Hari Jumat yang lalu (5/12/2008), Harian KOMPAS dengan berita besar memuat tentang kiprah dan perjalanan Hidup Saur Marlina Manurung yang biasa dikenal dengan nama Butet Manurung.
Dalam beritanya, “DEPDIKNAS HARUS “BELAJAR” DARI BUTET”, Harian KOMPAS dengan gamblang menceritakan tentang kiprah dan perjalanan hidup Butet Manurung.
Yang menjadi sorotan adalah disaat SBY membaca berita yang menceritakan Sekolah alternatif Butet di berbagai daerah mulai ditutup disebabkan karena kekurangan dana.
Berita yang dimuat di Harian KOMPAS tersebut, kemudian menggelitik SBY sehingga mengundang Butet Manurung bertemu dengan SBY. Pertemuan itu kemudian juga dihadiri Menteri Pendidikan.
Secara lugas SBY mengakui kiprah Butet Manurung dan peran yang telah dimainkan oleh Butet Manurung dengan mengadopsi pendidikan alternatif dan akan mencoba menerapkan terhadap masyarakat yang jauh dari jangkauan dari sekolah formal.
Pendidikan yang ditawarkan oleh Butet Manurung dan komunitasnya disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan di lapangan. Butet Manurung melakukan pendidikan pengetahuan di kalangan anak-anak orang Rimba, sebuah daerah dalam kawasan Taman Nasional Bukti Duabelas dalam wilayah administrasi Kabupaten Merangin.(penulis demi alasan prinsip, menggunakan istilah Orang Rimba sebagai padanan kata sebagai terjemahan langsung suku yang berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Prinsip ini selain meletakkan konsep orang Rimba dalam pengakuan negara terhadap masyarakat adat/indigues people, juga sebagai bentuk perlawanan kampanye terhadap istilah yang diberikan oleh negara).
Dari berita ini sebenarnya tidak ada yang baru. Kiprah Butet Manurung juga banyak juga dilakoni orang-orang yang melakukan hal yang sama. Tidak ada yang luar biasa memang.
Namun kiprah Butet Manurung menemukan momentum disaat iklan harian KOMPAS memaparkan Butet sedang mengajar di Hutan. Iklan ini kemudian meledak, disaat sebagian generasi muda terjebak dengan hura-hura, hedonisme dan berbagai perangkat kemajuan zaman.
Kegiatan yang dilakukan oleh Butet Manurung dapat dikatakan melawan arus zaman.
Pekerjaan sebagai Guru yang dilakoni oleh Butet Manurung mengajar ilmu pengetahuan modern terutama pelajaran berhitung dan membaca kepada anak-anak rimba benar-benar melawan kodrat sebagai orang yang dilahirkan modern. Rela meninggalkan hidup yang sebenarnya Butet sendiri tidak pernah membayangkannya.
Sebagai seorang sarjana antropologi dan sastra, mengajar di rimba kepada anak-anak rimba sungguh sebagai manusia yang dapat dikategorikan sebagai manusia yang unik.
Dari titik inilah, sesungguhnya, kita tersadarkan, bahwa dizaman yang sangat canggih ini, masih ada sebagian dari kita tercecer dan tertinggal dari perputaran zaman.
Penulis bertemu dengan Butet Manurung ketika malam di saat pendirian Wall Climbing AMIK sekitar tahun 2003.
Saat itu, Nick Karim (salah seorang Dewan Daerah Walhi Jambi. Kami biasa memanggil Wak Nik) mengajak penulis bertemu di sana karena Wak Nick dipercayakan mengerjakan pendirian Wall di AMIK.
Di sela-sela pengerjaan Wall Climbing, inilah penulis kemudian diperkenalkan kepada Butet Manurung.
Saat itu tujuan bertemu, karena Butet Manurung hendak menceritakan tentang perusahaan sawit mulai mengganggu keberadaan orang rimba.
Kami mulai mempersiapkan agenda besar untuk menolak keberadaan perusahaan sawit tersebut.
Kesan yang pertama saya melihat kepada Butet, Butet benar-benar menyatu dengan pekerjaannya.
Pakaian yang dikenakan tidak membedakan sebagai guru yang menyatu dengan orang rimba.
Saat itu Butet Manurung belum terkenal sebagaimana diiklankan harian KOMPAS.
