Judul ini sengaja penulis sampaikan sebagai bahan evaluasi menyeluruh dan memberikan kontribusi positif dalam perbaikan sistem hukum di Indonesia.
Judul ini sengaja penulis paparkan sebagai bentuk kritik dari sebagian kalangan masyarakat yang memandang sinis dan apatis terhadap advokat. Judul ini juga sebagai bentuk otokritik dalam meletakkan posisi advokat dalam percaturan hukum di Indonesia.
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari denyut dan nafas masyarakat Indonesia yang terus berkembang, advokat merupakan garda terdepan dalam perlindungan HAM.
Ujaran ini sengaja penulis sampaikan sebagai bentuk terjemahan langsung melalui penetapan Konvensi PBB yang meletakkan posisi advokat dan wartawan sebagai the human right defender.
Sebagai pejuang yang paling nyaring dan vokal melihat ketidakadilan di negaranya. Posisi ini juga meletakkan bahwa posisi advokat merupakan posisi yang mulia (officium nobile).
Dalam perdebatan meletakkan posisi advokat, di negara yang menganut sistem hukum anglo saxon, posisi advokat merupakan posisi yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem hukum pidana. Dalam literatur ilmu pidana lebih dikenal dalam sistem integrated criminal justice system. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan, maka posisi advokat merupakan posisi yang sejajar dengan penegak hukum lainnya. Maka penghormatan terhadap advokat dalam sistem hukum negara tersebut, membuat perlindungan HAM terhadap para pelaku memang dihormati. Secara kasat mata, sering kita lihat dalam film-film hollywood, bagaimana proses hukum acara pidana sangat tertib dan berjalan sebagaimana mekanisme yang diatur didalam hukum. Bahkan negarapun dapat digugat apabila terjadinya kesalahan aparatur penegak hukum lalai menjalankan tugasnya. Dengan demikian, posisi advokat sebagai sistem integrated criminal justice sistem merupakan ranah yang paling tinggi penghormatan
Sementara itu di Indonesia sendiri, bacaan tentang posisi advokat masih simpang siur.
Dalam literatur ilmu hukum pidana, konsepsi sistem integrated criminal justice system masih belum tegas. Walaupun UU No. 18 Tahun 2003 yang mengatur tentang Advokat telah lahir, namun kajian akademik tentang posisi advokat juga tidak jelas.
Secara tegas UU No. 18 Tahun 2003 meletakkan posisi advokat sebagai penegak hukum yang sejajar dengan kepolisian melalui UU No. 2 Tahun 2002, Kejaksaan melalui UU No. 16 Tahun 2004, Hakim melalui UU No. 14 tahun 1984 yang kemudian diamandemen melalui UU No. 4 tahun 2004, namun rumusan itu juga tidak dapat menjelaskan tentang integrated criminal justice system.
Sehingga dalam tataran teoritis, posisi advokat sangat sulit disandingkan dengan prinsip integrated criminal justice sistem dalam literatur hukum ilmu pidana.
Konsekwensi posisi ini mengakibatkan, penghormatan terhadap posisi advokat juga menjadi persoalan dalam tataran praktis.
Secara formal, walaupun Pasal 56 KUHAP telah memerintahkan aparatur penegak untuk menyediakan advokat pro bono (baca gratis/prodeo), namun karena rumusan tentang integrated criminal justice sistem itu tidak jelas, mengakibatkan pasal 56 KUHAP hanyalah hiasan menara gading dan sebagai simbolik dalam acara seremonial semata.
Bahkan praktis semangat perumus KUHAP yang meletakkan posisi advokat dalam rumusan pasal 56 KUHAP dan kemudian diakui sebagai salah satu karya agung anak bangsa kemudian hanyalah sebagai bacaan hukum semata.
Belum tuntas pembahasan tentang integrated criminal justice system, para advokat lebih sibuk bertarung dan kemudian lebih sibuk mengurusi dirinya sendiri.
