20 Agustus 2015

Refleksi Pengelolaan Hutan Desa

 

Refleksi pengelolaan Hutan Desa... ilmu dari alam semakin digali, semakin kita tidak berarti apa-apa...


Bangko, 20 Agustus 2015..

19 Agustus 2015

opini musri nauli : Petadjin Ilir


Akhir-akhir ini kita dikabarkan tentang meninggalnya Indra Pelani di Bukit Rinting, Lubuk Mandarsyah, Tebo. Lokasi meninggalnya kemudian merupakan tempat “antara masyarakat” Lubuk Mandarsyah dengan izin PT. WKS. Group APP sebagai penyuplai bubur kertas dan pemain utama di Indonesia.

16 Agustus 2015

opini musri nauli : WAJAH ELANTO






Kami tidak terlalu khawatir
jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika”
Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”
Guru di Australia

Di negara maju sekalipun, budaya antri tetap menjadi kekhawatiran para guru. Guru resah apabila murid-murid tidak antri. Budaya antri sudah menjadi lambang dari masyarakat yang beradab.

Leadership Basic Training BEM STIKBA, Jambi, 16 Agustus 2015

 

Semangat muda selalu menambah amunisi untuk menatap langkah ke depan...

Leadership Basic Training BEM STIKBA, Jambi, 16 Agustus 2015

06 Agustus 2015

opini musri nauli : BABEL DALAM PUSARAN TAMBANG



BABEL1 DALAM PUSARAN TAMBANG

Ketika mendengarkan nama Bangka Belitung (Babel), maka yang terbayang adalah Timah, Laskar Pelangi dan dan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Semuanya tidak mudah dilupakan karena cerita yang mudah diingat dan paling sulit dilupakan. Babel merupakan nama Propinsi tahun 2001 setelah sebelum masih tergabung dengan Propinsi Sumatera Selatan. Terdiri dari 407 pulau namun hanya 50 pulau yang berpenghuni.

29 Juli 2015

opini musri nauli : AGAMA UNTUK ANAKKU



Masalah moral masalah akhlak..
Biar kami cari sendiri..
Urus saja moralmu..  urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau..
(Manusia Setengah Dewa, Iwan Fals)


Entah mengapa saya suka sekali syair yang disampaikan oleh Iwan Fals sebagai perwakilan suasana hati dan gundah terhadap cerita dari putraku. Ya. Tutur cerita kali ini menanggapi  pertanyaan putraku.

28 Juli 2015

opini musri nauli : PILGUB JAMBI 2015



Tanggal 27 Juli 2015 merupakan hari bersejarah bagi pemilik suara 2,5 juta (Pilpres 2014) rakyat Jambi. Dua pasang kandidate mendaftarkan ke KPU. Hasan Basri Agus-Edi Purwanto (BA-EP) yang didukung Partai Demokrat, PDI-P, Partai Gerindra, PKS dan Zumi Zola – Farori Umar (ZZ-FU) yang didukung PAN, PKB, PBB, Partai Hanura dan Partai Nasdem. Dengan didukung partai, maka HBA-EP memenuhi persyaratan dengan total kursi di DPRD Propinsi 25 kursi (45,45%). Begitu juga dengan ZZ-FU dengan 18 kursi (32,73%). Tinggal persyaratan teknis yang disusun oleh KPU Propinsi Jambi untuk mengesahkannya.

26 Juli 2015

opini musri nauli : Berjalan di Negeri Minangkabau




BERJALAN DI NEGERI MINANGKABAU[1]


Menyebut Minangkabau maka yang terbayang adalah makanan rendang, petatah-petitih, rumah adat yang khas dengan kepala tanduk kerbau hingga berbagai panorama indah di Barat-nya Sumatera. Pengaruh Minangkabau ataupun kebudayaan Minangkabau di Propinsi Sumatera merata mulai dari kawasan pantai barat yang memanjang di Sumatera mulai dari barus hingga Indrapura.

17 Juli 2015

opini musri nauli : IDUL FITRI 2436 H – Kemenangan Fitri atau kemenangan Harga diri


Usai sudah perjalanan puasa selama sebulan penuh. Berbagai rintangan menjalani puasa berhasil dilewati. Suara takbir dengan kalimat “mengagungkan kebesarannya” terus dikumandangkan. Suara ini kemudian semakin menggema menjelang 1 syawal. Tanda memasuki bulan baru bulan kemenangan.