Kiprah Butet dimulai saat mendaftar sebagai volunter di Warsi sebuah lembaga yang mengkonsentrasikan pendampingan orang-orang rimba dalam kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD).
Sebagai volunteer, Butet ditugaskan memberikan pengajaran membaca dan berhitung kepada orang-orang rimba. Tugas yang dilakoni oleh Butet juga dilakukan oleh volunteer yang lain.
Namun yang menjadi catatan penting dalam perjalanan hidup Butet selanjutnya adalah peran ini dilakukan oleh laki-laki juga sebagian besar kemudian tidak meneruskan programnya.
Baik karena kontrak pekerjaan itu habis maupun tidak menyelesaikan pekerjaan itu sendiri.
Butet kemudian bertahan.
Didalam otobiografinya, secara lugas Butet mengakui bahwa peran yang masih bersedia dilakoninya, karena tidak tega ketika meninggalkan anak-anak rimba yang masih membutuhkan bimbingan ilmu pengetahuannya.
Butet kembali ke hutan dan dengan cara sederhana mengelola perkumpulan SOKOLA untuk mewujudkan cita-citanya.
Nama SOKOLA diakui berdasarkan inspirasi penyebutan nama SEKOLAH oleh anak-anak rimba.
Cita-cita ini didukung kawan-kawan Butet yang berlatar belakang antropolog dan sebelumnya rata-rata bergumul di Pecinta Alam. (kedua latar belakang kawan-kawan SOKOLA justru pendampingan menjadi bermakna)
Pendampingan yang dilakukan oleh Butet Manurung menyentak pikiran penulis ketika disaat berbagai lapisan masyarakat lebih sering berteriak menyuarakan ketidakadilan, justru Butet Manurung melakukan upaya nyata yang dibutuhkan oleh Orang Rimba.
Yang dibutuhkan anak-anak rimba pengetahuan yang membuka mata dan menerima peradaban sesuai dengan nilai-nilai luhur sebagai manusia yang langsung bersentuhan dengan alam.
Pelajaran yang diberikan oleh Butet Manurung juga sebagai filter menerima peradaban yang nyata-nyata akan merampas tanah dan kehidupan mereka. Pelajaran yang diberikan Butet Manurung juga sebagai pelajaran penting untuk bersosialisasi dengan lapisan di luar mereka dan tidak dibohongi masyarakat.
Sementara itu kiprah Butet Manurung kemudian dijadikan iklan harian KOMPAS. Iklan Harian KOMPAS ini kemudian membuat Butet Manurung terkenal.
Butet Manurung telah menjadi ikon perjuangan kelas masyarakat yang terpinggirkan.
Disejajarkan dengan tokoh-tokoh Perempuan Indonesia. Dengan caranya, Harian KOMPAS kemudian sering memuat liputan yang berkaitan dengan Butet Manurung. Butet Manurung kemudian sering tampil baik dalam diskusi bertaraf nasional dan internasional juga sering tampil dalam acara entertainment.
Hampir praktis, Butet Manurung telah menjadi sorotan publik dan menjadi pembicaraan secara nasional.
Dan nama Butet Manurung kemudian dijadikan literature kajian antropolog yang berkaitan dengan Orang Rimba.
Kiprah yang dilakukan Butet Manurung terhadap Orang Rimba kemudian diteruskan ke berbagai suku baik di Aceh, Nusa Tenggara, Sulawesi dan sebagainya.
Begitu banyak daerah yang menjadi fokus pendampingan perkumpulan SOKOLA disatu sisi juga menyebabkan beberapa daerah tidak terpenuhi secara finansial. Beberapa waktu sebelumnya pengakuan Butet Manurung yang akan menutup beberapa daerah dampingan perkumpulan SOKOLA disebabkan karena finansial telah dimuat di Harian KOMPAS.
Penulis kemudian yakin bahwa SBY telah membaca berita di Harian KOMPAS dan kemudian mengundang Butet Manurung dan kawan-kawan ke istana
Apa yang telah diperjuangkan oleh Butet Manurung juga bisa dilakukan orang biasa.
Namun disaat Butet Manurung melakukan ada sesuatu yang membuat upaya yang dilakukan oleh Butet Manurung mempunyai roh dan nafas yang berbeda.
