16 Agustus 2015

opini musri nauli : WAJAH ELANTO






Kami tidak terlalu khawatir
jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika”
Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”
Guru di Australia

Di negara maju sekalipun, budaya antri tetap menjadi kekhawatiran para guru. Guru resah apabila murid-murid tidak antri. Budaya antri sudah menjadi lambang dari masyarakat yang beradab.

Kekhawatiran itulah yang menggerakkan Elanto Wijoyono, seorang pengendara sepeda yang berdiri di simpang untuk mencegat kendaraan yang berhenti di zebra cross dari arah barat perempatan Condong Catur, Yogyakarta.

Kekesalan warga Yogyakarta yang mencegat konvoi motor gede (moge) yang tidak disiplin dengan cara menerobos lampu merah, berhenti di zebra cross merupakan luapan yang selama ini kesal dengan tingkah laku para pengemud moge.

Dalam berbagai media online dan kemudian dimuat berbagai media sosial termasuk youtube dengan jelas bagaimana pengemudi moge “congkak” berjalan di jalan raya yang padat, suara kendaraan meraung-raung. Bahkan ada yang berhenti di zebra cross. Sebuah tempat penyeberangan yang tidak boleh kendaraan berhenti disana.

Cekcok mulutpun tidak terhindarkan. Tapi Elanto malah memalangkan sepeda, meminta moge untuk mundur keluar dari zebra cross.

Sikap Elanto merupakan wajah potret masyarakat yang mulai jengkel dengan tingkah laku pengemudi moge yang sering mengabaikan hak pengendara lain di jalan raya. Mereka sering membuat kesal “meminggirkan” kendaraan agar mereka bisa lewat, suara kendaraan meraung-raung yang memekakkan telinga, masuk kota dengan berkonvoi dan sering juga “dikawal” motor dari petugas.

Cerminan sikap yang ditempuh oleh Elanto merupakan bentuk “kemuakkan” terhadap sikap dari pengemudi yang “merasa jumawa” di jalan raya. Elanto merupakan “cerminan” masyarakat yang melawan terhadap tingkah laku manusia yang “berkuasa” di jalan raya. Elanto adalah wajah kita untuk tidak tunduk kepada segelintir orang yang mempunyai uang namun “mengabaikan keselamatan” orang lain. Elanto adalah cerminan dari sikap orang terdidik yang “memaksa” agar semua tunduk kepada aturan jalan raya. Elanto adalah sikap keteladanan yang mewakili keresahan guru dari negara Australia yang “keukeuh” mendidik murid agar antri.

Keteladanan Elanto adalah contoh dari sikap disiplin dan menawarkan nilai-nilai yang harus dipelajari anak-anak kita. Elanto “mengajarkan” tidak ada yang “dikecualikan” di jalan raya. Tidak juga mereka yang mempunyai moge dan kaum kaya yang terpelajar. Tidak juga dikecualikan mereka yang “kenal” dengan petinggi negeri sehingga bisa “mencarter” motor pengawal (Patwal) yang bisa mendapatkan “garansi” untuk bebas di jalan raya termasuk “menerobos” lampu merah.

Ya. Penggunaan Kendaraan Voorrijder tidak bisa “digunakan” oleh moge. Pasal 75 PP nomor 44 Tahun 1993 itu, mobil yang berhak menggunakan lampu rotator dan sirene adalah, petugas penegakan hukum, Dinas Pemadam Kebakaran, mobil ambulans, mobil PMI, serta mobil jenazah.

Menilik dari Pasal 75 PP No. 33 Tahun 1993, penggunakan Kendaraan Voorrijder tidak sebagaimana mestinya apalagi cuma “memberikan fasilitas kepada golongan tertentu” selain merupakan bentuk “sikap gagahan”, penggunaan fasilitas negara bukan peruntukkannya, adanya mekanisme pelanggaran penggunakan fasilitas juga tidak mendidik.

Jalan raya kemudian “mempertontonkan” bagaimana hukum ”ditelanjangi” di jalan raya dan kemudian dipertunjukan bahkan oleh pemimpin yang ”seharusnya” memberikan teladan.

Elanto mengambil posisi berdiri. Di posisi inilah, keteladanan Elanto memberikan 3 pelajaran sekaligus. Kepada Moge “diingatkan”, tidak ada “pengecualian” untuk tertib lalu lintas. Kepada penegak hukum, semua pengguna jalan raya mendapatkan hak yang sama. Tertib berlalu lintas. Dan kepada anak-anak sekolah. Tertib berlalu lintas, antri di jalan di jalan raya, menghormati orang lain, merupakan pelajaran budi pekerti yang juga menjadi perhatian dari guru di Australia sekalipun.