Usai
sudah perjalanan puasa selama sebulan penuh. Berbagai rintangan menjalani puasa
berhasil dilewati. Suara takbir dengan kalimat “mengagungkan kebesarannya” terus dikumandangkan. Suara ini kemudian
semakin menggema menjelang 1 syawal. Tanda memasuki bulan baru bulan
kemenangan.
Dari
kutbah-kutbah selalu disuarakan. 1 Syawal adalah bulan kemenangan. Bulan
kemenangan yang terus beribadah selama sebulan. Tidak hanya menjaga diri dari
tidak makan/minum (puasa) tapi terus
menjalani berbagai ritual agama. Termasuk tadarussan dan “I’tikaf (berdiam di masjid) untuk menjaga “diri” dari berbagai godaan dan bersikap bersih.
Sekarang
mari kita lihat. Apakah Idul Fitri merupakan bulan kemenangan dan kembali “fitri” (bersih) ?
Hanya
satu minggu suasana ramadhan terasa di berbagai tempat. Mulai dari ucapan
selamat di berbagai tempat termasuk baliho (maklum
menjelang pilkada), diskusi-diskusi tentang agama, digalakkan seruan untuk
menutupi warung makan dengan kain dan ancaman dari berbagai kepala daerah untuk
menutupi tempat-tempat hiburan. Selain daripada itu, paling banter “issu” hangat penentuan dimulainya
ramadhan (siaran langsung dari sidang
isbat di Kementerian Agama di televisi).
Setelah
satu minggu berlalu, suasana kembali normal. Daya tahan tubuh yang sebelumnya
baru menjalani puasa sudah terbiasa. Aktivitas rutin kemudian digelar. Termasuk
mendiskusikan berbagai issu yang rumit dan memerlukan konsentrasi tinggi.
Undangan
berbuka bersamapun mulai berdatangan. Bergantian selisih hari. terus menerus
hingga menjelang lebaran.
Entah
memang “kebiasaan” orang melayu yang
makan sambil mengobrol, hampir praktis setiap berbuka puasa bersama (baik di restoran maupun di berbagai tempat) tidak
diselingi dengan “beranjak” untuk
sholat magrib. Bahkan diskusi bisa terus berlanjut hingga menjelang taraweh.
Ya. Berbuka bersama sekarang sudah menjadi “symbol”.
Simbol persahabatan dan pergaulan.
Memasuki
minggu kedua, tema diskusi sudah mulai bergeser. Selain menghadiri berbuka
puasa, konsentrasi nasional mulai dicurahkan kepada agenda tahunan nasional.
Mudik lebaran (saya hanya menggunakan
istilah “mudik” karena sudah menjadi pembicaraan nasional. Walaupun kata yang
lebih tepat adalah “pulang kampong). Ya. inilah agenda nasional tahunan
yang paling rumit, menyita perhatian, menghubungkan dengan berbagai lini,
membangkitkan emosi. Tidak ada satupun agenda nasional yang paling heboh selain
mudik. Tidak juga Pemilu dan pilkada.
Di
tingkat pemerintah, jalan-jalan mulai “dibedaki”.
Ya. Ditempeli aspal “sekedar” untuk
bisa dilewati arus pemudik. Paling banter cukuplah sekitar 2 bulan. Ntar bisa
diperbaiki tahun depan untuk dilewati.
Selain
itu juga rapat digelar marathon. Posko-posko mudik dibangun. Posko pengaduan
terhadap THR dan posko kesehatan terus disiapkan. Tuslah diperlakukan. Tiket
mulai mahal dan sulit didapatkan.
Mall
mulai ramai. Berbagai model pakaian mulai diperagakan. Suasana “mall” heboh. Suara teriakan dari penjaga
mall terus menyuarakan berbagai model dan harga yang menjanjikan kepada
pembeli.
Butik-butik
yang menawarkan model baju islam tidak ketinggalan meraup keuntungan. Penuh.
Dan terus menawarkan harga hingga menggiurkan kepada pelanggan.
Minggu
ketiga, arus mudik mulai digelar. Berbagai rencana arus mudik disusun. Yang
mampu, mengusahakan beli mobil dengan edisi terbaru. Sedangkan jalur jauh menggunakan angkutan
umum. Entah naik angkutan umum (pesawat,
kereta api, bis maupun kapal).
Mobil
“rental” mendadak untung. Bayaran dua
kali lipat, kontrak minimal 10 hari dan harus dibayar “cash”. Semuanya mendapatkan untung.
Tidak
cukup dengan cara itu. Motor dijadikan sarana untuk mudik.
Semuanya
larut untuk memenuhi satu kata. Mudik.
Memasuki
minggu terakhir, suasana makanan sudah mulai terasa. Yang pengen praktis, bisa
pesan kue yang berjejeran dijual di berbagai tempat. Yang pengen membuat kue,
bisa pesan bahan pembuat kue yang berjejejaran di pasar tradisional.
Ketupat,
daging, cabe menjadi komoditi pokok pembahasan. Jangan salah. Jangan keliru.
Kesalahan didalam menangani permasalahan ini akan berakibat terganggunya
pelayanan. Dan itu resikonya besar bagi pejabat public.
Hari
terakhir kemudian dipenuhi ucapan selamat “idul
fitri”, “selamat lebaran, minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir bathin. Kartu
ucapan lebaran, sms, telephone kemudian laris manis.
Entah
memang sebagai kebutuhan. Atau ada perbedaan makna yang menggeser.
Bisnis
selalu melihat peluang. Bisnis kemudian menciptakan pasar. Pasar kemudian
menciptakan “image”. Pasar kemudian
mendesain “harga”. Semuanya terus
dibangun, diciptakan dan terus diperkaya dengan kreasi-kreasi setiap tahun.
Warung
makan, catering, mall, penjual kue, operator seluler, pengusaha rental mobil,
maskapai pesawat, penjual mobil adalah pasar yang diciptakan “untuk menemani bulan ramadhan” dan
menjelang idul fitri. Mereka adalah “image”
yang dibangun untuk merasakan “nuansa”
ramadhan dan idul fitri.
Pasar
kemudian berhasil menjadi pemenang. Pasar kemudian menjadi “masa” yang harus diikuti penganut Idul
Fitri.
Makna
“idul Fitri” - kembali menjadi fitri
(bersih) kemudian kehilangan makna.
Suasana lebaran kemudian menjadi bergeser bermakna. Lebaran kemudian menjadi “pemenang harga diri”.
Baca : Mudik dan Kolesterol