Yang diperjuangkan Butet Manurung adalah perjuangan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai yang diperjuangkan ditumbuhkan dari pergumulan panjang melakukan pendampingan Orang Rimba.
Nilai-nilai kemanusiaan inilah yang membuat Butet Manurung begitu dihormati berbagai lapisan masyarakat.
Beberapa kali penulis bertemu dengan Butet Manurung, kesan kuat terhadap perjuangan nilai-nilai yang dilakukan oleh Butet Manurung yang penulis temukan.
Walaupun bahasa yang digunakan Butet Manurung bahasa sederhana (penulis kemudian menyadari, Butet Manurung menggunakan bahasa sederhana, sebagai landasan agar yang disampaikan tidak begitu jauh dengan bahasa sehari-hari di kalangan Orang Rimba), namun pesan yang disampaikan begitu kuat.
Titik temu dari pembicaraan yang mengalir adalah perjuangan nilai-nilai kemanusiaan (penulis kemudian menyadari, bahwa yang dilakukan Butet Manurung sebagai tipikal antropolog).
Hingga sekarang, beberapa kali diskusi ringan dengan penulis, nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh Butet Manurung lebih membumi dari bacaan ideologi yang sering penulis temukan.
Perjuangan Butet belum selesai dan masih panjang. Disaat bersamaan, negara dengan kekuasaannya kemudian mempunyai program terhadap perluasan Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Program perluasan Taman Nasional dimulai saat Tahun 1984 Gubernur Jambi mengusulkan agar areal perbukitan Bukit 12 dijadikan kawasan pengembaraan Orang Rimba.
Usulan itu diterima dalam RTRWP Jambi sebagai cagar biosfer dengan luas 29.485 ha. Tahun 1987 Cagar biosfer Bukit 12 berubah nama menjadi Hutan Suaka Alam. Tahun 1988 kawasan Bukit 12 direkomendasikan menjadi kawasan konservasi dengan nama Cagar Alam Bukit Kuaran.
Tahun 1993, Bukit dua belas diusulkan oleh Dirjen PHPA sebagai areal konservasi berupa Suaka Margasatwa.
Tahun1995, BKSDA Jambi mengusulkan penambahan areal menjadi 30.000. ha. Alasannya Suaka Margasatwa Bukit 12 mewakili hutan tropis dataran rendah. Tahun 2000 atas dorongan WARSI, Gubernur Jambi mengusulkan perluasan areal Cagar Biosfer menjadi 65.000 ha .
Tahun 2000 tepatnya 23 Agustus 2000 Menteri kehutanan RI merubah status Cagar Biosfer Bukit 12 menjadi Taman Nasional Bukit 12 sekaligus menambah luas arealnya menjadi 60.500 ha.
Tahun 2001, tepatnya 26 Januari 2001 Presiden RI Abdurahman Wahid mendeklarasikan terbentuknya Taman Nasional Bukit 12.Perubahan status dari Cagar Biosper menjadi Taman Nasional ternyata kelak dikemudian hari akan memunculkan banyak masalah
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Dua Belas atau disingkat RPTNBD merupakan dokumen resmi negara yang dikeluarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi.
Dokumen ini mereka perlukan sebagai acuan bagi terlaksananya visi dan misi pembentukan Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Dokumen itu untuk pertama kalinya kira-kira bulan Agustus tahun 2005. Dokumen itu sendiri disahkan bulan Desember tahun 2004
Dampak terbesar akibat lahirnya RPTNBD adalah munculnya kekhawatiran yang melanda seluruh komunitas adat Orang Rimba. Bagaimana tidak khawatir karena BKSDA Jambi dapat melakukan apa saja untuk untuk mewujudkan rencana-rencananya.
Termasuk menggunakan aparat keamanan. Kasus-kasus pengusiran masyarakat adat dari kawasan Taman Nasional, sudah banyak terjadi di negeri ini.
Di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai masyarakat adat Moronene diusir dari kampung halamannya.
Di Taman Nasional Lore Lindu masyarakat Dongi-Dongi mengalami hal serupa.
Di Taman Nasional Pulau Komodo, nelayan-nelayan dari masyarakat adat Sape dilarang menangkap ikan.
Di Taman Nasional Wakatobi masyarakat adatnya dilarang memasuki kawasan-kawasan yang secara sepihak ditetapkan sebagai zona inti dan zona riset, padahal sebelumnya tempat itu merupakan areal penangkapan ikan bagi nelayan-nelayan disana.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2002 Tentang TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMAMNFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN.
