“Kami
tidak terlalu khawatir
jika
anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika”
Kami
jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”
Guru
di Australia
Di
negara maju sekalipun, budaya antri tetap menjadi kekhawatiran para
guru. Guru resah apabila murid-murid tidak antri. Budaya antri sudah
menjadi lambang dari masyarakat yang beradab.
Kekhawatiran
itulah yang menggerakkan Elanto Wijoyono, seorang pengendara sepeda
yang berdiri di simpang untuk mencegat kendaraan yang berhenti di
zebra cross dari arah barat perempatan Condong Catur, Yogyakarta.
Kekesalan
warga Yogyakarta yang mencegat konvoi motor gede (moge) yang
tidak disiplin dengan cara menerobos lampu merah, berhenti di zebra
cross merupakan luapan yang selama ini kesal dengan tingkah laku para
pengemud moge.
Dalam
berbagai media online dan kemudian dimuat berbagai media sosial
termasuk youtube dengan jelas bagaimana pengemudi moge “congkak”
berjalan di jalan raya yang padat, suara kendaraan meraung-raung.
Bahkan ada yang berhenti di zebra cross. Sebuah tempat penyeberangan
yang tidak boleh kendaraan berhenti disana.
Cekcok
mulutpun tidak terhindarkan. Tapi Elanto malah memalangkan sepeda,
meminta moge untuk mundur keluar dari zebra cross.
Sikap
Elanto merupakan wajah potret masyarakat yang mulai jengkel dengan
tingkah laku pengemudi moge yang sering mengabaikan hak pengendara
lain di jalan raya. Mereka sering membuat kesal “meminggirkan”
kendaraan agar mereka bisa lewat, suara kendaraan meraung-raung yang
memekakkan telinga, masuk kota dengan berkonvoi dan sering juga
“dikawal” motor dari petugas.
Cerminan
sikap yang ditempuh oleh Elanto merupakan bentuk “kemuakkan”
terhadap sikap dari pengemudi yang “merasa jumawa” di
jalan raya. Elanto merupakan “cerminan” masyarakat yang
melawan terhadap tingkah laku manusia yang “berkuasa” di
jalan raya. Elanto adalah wajah kita untuk tidak tunduk kepada
segelintir orang yang mempunyai uang namun “mengabaikan
keselamatan” orang lain. Elanto adalah cerminan dari sikap
orang terdidik yang “memaksa” agar semua tunduk kepada
aturan jalan raya. Elanto adalah sikap keteladanan yang mewakili
keresahan guru dari negara Australia yang “keukeuh”
mendidik murid agar antri.
Keteladanan
Elanto adalah contoh dari sikap disiplin dan menawarkan nilai-nilai
yang harus dipelajari anak-anak kita. Elanto “mengajarkan”
tidak ada yang “dikecualikan” di jalan raya. Tidak juga
mereka yang mempunyai moge dan kaum kaya yang terpelajar. Tidak juga
dikecualikan mereka yang “kenal” dengan petinggi negeri
sehingga bisa “mencarter” motor pengawal (Patwal)
yang bisa mendapatkan “garansi” untuk bebas di jalan raya
termasuk “menerobos” lampu merah.
Ya.
Penggunaan Kendaraan Voorrijder tidak bisa “digunakan”
oleh moge. Pasal 75 PP nomor 44 Tahun 1993 itu, mobil yang berhak
menggunakan lampu rotator dan sirene adalah, petugas penegakan hukum,
Dinas Pemadam Kebakaran, mobil ambulans, mobil PMI, serta mobil
jenazah.
Menilik
dari Pasal 75 PP No. 33 Tahun 1993, penggunakan Kendaraan Voorrijder
tidak sebagaimana mestinya
apalagi cuma “memberikan fasilitas kepada golongan
tertentu” selain merupakan
bentuk “sikap gagahan”,
penggunaan fasilitas negara bukan peruntukkannya, adanya mekanisme
pelanggaran penggunakan fasilitas juga tidak mendidik.
Jalan
raya kemudian “mempertontonkan” bagaimana hukum
”ditelanjangi” di jalan raya dan kemudian dipertunjukan
bahkan oleh pemimpin yang ”seharusnya” memberikan teladan.
Elanto
mengambil posisi berdiri. Di posisi inilah, keteladanan Elanto
memberikan 3 pelajaran sekaligus. Kepada Moge “diingatkan”,
tidak ada “pengecualian” untuk tertib lalu lintas. Kepada
penegak hukum, semua pengguna jalan raya mendapatkan hak yang sama.
Tertib berlalu lintas. Dan kepada anak-anak sekolah. Tertib berlalu
lintas, antri di jalan di jalan raya, menghormati orang lain,
merupakan pelajaran budi pekerti yang juga menjadi perhatian dari
guru di Australia sekalipun.