17 Juli 2015

opini musri nauli : IDUL FITRI 2436 H – Kemenangan Fitri atau kemenangan Harga diri


Usai sudah perjalanan puasa selama sebulan penuh. Berbagai rintangan menjalani puasa berhasil dilewati. Suara takbir dengan kalimat “mengagungkan kebesarannya” terus dikumandangkan. Suara ini kemudian semakin menggema menjelang 1 syawal. Tanda memasuki bulan baru bulan kemenangan.

Dari kutbah-kutbah selalu disuarakan. 1 Syawal adalah bulan kemenangan. Bulan kemenangan yang terus beribadah selama sebulan. Tidak hanya menjaga diri dari tidak makan/minum (puasa) tapi terus menjalani berbagai ritual agama. Termasuk tadarussan dan “I’tikaf (berdiam di masjid) untuk menjaga “diri” dari berbagai godaan dan bersikap bersih.

Sekarang mari kita lihat. Apakah Idul Fitri merupakan bulan kemenangan dan kembali “fitri” (bersih) ?

Hanya satu minggu suasana ramadhan terasa di berbagai tempat. Mulai dari ucapan selamat di berbagai tempat termasuk baliho (maklum menjelang pilkada), diskusi-diskusi tentang agama, digalakkan seruan untuk menutupi warung makan dengan kain dan ancaman dari berbagai kepala daerah untuk menutupi tempat-tempat hiburan. Selain daripada itu, paling banter “issu” hangat penentuan dimulainya ramadhan (siaran langsung dari sidang isbat di Kementerian Agama di televisi).

Setelah satu minggu berlalu, suasana kembali normal. Daya tahan tubuh yang sebelumnya baru menjalani puasa sudah terbiasa. Aktivitas rutin kemudian digelar. Termasuk mendiskusikan berbagai issu yang rumit dan memerlukan konsentrasi tinggi.

Undangan berbuka bersamapun mulai berdatangan. Bergantian selisih hari. terus menerus hingga menjelang lebaran.

Entah memang “kebiasaan” orang melayu yang makan sambil mengobrol, hampir praktis setiap berbuka puasa bersama (baik di restoran maupun di berbagai tempat) tidak diselingi dengan “beranjak” untuk sholat magrib. Bahkan diskusi bisa terus berlanjut hingga menjelang taraweh. Ya. Berbuka bersama sekarang sudah menjadi “symbol”. Simbol persahabatan dan pergaulan.

Memasuki minggu kedua, tema diskusi sudah mulai bergeser. Selain menghadiri berbuka puasa, konsentrasi nasional mulai dicurahkan kepada agenda tahunan nasional. Mudik lebaran (saya hanya menggunakan istilah “mudik” karena sudah menjadi pembicaraan nasional. Walaupun kata yang lebih tepat adalah “pulang kampong). Ya. inilah agenda nasional tahunan yang paling rumit, menyita perhatian, menghubungkan dengan berbagai lini, membangkitkan emosi. Tidak ada satupun agenda nasional yang paling heboh selain mudik. Tidak juga Pemilu dan pilkada. 

Di tingkat pemerintah, jalan-jalan mulai “dibedaki”. Ya. Ditempeli aspal “sekedar” untuk bisa dilewati arus pemudik. Paling banter cukuplah sekitar 2 bulan. Ntar bisa diperbaiki tahun depan untuk dilewati.

Selain itu juga rapat digelar marathon. Posko-posko mudik dibangun. Posko pengaduan terhadap THR dan posko kesehatan terus disiapkan. Tuslah diperlakukan. Tiket mulai mahal dan sulit didapatkan.

Mall mulai ramai. Berbagai model pakaian mulai diperagakan. Suasana “mall” heboh. Suara teriakan dari penjaga mall terus menyuarakan berbagai model dan harga yang menjanjikan kepada pembeli.

Butik-butik yang menawarkan model baju islam tidak ketinggalan meraup keuntungan. Penuh. Dan terus menawarkan harga hingga menggiurkan kepada pelanggan.

Minggu ketiga, arus mudik mulai digelar. Berbagai rencana arus mudik disusun. Yang mampu, mengusahakan beli mobil dengan edisi terbaru.  Sedangkan jalur jauh menggunakan angkutan umum. Entah naik angkutan umum (pesawat, kereta api, bis maupun kapal).

Mobil “rental” mendadak untung. Bayaran dua kali lipat, kontrak minimal 10 hari dan harus dibayar “cash”. Semuanya mendapatkan untung.

Tidak cukup dengan cara itu. Motor dijadikan sarana untuk mudik.

Semuanya larut untuk memenuhi satu kata. Mudik.

Memasuki minggu terakhir, suasana makanan sudah mulai terasa. Yang pengen praktis, bisa pesan kue yang berjejeran dijual di berbagai tempat. Yang pengen membuat kue, bisa pesan bahan pembuat kue yang berjejejaran di pasar tradisional.

Ketupat, daging, cabe menjadi komoditi pokok pembahasan. Jangan salah. Jangan keliru. Kesalahan didalam menangani permasalahan ini akan berakibat terganggunya pelayanan. Dan itu resikonya besar bagi pejabat public.

Hari terakhir kemudian dipenuhi ucapan selamat “idul fitri”, “selamat lebaran, minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir bathin. Kartu ucapan lebaran, sms, telephone kemudian laris manis.

Entah memang sebagai kebutuhan. Atau ada perbedaan makna yang menggeser.

Bisnis selalu melihat peluang. Bisnis kemudian menciptakan pasar. Pasar kemudian menciptakan “image”. Pasar kemudian mendesain “harga”. Semuanya terus dibangun, diciptakan dan terus diperkaya dengan kreasi-kreasi setiap tahun.

Warung makan, catering, mall, penjual kue, operator seluler, pengusaha rental mobil, maskapai pesawat, penjual mobil adalah pasar yang diciptakan “untuk menemani bulan ramadhan” dan menjelang idul fitri. Mereka adalah “image” yang dibangun untuk merasakan “nuansa” ramadhan dan idul fitri.

Pasar kemudian berhasil menjadi pemenang. Pasar kemudian menjadi “masa” yang harus diikuti penganut Idul Fitri.

Makna “idul Fitri” - kembali menjadi fitri (bersih) kemudian kehilangan makna. Suasana lebaran kemudian menjadi bergeser bermakna. Lebaran kemudian menjadi “pemenang harga diri”.