Pasal 14 dari PP tersebut dengan tegas menyatakan bahwa” Rencana pengelolaan hutan disusun dengan memperhatikan aspirasi, partisipasi dan nilai budaya masyarakat serta kondisi lingkungan.
Rencana perluasan Taman Nasional itu kemudian berdampak terhadap kehidupan orang Rimba. Perluasan Taman Nasional selain bertentangan dengan pola dan pandangan hidup orang Rimba berhadapan dengan negara dengan sistem penguasaan hutan melalui Taman Nasional kemudian berujung terhadap pola advokasi Walhi memainkan peran untuk menolak perluasan Taman Nasional.
Secara prinsip, konsepsi Taman Nasional yang diakui oleh Negara, mengakibatkan tidak adanya aktivitas manusia didalamnya.
Baik untuk mengelola sumber daya hutan baik kayu maupun non kayu juga tidak dibenarkan adanya aktivitas manusia lainnya. Konsepsi ini kemudian bertentangan dengan konsepsi orang rimba yang telah hadir dan lahir jauh sebelum Indonesia berdiri dan lahirnya taman nasional.
Konsepsi ini kemudian mengakibatkan cara-cara penolakan kehadiran orang rimba dilegalkan dengan hukum administrasi negara melalui penetapan Taman Nasional.
Artinya, orang rimba yang telah lama berada dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hutan harus dikeluarkan dan tidak boleh lagi berada di taman nasional.
Konsepsi ini kemudian menjadi perdebatan nasional dan menjadi agenda nasional baik yang dilakukan oleh Walhi Jambi maupun cara-cara yang digunakan oleh aparat Taman nasional yang hendak mengusir keberadaan orang rimba. Di titik ini sebenarnya, advokasi orang rimba mutlak diperlukan dan menempatkan orang rimba pada konteksnya.
Dari berbagai kampanye penolakan RPTNBD, penulis sering menyadari, bahwa menggunakan kekuatan negara untuk “mengamankan” taman nasional dengan menggunakan hukum positif (menggunakan instrumen UU No. 5 tahun 1990) ternyata tidak sesuai dengan semangat dan menghargai komunitas adat yang sudah ada dalam kawasan.
Pencitraan Orang Rimba sebagai kaum nomaden, dianggap sebagai “penetap sementara” dan berbagai stigma negatif lainnya yang bertujuan “mengusir” Orang Rimba dari alamnya, menurut penulis sama saja dengan mengeluarkan ikan dari airnya.
Orang Rimba tidak dapat terpisahkan dan dipisahkan dari Hutan. Orang Rimba yang merupakan komunitas adat yang telah berada didalam kawasan Taman Nasional haruslah diakui keberadaannya.
Justru memisahkan mereka dengan hutan yang merupakan hidup yang tidak terpisahkan justru bertentangna dengan nilai-nilai dasar perjuangan kemanusiaan.
Titik temu inilah, yang membuat lembaga-lembaga yang kemudian memberikan advokasi dan konsentrasi terhadap keberadaan orang Rimba. Lembaga yang mengkonsentrasikan kepada perjuangan keberadaan orang Rimba, mengkampanyekan penolakan RPTNBD baik secara nasional maupun internasional.
Dari kiprah penolakan RPTNBD inilah, penulis sering berinteraksi dengan kawan-kawan yang memberikan advokasi perlawanan orang rimba. Dan dari titik inilah penulis sering bergumul pemikiran dengan Butet Manurung.
Berangkat dari pemikiran yang telah dipaparkan, menurut penulis, pengakuan kiprah nama Butet Manurung oleh Pemerintahan SBY telah membuktikan kerja-kerja riil dari Butet Manurung oleh negara.
Pemerintahan SBY telah mengakui kerja yang telah dilakukan oleh Butet Manurung. Kerja dan pola sistem pengajaran akan coba diterapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional terhadap daerah-daerah yang jauh dari dari jangkauan pendidikan formal.
Pengakuan ini setidak-tidaknya memberikan informasi yang baik bahwa diluar sistem pendidikan nasional yang terjebak dengan irama rutinitas, ternyata pendidikan diluar konsep formal masih dilakukan sebagian lapisan masyarakat yang mendukung terhadap pendidikan yang mengajarkan pengetahuan kepada masyarakat yang jauh dari jangkauan negara.