13 Juli 2015

opini musri nauli : MAKNA WAKIL TUHAN





Akhirnya Suparman Marzuki Ketua Komisi Yudisial dan Taufiqurahman Sauri komisioner KY ditetapkan tersangka. Keduanya dilaporkan oleh Sarpin Rizaldi, Hakim Praperadilan Budi Gunawan. Saya tidak mau berkomentar sikap dari penyidik yang kemudian “menempatkan” Ketua KY dan Komisioner KY sebagai tersangka. Apakah procedural atau cuma persoalan teknis penyidikan, biarlah itu menjadi ranah dari proses hokum.

Melihat Ketua dan Komisioner KY ditetapkan sebagai tersangka menimbulkan persoalan di ranah etika.

Sebagai pelapor, Sarpin Rizaldi sebagai hakim menimbulkan persoalan etika. Apakah dibenarkan seorang hakim membuat laporan polisi dan bertindak sebagai masyarakat biasa.

Tidak ada ketentuan yang melarangnya. Merupakan hak Sarpin Rizaldi sebagai manusia pribadi (naturalijkpersoon) yang merasa “nama baiknya tercemar’.

Namun memegang fungsi sebagai “wakil tuhan”, posisi Hakim memang menjadi sasaran tembak dari berbagai kalangan. Pihak yang dikalahkan tentu saja tidak terima putusan pengadilan. Begitu juga dengan pihak yang menang sering merasakan keadilan dari putusan pengadilan.

Sebagai wakil Tuhan, manusia yang bertugas sebagai hakim memang “dikarunia” ilmu hokum yang jumawa, memegang keadilan, menjaga nilai-nilai luhur. Jauh dari rasa ingin dipuji dan siap dicerca.

Sebagai wakil Tuhan, hakim tetap teguh dengan pendirian dan kukuh mempertahankan keadilan. Di tengah berbagai ancaman, teror, pujian, hakim harus tetap memutuskan berdasarkan keadilan.

Sehingga dia rendah hati untuk menjawab berbagai tudingan. Termasuk mereka yang terus mencerca pengadilan. Mencerca pengadilan sudah ada norma yang mengatur. Konsep “penghinaan pengadilan” merupakan pintu yang membentengi diri dari Hakim.

Rasa rendah hati inilah yang harus menjadi pegangan hakim termasuk mendengarkan suara sumbang terhadap putusannya.

Dengan rendah hati inilah, tokoh-tokoh sekaliber Bismar Siregar, M. Asikin  atau Benyamin Mangkudilaga begitu dihormati.

Ketiganya begitu tenang ketika berbagai putusan dianggap “kontroversi” dan menjadi bahan diskusi di kampus-kampus hokum.

Bismar Siregar “dianggap” sebagai Hakim yang tidak mengerti hokum yang menggunakan ‘asas analogi” dalam peristiwa pidana dianggap menabrak perangkat-perangkat hokum.

M. Asikin dianggap “tidak mengetahui hokum acara perdata” ketika mengabulkan dan memutuskan melebihi dari permohonan (ultra petita) dari pemohon kasus di Papua. Sebuah asas yang paling dihindarkan dalam putusan perdata.

Sedangkan Benyamin Mangkudilaga “dianggap” tidak mengerti tentang SIUPP yang mengabulkan keberatan dari pembreidelan Tempo dkk.

Ketiganya kemudian “dianggap” tidak mengerti hokum, tidak menguasai hokum acara bahkan tidak mengetahui perkembangan hokum.

Namun ketiganya tidak tersinggung. Bahkan tidak “berencana” membuat laporan atas penghinaan nama baik atas berbagai komentar terhadap putusannya.

Pelan tapi pasti. Putusan Bismar Siregar, M. Asikin dan Benyamin Mangkudilaga menjadi “landmark decusion” putusan yang memberikan keadilan. Ketiganya kemudian menjadi “manusia” dikirimi dari langit untuk mengurusi umat manusia.

Sehingga tidak salah kemudian public mengingatnya sebagai pendekar hokum yang mumpuni.

Tentu saja kita kehilangan tokoh-tokoh sekaliber mereka. Tugas “wakil Tuhan” sekarang cuma memutuskan tanpa menggali keadilan di tengah masyarakat.

Dan kita sekarang menyaksikan putusan pengadilan yang monoton. Kering tanpa makna.

Dan itu dimulai dari perilaku hakim yang “tidak” memaknai sebagai “wakil Tuhan” yang dikirimi Tuhan sebagai manusia adiluhung menjaga nilai-nilai kebenaran dan keadilan.