29 Juli 2015

opini musri nauli : AGAMA UNTUK ANAKKU



Masalah moral masalah akhlak..
Biar kami cari sendiri..
Urus saja moralmu..  urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau..
(Manusia Setengah Dewa, Iwan Fals)


Entah mengapa saya suka sekali syair yang disampaikan oleh Iwan Fals sebagai perwakilan suasana hati dan gundah terhadap cerita dari putraku. Ya. Tutur cerita kali ini menanggapi  pertanyaan putraku.
Ceritanya bermula. Ketika salah satu teman ngajinya di masjid kemudian “diberhentikan” oleh sang orang tua. Bahkan sang anak yang sebelumnya sekolah umum kemudian “dipindahkan” sekolah lain. Putraku dengan jujur bercerita. Bahkan sedikit bertanya. Mengapa sang anak itu dipindahkan dengan alasan “agama”. Ya. Alasan agama. Sang anak “diberhentikan” mengaji di masjid dan dipindahkan sekolah.

Saya kaget. Bagaimana mungkin pertanyaan yang mengganggu harus saya jawab dengan mudah tanpa mempengaruhi “daya hayal” terhadap dunianya dan tetap bisa berfikir  jernih tanpa harus ikut dengan “kerumitan” yang ada disekelilingnya.

Saya kemudian menggali informasi dari istri saya. Kamipun berdiskusi untuk mencari permasalahannya dan kemudian memberikan jawaban yang mudah untuk putraku.

Dengan melihat keadaan yang terjadi saya mencoba melihat persoalan ini sedikit lebih dalam.

Pertama. Tuduhan mengaji di masjid “belum” islam itu sungguh menyesakkan dada. Ketika SD, seluruh putra-putri saya “dikirimi” ke Padang selama bulan puasa (ramadhan). Alasannya sederhana. Di bulan ramadhan, di Padang, banyak kegiatan di masjid. Mulai dari subuh hingga habis taraweh. Ada kegiatan “pesantren” kilat, pengajian, kegiatan di masjid sampai berebutan mukul bedug menjelang berbuka puasa. Semuanya dilakukan di masjid. Dan anak-anak gembira. Dunia bermain kemudian diisi dengan kegiatan yang menggembirakan dengan kakek-neneknya di padang. Sehingga tidak tepat apabila mengaji di masjid dianggap “tidak islam.

Kedua. Keinginan mengaji pas magrib di masjid bukan semata-mata agar bisa mengaji. Sama sekali tidak. Karena diluar daripada magrib, saya tetap mendatangkan guru ngaji di rumah. Tapi alasannya selain bergaul dengan anak-anak sekitarnya juga “merasakan” suasana bermain-main setelah pulang dari masjid. Dunia anak tetap dunia bermain.

Ditambah dengan kegiatan yang bermanfaat sehingga menambah bekal menghadapi kehidupan kelak.

Sekarangpun tanpa disuruh. Pas sebelum magrib, putraku tetap berlari ke mesjd menunaikan magrib dan mengaji dimesjid. Dunia yang kurasakan waktu kecil.

Ketiga. Tanggungjawab budi pekerti tetap tanggung jawab orang tua. Tidak bisa dialihkan dengan “menyiapkan” sekolah yang terbaik sekalipun. Budi pekerti juga dipengaruhi oleh pemikiran orang tua yang menganggap agama sebagai tuntutan. Bukan sebagai pemisah pergaulan. Itu pelajaran yang diturunkan dari nenek dan orang tuaku.

Saya mendapatkan kesempatan bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat.  Berbagai agama. Semuanya memberikan kesan kepada saya. Agama adalah melindungi diri dari perbuatan jahat. Agama adalah tuntutan dari sang Pencipta dengan tetap menempatkan manusia diatas segalanya. Tidak ada satupun agama yang “membenarkan” kekerasan. Meneror ketakutan hingga menciptakan “keangkuhan”.

Kami berdiskusi “kemanusiaan”. Keindonesiaan dengan tetap menghargai perbedaan agama. Semuanya begitu indah.

Sehingga dalam kesempatan menjelang Idul Fitri. Saya mendapatkan ucapan selamat merayakan Idul fitri dari berbagai lapisan dan agama. Itu yang membuat saya tetap bersyukur mendapatkan “kekayaan” bathin.

Keempat. Menjadi ironi, apabila “dunia” islam kemudian hanya menjadi “benar” oleh hanya segelintir orang.

Indonesia kaya dengan warna “islam”. Tumbuh dari Aceh hingga timur Indonesia. Melengkapi dengan “ornament”. Berbagai model masjid “melambangkan” sejarah panjang islam di Indonesia. Lihatlah catatan perjalanan dari Thomas Gibson, M. C. Ricklefs,  Niemann, de Holander, Vlekke, dan Schrieke. Kesemunya dengan takjub memandang “perjalanan” islam dan memandang “kejayaan” perjalanan islam di Indonesia.

Islam Kaya berpadu dengan budaya. Di Aceh kita mengenal “serambi mekkah”. Di Padang Panjang juga dikenal sebagai kota “serambi mekkah”. Di Padang ada tradisi “belimau”. Di Bengkulu ada “pesta “taboot.  Di berbagai tempat ada tradisi “maulidan”. Ada tradisi “cukur rambut”, “qatam” Al Qur’an. Semuanya memperkaya islam.

Saya kemudian menyampaikan kepada putraku. Dan diapun riang kembali bermain dengan teman-temannya. Dan tidak khawatir mengaji di masjid akan melunturkan makna islam.


Sambil meneruskan membaca buku. Sayapun berujar. Semoga kelak dia bisa menyaksikan perjalanan panjang melihat islam. Dan juga memandang kemanusiaan tanpa dipengaruhi kepentingan agama. Tanpa harus “memikirkan” dunia bermainnya dengan “kerumitan” islam yang dipandang cuma dari kotak kosong tanpa makna.