Namun pengakuan oleh pemerintahan SBY juga harus diimbangi dengan kampanye penolakan RPTNBD. Kiprah Butet Manurung jangan menjadi komoditas politik tanpa menyentuh persoalan pokok. Kiprah Butet Manurung juga disertai dengan perbaikan terhadap posisi Taman Nasional dengan keberadaan masyarakat lokal (indigeus people).
Kiprah Butet Manurung juga harus diletakkan agar posisi masyarakat lokal harus diberi ruang dan pengakuan adat dalam posisi bernegara dan berbangsa. Meminggirkan posisi masyarakat adat dan memisahkan dengan hutan dan hidupnya juga tidak mengakui posisi adat dalam sistem hukum negara di Indonesia.
Dan selain juga bertentangan dengan konstitusi juga bertentangan dengan nilai-nilai HAM yang selama ini diperjuangkan oleh Butet Manurung. Dari titik inilah, penulis sering berinteraksi dengan Butet Manurung.
Pengakuan kiprah dan peran Butet Manurung yang telah diterima secara resmi oleh Pemerintahan SBY, tidak menjadikan perjuangan menjadi selesai. Tidak menjadikan perjuang berhenti dan tujuan telah tercapai.
Justru pengakuan kiprah dan peran Butet Manurung oleh SBY menjadikan perjuangan semakin panjang. Kiprah Butet Manurung harus dijadikan daya dorong untuk melakukan perbaikan sebagaimana tujuan dan cita-cita semula. Pengakuan dan kiprah Butet Manurung menjadi daya letup agar perjuangan tetap dilanjutkan.
Karena sebagaimana sering menjadi ujaran ‘PERJUANGAN TIDAK PERNAH DIBERIKAN. PERJUANGAN HARUS DIREBUT”.
Kiprah dan perjuangan Butet Manurung harus tetap dilanjutkan dan tetap harus berjuang menegakkan kebenaran.
Dari paparan yang telah penulis sampaikan, membicarakan Butet Manurung tidak dapat dipisahkan dari pendidikan alternatif anak-anak Orang Rimba. Butet Manurung tidak dapat dipisahkan dari anak-anak Orang Rimba.
Maka diterimanya Butet Manurung dalam lingkungan istana juga harus diimbangi dengan penolakan rencana perluasan Taman nasional Bukit Dua Belas (RPTNB). Menjadi ironi apabila kebesaran nama Butet Manurung berbanding terbalik dengan semakin tergusurnya orang Rimba dari komunitas dan tercabutnya dari akar dari kawasan Taman nasional Bukit Dua Belas.
Menjadi ironi dan sungguh tidak pantas, Orang Rimba semakin diusir dari Taman Nasional. Maka selain dijadikan momentum, kampanye dan daya dorong untuk selalu mengkampanyekan rencana perluasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, nama Butet Manurung dijadikan simbol dan ikon dari masyarakat yang tertinggal dari pergulatan negara.
Nama Butet Manurung harus selalu disinkronkan dengan masyarakat tertinggal dan harus diperjuangkan dalam pergulatan zaman.
Sebelum menutup pembahasan yang penulis sampaikan, penulis teringat paparan yang terbit di Media Indonesia akhir Tahun 2000. Media Indonesia menampilkan tokoh-tokoh muda yang akan mempengaruhi Indonesia.
Mereka mewakili berbagai bidang baik di bidang Politik, eknomi, budaya dan sebagainya.
Maka nama-nama seperti Budiman Soedjatmiko, Munir, Eep Saefullah Fattah, Ahmad Dhani dan sebagainya dianggap tokoh muda yang akan mempengaruhi Indonesia.
Walaupun dalam tahun 2000, Media Indonesia belum memasukkan nama Butet Manurung sebagai tokoh muda yang akan mempengaruhi Indonesia, menurut penulis sudah sepatutnya, Nama Butet Manurung pantas disejajarkan dengan tokoh-tokoh Muda yang mempengaruhi Indonesia.
Ini juga didukung pernyataan majalah prestisius TIME yang menempatkan Butet Manurung sebagai tokoh yang akan mempengaruhi zaman.