23 Februari 2013

opini musri nauli : Korupsi atau Perdata - Catatan Hukum Putusan Hotasi



KORUPSI ATAU PERDATA
(Catatan Hukum Putusan Hotasi)


Terlepas dari berbagai perkembangan putusan Pengadilan Adhock Tipikor Jakarta yang masih memerlukan upaya hukum tingkat kasasi di Mahkamah Agung, masih banyak catatan penting yang dapat kita tarik dan menjadi pembelajaran (yurisprudensi).

Issu hukum yang paling mengemuka ditandai dengan kalimat penting. Apakah resiko bisnis merupakan persoalan sengketa keperdataan atau masuk kedalam ranah tindak pidana korupsi ?

Posisi Kasus

Hotasi DP Nababan adalah Direktur PT. Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan Tony Sudjiarto adalah mantan General Manager PT. MNA. Keduanya didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam praktek penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 yang merugikan keuangna negara sebesar 1 juta dollar.

Penyewaan dilakukan setelah melihat kondisi keuangan PT. MNA tahun 2006 sangat parah. Ditandai dengan kemampuan produksi yang rendah serta harus menanggung biaya operasioal yang tinggi. Disebabkan jumlah pesawat yang sangat sedikit. 25 unit. Tidak sebanding dengan jumlah sumber daya manusianya.

Maka demi menyelamatkan perusahaan yang sudah kritis, Hotari dan Tony kemudian melakukan penyewaan pesawat boeing. Namun keinginan itu selalu kandas gara-gara reputasi Merpati di dunia internasional sudah terpuruk.

Maka kemudian PT. MNA mengadakan penyewaan dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG). Akhirnya TALG 'bersedia' menyewakan pesawat. Di dalam perjanjian sewa, diharusnya Merpati mengirimkan uang jaminan (security deposit) sebesar USD 1 juta sebagai jaminan untuk dua pesawat.

Masalah timbul setelah TALG ingkar janji tidak mengirimkan pesawat. Merpati pun sudah menempuh segala cara agar uang jaminan yang telah dibayarkan bisa dikembalikan oleh TALG.

Kerugian ?

Lantas dilema ini kemudian menjadi issu hukum. Apakah “kerugian” yang diderita oleh PT. MNA termasuk kedalam sengketa keperdataan atau merupakan “kerugian negara” yang masuk kedalam ranah tindak pidana korupsi ?

Sebelum kita masuk kedalam Pertanyaan pertama, diskursus ilmiah masih memperdebatkan. Apakah uang negara yang kemudian dijadikan modal untuk sebuah perusahaan sudah menjadi modal privat atau masih termasuk kedalam kategori “keuangan negara ?
Para ahli terbelah. Baik yang menyatakan termasuk kedalam “keuangan negara” maupun yang sudah menyatakan keuangan privat yang tidak tepat lagi diterapkan “Keuangan negara”. Keduanya mempunyai implikasi yang berbeda. Apabila masih termasuk “keuangan negara”, maka dapat dikategorikan sebagai “kerugian negara” yang kemudian dapat diterapkan UU Korupsi. Sedangkan apabila sudah masuk ke ranah privat, maka terhadap “kerugian” tidak dapat ditempuh dengan mekanisme UU Korupsi. Tapi dapat menempuh jalur “gugat” ke Pengadilan. Hingga sekarang perdebatan itu masih tetap terjadi.

Dalam praktek yang sering terjadi, justru, negara dengan menggunakan kekuasaannya kemudian “menerapkan UU Korupsi”. Sehingga publik tidak mendapatkan pelajaran “utuh”. Apakah terhadap kejadian ini masuk keranah tindak pidana korupsi atau masuk kedalam sengketa keperdataan.

Putusan Hotasi memberikan pelajaran penting. Terlepas dari perdebatan “uang negara” dalam BUMN apakah termasuk kedalam “keuangan negara” atau “uang privat” milik BUMN, berbagai pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan haruslah dibaca dengan cermat.

Pertama. Hakim telah menyatakan “"TALG tidak memenuhi itikad baik untuk memenuhi kewajibannya” merupakan sengketa keperdataan. Hakim telah tepat menerapkan. “Kerugian negara” tidak dapat diterapkan, karena “uang negara” yang sudah ditempatkan di BUMN, merupakan “uang milik BUMN”.

Kedua. Terhadap TALG yang tidak memenuhi kewajibannya, tidak dapat dibebankan kepada PT. MNA. Ini ditandai dengan PT MNA sudah memenuhi kewajibannya membayar security deposito, PT. MNA sudah menempuh segala cara agar jaminan dapat dikembalikan TALG. Bahkan PT. MNA sudah “menggugat” di AS, dan putusan Pengadilan District of Columbia, AS tanggal 8 Juli 2007 yang memenangkan gugatan Merpati atas TALG dan Alan Messner menjadi bukti upaya Merpati mengembalikan dana deposit. Hakim memberikan istilah “merupakan tanggung jawab TALG dan itu di luar kendali PT MNA”. Sudah dilakukan dalam prinsip hati-hati dan demi kepentingan perusahaan.
Dengan demikian, maka tidak terdapat kesalahan (mens rea) terhadap Hotasi dan Tony.

Penghitungan Kerugian negara

Dalam perkembanganya, sebelum perkara ini dilimpahkan Kejaksaan Agung, perkara ini pernah menarik perhatian publik. Namun KPK, Bareskrim Polri dan Badan Pemeriksa Keuangan menyimpulkan perkara gagal sewa pesawat ini tidak memenuhi kriteria tindak pidana korupsi.

Sehingga memang mengganggu apabila sebelumnya ada pernyataan “gagal sewa pesawat” tidak termasuk kedalam tindak pidana korupsi namun “tetap” juga dilimpahkan kejaksaaan Agung di Pengadilan adhock Tindak Pidana Korupsi.

Dimuat di Harian Jambi Independent, 25 Februari 2013.