Masalah
moral masalah akhlak..
Biar
kami cari sendiri..
Urus
saja moralmu.. urus
saja akhlakmu
Peraturan
yang sehat yang kami mau..
(Manusia
Setengah Dewa, Iwan Fals)
Entah mengapa saya suka
sekali syair yang disampaikan oleh Iwan Fals sebagai perwakilan suasana hati
dan gundah terhadap cerita dari putraku. Ya. Tutur cerita kali ini
menanggapi pertanyaan putraku.
Ceritanya bermula. Ketika
salah satu teman ngajinya di masjid kemudian “diberhentikan” oleh sang orang tua. Bahkan sang anak yang
sebelumnya sekolah umum kemudian “dipindahkan”
sekolah lain. Putraku dengan jujur bercerita. Bahkan sedikit bertanya. Mengapa
sang anak itu dipindahkan dengan alasan “agama”.
Ya. Alasan agama. Sang anak “diberhentikan”
mengaji di masjid dan dipindahkan sekolah.
Saya kaget. Bagaimana
mungkin pertanyaan yang mengganggu harus saya jawab dengan mudah tanpa
mempengaruhi “daya hayal” terhadap
dunianya dan tetap bisa berfikir jernih
tanpa harus ikut dengan “kerumitan”
yang ada disekelilingnya.
Saya kemudian menggali
informasi dari istri saya. Kamipun berdiskusi untuk mencari permasalahannya dan
kemudian memberikan jawaban yang mudah untuk putraku.
Dengan melihat keadaan
yang terjadi saya mencoba melihat persoalan ini sedikit lebih dalam.
Pertama. Tuduhan mengaji
di masjid “belum” islam itu sungguh
menyesakkan dada. Ketika SD, seluruh putra-putri saya “dikirimi” ke Padang selama bulan puasa (ramadhan). Alasannya
sederhana. Di bulan ramadhan, di Padang, banyak kegiatan di masjid. Mulai dari
subuh hingga habis taraweh. Ada kegiatan “pesantren”
kilat, pengajian, kegiatan di masjid sampai berebutan mukul bedug menjelang berbuka puasa. Semuanya dilakukan di masjid.
Dan anak-anak gembira. Dunia bermain kemudian diisi dengan kegiatan yang
menggembirakan dengan kakek-neneknya di padang. Sehingga tidak tepat apabila
mengaji di masjid dianggap “tidak islam.
Kedua. Keinginan mengaji
pas magrib di masjid bukan semata-mata agar bisa mengaji. Sama sekali tidak.
Karena diluar daripada magrib, saya tetap mendatangkan guru ngaji di rumah.
Tapi alasannya selain bergaul dengan anak-anak sekitarnya juga “merasakan” suasana bermain-main setelah
pulang dari masjid. Dunia anak tetap dunia bermain.
Ditambah dengan kegiatan
yang bermanfaat sehingga menambah bekal menghadapi kehidupan kelak.
Sekarangpun tanpa
disuruh. Pas sebelum magrib, putraku tetap berlari ke mesjd menunaikan magrib
dan mengaji dimesjid. Dunia yang kurasakan waktu kecil.
Ketiga. Tanggungjawab
budi pekerti tetap tanggung jawab orang tua. Tidak bisa dialihkan dengan “menyiapkan” sekolah yang terbaik
sekalipun. Budi pekerti juga dipengaruhi oleh pemikiran orang tua yang
menganggap agama sebagai tuntutan. Bukan sebagai pemisah pergaulan. Itu
pelajaran yang diturunkan dari nenek dan orang tuaku.
Saya mendapatkan
kesempatan bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat. Berbagai agama. Semuanya memberikan kesan
kepada saya. Agama adalah melindungi diri dari perbuatan jahat. Agama adalah
tuntutan dari sang Pencipta dengan tetap menempatkan manusia diatas segalanya.
Tidak ada satupun agama yang “membenarkan”
kekerasan. Meneror ketakutan hingga menciptakan “keangkuhan”.
Kami berdiskusi “kemanusiaan”. Keindonesiaan dengan tetap
menghargai perbedaan agama. Semuanya begitu indah.
Sehingga dalam kesempatan
menjelang Idul Fitri. Saya mendapatkan ucapan selamat merayakan Idul fitri dari
berbagai lapisan dan agama. Itu yang membuat saya tetap bersyukur mendapatkan “kekayaan” bathin.
Keempat. Menjadi ironi,
apabila “dunia” islam kemudian hanya
menjadi “benar” oleh hanya segelintir
orang.
Indonesia kaya dengan warna
“islam”. Tumbuh dari Aceh hingga
timur Indonesia. Melengkapi dengan “ornament”.
Berbagai model masjid “melambangkan”
sejarah panjang islam di Indonesia. Lihatlah catatan perjalanan dari Thomas
Gibson, M. C. Ricklefs, Niemann,
de Holander, Vlekke, dan Schrieke. Kesemunya dengan takjub memandang “perjalanan” islam dan memandang “kejayaan” perjalanan islam di Indonesia.
Islam Kaya berpadu dengan
budaya. Di Aceh kita mengenal “serambi
mekkah”. Di Padang Panjang juga dikenal sebagai kota “serambi mekkah”. Di Padang ada tradisi “belimau”. Di Bengkulu ada “pesta
“taboot. Di berbagai tempat ada
tradisi “maulidan”. Ada tradisi “cukur rambut”, “qatam” Al Qur’an. Semuanya memperkaya islam.
Saya kemudian menyampaikan
kepada putraku. Dan diapun riang kembali bermain dengan teman-temannya. Dan
tidak khawatir mengaji di masjid akan melunturkan makna islam.
Sambil meneruskan membaca
buku. Sayapun berujar. Semoga kelak dia bisa menyaksikan perjalanan panjang
melihat islam. Dan juga memandang kemanusiaan tanpa dipengaruhi kepentingan
agama. Tanpa harus “memikirkan” dunia
bermainnya dengan “kerumitan” islam
yang dipandang cuma dari kotak kosong tanpa makna.