Padahal menurut UU No. 18 Tahun 2003 telah mengamanatkan kepada para advokat untuk membentuk wadah tunggal yang melakukan fungsi UU No. 18 tahun 2003 tersebut.
Kelahiran UU No. 18 Tahun 2003 pada tanggal 5 April 2003, kemudian berlanjut dengan dibentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada tanggal 21 Desember 2004. Dibentuknya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) oleh IKADIN, IPHI, AAI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, APSI telah menunjukkan sikap penyatuan advokat dalam wadah tunggal sebagaimana diamanatkan di dalam pasal 30 ayat (2) UU No. 18 tahun 2003. Organisasi advokat inilah yang kemudian mengangkat dan memberhentikan para advokat berdasarkan advokat.
UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat, telah diujimateriilkan di Mahkamah Konstitusi. Menurut Jimly asshiddiqie, UU ini telah dimohon pengujiannya sebanyak 5 kali yang berkaitan dengan pasal 31, pasal 32 ayat (1), pasal 32 ayat (2), pasal 32 ayat (3), pasal 32 ayat (4), pasal 1ayat (1), pasal 1 ayat (4), pasal 28 ayat (1) dan pasal 28 ayat (3). Dari seluruh pasal yang dimohon pengujiannya di MK, hanya pasal 31 yang dikabulkan sebagaimana dalam putusan No. 006/PUU-II/2004. Putusan ini menegasikan ancaman pidana terhadap siapapun yang mengaku-ngaku sebagai advokat. Dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Perkara No. 014/PUU-IV/2006, 30 November 2006 yang menyatakan “Organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara”.
Begitu pentingnya UU No. 18 tahun 2003 yang memberikan arah dan perlindungan terhadap kiprah advokat, maka UU No. 18 tahun 2003 adalah barometer dan sikap dasar didalam melihat kiprah advokat.
Dari sudut pandang inilah, maka advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum.
Dari paparan tersebut, maka terhadap pembahasan organisasi tunggal advokat sebagaimana diatur didalam pasal 32 ayat (4) tidak perlu dibahas dengan dibentuknya PERADI.
Dan Peradi telah mengambil sikap, bahwa kiprah PERADI merupakan terjemahan dari pelaksanaan ketentuan pasal 32 ayat (4) UU No. 18 tahun 2003.
Namun yang terjadi selain daripada rumusan integrated criminal justice system dan perdebatan tentang organisasi advokat, posisi advokat dalam penegakkan hukum menjadi kabur.
Peran advokat praktis tidak berperan dan justru larut dengan semakin carut-marutnya problematika hukum di Indonesia.
Posisi advokat yang tidak meletakkan posisi secara tegas dalam perdebatan sistem hukum di Indonesia, menjaddikan posisi advokat hilang dari riuhnya amanat reformasi.
Para advokat sendiri sibuk berkonsentrasi dalam perkara-perkara yang menarik perhatian publik.
Bahkan dalam beberapa kali tayangan infotainment, posisi advokat mendampingi para artis yang bermasalah dan menjadi sorotan publik lebih mengurusi hal-hal remeh temeh dibandingkan memaparkan pokok-pokok pikiran dalam pembelaannnya.
Sehingga sinime dari publik kepada advokat yang mendampingi artis yang menjadi sorotan publik terjadi.
Dalam berbagai argumentasi penilaian publik, para advokat lebih diidentikkan mengurusi hal-hal yang berbau uang dan cenderung meninggalkan fungsinya dalam rangka pembelaan hukum.
Kondisi ini diperparah dengan semangat tidak jelasnya arah pembangunan hukum di Indonesia dalam amanat reformasi.
Advokat tidak menjadi bagian amanat reformasi dan terjebak dalam pragmatis kasus.
Dari titik inilah, penulis kemudian memberikan judul dan memperkuat argumentasi bahwa advokat memang berada dalam persimpangan jalan.
Bandingkan dengan yang terjadi pasca jatuhnya Soekarno.
Para advokat berteriak lantang dalam melakukan pembelaan terhadap tokoh-tokoh yang dituduh komunis.
