia namun Pemerintah tidak melindungi petani dari kejatuhan harga sawit.
Dan dengan gampang Pemerintah membuat alasan, Krisis Global dan Harga ditentukan pasar membuktikan Pemerintah tidak dapat melaksanakan kewajiban konstitusi yaitu KECIPTAKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT.
Dimuat di Info Jambi online, 16 November 2008
http://infojambi.com/content/view/2611/100/lang,/