KORUPSI
ATAU PERDATA
(Catatan
Hukum Putusan Hotasi)
Terlepas
dari berbagai perkembangan putusan Pengadilan Adhock Tipikor Jakarta
yang masih memerlukan upaya hukum tingkat kasasi di Mahkamah Agung,
masih banyak catatan penting yang dapat kita tarik dan menjadi
pembelajaran (yurisprudensi).
Issu
hukum yang paling mengemuka ditandai dengan kalimat penting. Apakah
resiko bisnis merupakan persoalan sengketa keperdataan atau masuk
kedalam ranah tindak pidana korupsi ?
Posisi
Kasus
Hotasi
DP Nababan adalah Direktur PT. Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan
Tony Sudjiarto adalah mantan General Manager PT. MNA. Keduanya
didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam praktek penyewaan
pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 yang merugikan keuangna
negara sebesar 1 juta dollar.
Penyewaan
dilakukan setelah melihat kondisi keuangan PT. MNA tahun 2006 sangat
parah. Ditandai dengan kemampuan produksi yang rendah serta harus
menanggung biaya operasioal yang tinggi. Disebabkan jumlah pesawat
yang sangat sedikit. 25 unit. Tidak sebanding dengan jumlah sumber
daya manusianya.
Maka
demi menyelamatkan perusahaan yang sudah
kritis, Hotari dan Tony kemudian melakukan penyewaan pesawat
boeing. Namun keinginan itu selalu kandas
gara-gara reputasi Merpati di dunia internasional sudah terpuruk.
Maka
kemudian PT. MNA mengadakan penyewaan dengan Thirdstone
Aircraft Leasing Group (TALG). Akhirnya TALG 'bersedia'
menyewakan pesawat. Di dalam perjanjian sewa, diharusnya Merpati
mengirimkan uang jaminan (security deposit) sebesar USD 1 juta
sebagai jaminan untuk dua pesawat.
Masalah
timbul setelah TALG ingkar janji tidak mengirimkan pesawat. Merpati
pun sudah menempuh segala cara agar uang jaminan yang telah
dibayarkan bisa dikembalikan oleh TALG.
Kerugian
?
Lantas
dilema ini kemudian menjadi issu hukum. Apakah “kerugian”
yang diderita oleh PT. MNA termasuk kedalam sengketa keperdataan atau
merupakan “kerugian negara” yang masuk kedalam ranah
tindak pidana korupsi ?
Sebelum
kita masuk kedalam Pertanyaan pertama, diskursus ilmiah masih
memperdebatkan. Apakah uang negara yang kemudian dijadikan modal
untuk sebuah perusahaan sudah menjadi modal privat atau masih
termasuk kedalam kategori “keuangan negara ?
Para
ahli terbelah. Baik yang menyatakan termasuk kedalam “keuangan
negara” maupun yang sudah menyatakan keuangan privat yang tidak
tepat lagi diterapkan “Keuangan negara”. Keduanya
mempunyai implikasi yang berbeda. Apabila masih termasuk “keuangan
negara”, maka dapat dikategorikan sebagai “kerugian
negara” yang kemudian dapat
diterapkan UU Korupsi. Sedangkan apabila sudah masuk ke ranah
privat, maka terhadap “kerugian” tidak dapat ditempuh
dengan mekanisme UU Korupsi. Tapi dapat menempuh jalur “gugat”
ke Pengadilan. Hingga sekarang perdebatan itu masih tetap terjadi.
Dalam
praktek yang sering terjadi, justru, negara dengan menggunakan
kekuasaannya kemudian “menerapkan UU Korupsi”. Sehingga
publik tidak mendapatkan pelajaran “utuh”. Apakah terhadap
kejadian ini masuk keranah tindak pidana korupsi atau masuk kedalam
sengketa keperdataan.
Putusan
Hotasi memberikan pelajaran penting. Terlepas dari perdebatan “uang
negara” dalam BUMN apakah termasuk kedalam “keuangan
negara” atau “uang privat” milik BUMN, berbagai
pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan haruslah dibaca dengan
cermat.
Pertama.
Hakim telah menyatakan “"TALG tidak memenuhi itikad baik
untuk memenuhi kewajibannya” merupakan sengketa keperdataan.
Hakim telah tepat menerapkan. “Kerugian negara” tidak
dapat diterapkan, karena “uang negara” yang sudah
ditempatkan di BUMN, merupakan “uang milik BUMN”.
Kedua.
Terhadap TALG yang tidak memenuhi kewajibannya, tidak dapat
dibebankan kepada PT. MNA. Ini ditandai dengan PT MNA sudah memenuhi
kewajibannya membayar security deposito, PT. MNA sudah menempuh
segala cara agar jaminan dapat dikembalikan TALG. Bahkan PT. MNA
sudah “menggugat”
di AS, dan putusan Pengadilan District of Columbia, AS tanggal 8 Juli
2007 yang memenangkan gugatan Merpati atas TALG dan Alan Messner
menjadi bukti upaya Merpati mengembalikan dana deposit. Hakim
memberikan istilah “merupakan
tanggung jawab TALG dan itu di luar kendali PT MNA”. Sudah
dilakukan dalam prinsip hati-hati dan demi kepentingan perusahaan.
Dengan
demikian, maka tidak terdapat kesalahan (mens rea) terhadap Hotasi
dan Tony.
Penghitungan
Kerugian negara
Dalam
perkembanganya, sebelum perkara ini dilimpahkan Kejaksaan Agung,
perkara ini pernah menarik perhatian publik. Namun KPK, Bareskrim
Polri dan Badan Pemeriksa Keuangan menyimpulkan perkara gagal sewa
pesawat ini tidak memenuhi kriteria tindak pidana korupsi.
Sehingga
memang mengganggu apabila sebelumnya ada pernyataan “gagal sewa
pesawat” tidak termasuk kedalam tindak pidana korupsi namun “tetap”
juga dilimpahkan kejaksaaan Agung di Pengadilan adhock Tindak Pidana
Korupsi.
Dimuat di Harian Jambi Independent, 25 Februari 2013.
Dimuat di Harian Jambi Independent, 25 Februari 2013.