Posisi advokat yang bersama-sama dengan kelompok minoritas dan kelompok tertindas membuat posisi advokat menjadi terhorrmat.
Terlepas dari fakta yang terjadi, apakah para pelaku merupakan tokoh komunis atau tidak, para advokat yang mendampingi perkara ini lebih memposisikan sebagai pilar perlindungan hak-hak tersangka.
Posisi ini setidak-tidaknya para pelaku diperlakukan secara manusiawi dan menjalankan proses hukum secara fair.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan pasca jatuhnya Soeharto. Para korban-korban dan masyarakat terpinggirkan dan kelompok-kelompok tertindas dan kelompok minoritas lebih banyak didampingi oleh mahasiswa dan aktivis LSM.
Apabila para advokat yang mengambil posisi mendampingi kasus yang bersinggungan dengan kekuasaan yang cenderung mengebiri hak-hak rakyat praktis jauh dari liputan media massa dan kalah glamour dengan para advokat yang mendampingi kasus-kasus yang menarik perhatian publik.
Para advokat yang mendampingi kasus yang menjadi sorotan publik lebih piawai mengemas issu dan cenderung menjauhkan dari persoalan hukum yang sebenarnya.
Bahkan advokat pada posisi ini kemudian tidak memberikan pendidikan hukum yang sangat dibutuhkan masyarakat.
Sementara itu posisi yang mengambil posisi yang berhadapan dengan kekuasaan dan lebih mementingkan perkara-perkara yang bersinggungan dengan masyarakat cenderung berhadapan dengan proses hukum yang semu.
Para advokat dapat saja diproses hukum yang bertujuan untuk mematikan aspirasinya.
Dalam kasus tertentu, advokat dapat saja mengalami perlakuan ketidakadilan dan mengalami diskriminasi.
Dalam peristiwa ini, para advokat justru juga tidak mendapatkan dukungan secara organisasi dalam melakukan pembelaannya.
Dua peristiwa ini setidak-tidaknya juga memperkuat argumentasi penulis, bahwa memang posisi advokat dalam persimapngan jalan.
Padahal apabila kita lihat dalam berbagai bacaan sejarah yang berkaitan dengan posisi advokat, trend pemberantasan korupsi dapat dijadikan momentum untuk meletakkan posisi advokat dalam pendampingan kasus yang berdimensi korupsi dan perlindungan HAM. Hampir praktis, kasus-kasus korupsi telah mengalami arah yang tidak adil kepada para pelaku.
Selain para pelaku telah “diadili” oleh media massa dan publik dan dapat dikatakan telah melakukan trial by press.
Dari titik inilah sebenarnya posisi advokat untuk kembali meluruskan agenda politik pemberantasan korupsi dan menjadikan peradilan sebagai benteng terakhir.
Pengadilan sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa juga terjebak dengan pragmatis terhadap keinginan publik dan tertekan untuk memenuhi dan menjatuhkan putusan yang diinginkan publik.
Penulis yakin masih banyak advokat yang menjalankan fungsi tataran ideal. Namun yang penulis butuhkan adalah peran organisasi untuk menjalankan fungsi tataran ideal tersebut.
Karena apabila dilakukan oleh advokat menjalankan fungsinya, maka fungsi itu tidak terpisahkan dari kewajiban seorang advokat.
Ujaran inilah yang biasa dikenal sebagai istilah officium nobile. Advokat tidak boleh menolak perkara dengan alasan biaya.
Advokat tidak boleh menerima perkara apabila dianggap tidak ada dasarnya hukumnya.
Sebelum menutup pembahasan, penulis teringat dengan ujaran Satipto Rahadjo, Guru Besar yang selalu optimis untuk perbaikan hukum di Indonesia. Pak Cip menyatakan, posisi advokat haruslah bersama dengan pelaku yang menjadi soroton publik dan akan dihukum berat. justru tersangka akan mendapatkan ketidakadilan dari proses hukum itu.
Maka disinilah posisi advokat untuk mengembalikan arah dan penghormatan HAM kepada pelaku.