26 Juli 2015

opini musri nauli : Berjalan di Negeri Minangkabau




BERJALAN DI NEGERI MINANGKABAU[1]


Menyebut Minangkabau maka yang terbayang adalah makanan rendang, petatah-petitih, rumah adat yang khas dengan kepala tanduk kerbau hingga berbagai panorama indah di Barat-nya Sumatera. Pengaruh Minangkabau ataupun kebudayaan Minangkabau di Propinsi Sumatera merata mulai dari kawasan pantai barat yang memanjang di Sumatera mulai dari barus hingga Indrapura.
Di Jambi sendiri, pengaruhnya begitu terasa. Cerita “Datuk perpatih nan sebatang” hidup di sebagian kawasan Tebo, Bungo, Bangko hingga Sarolangun[2]. Walaupun dokumen hanya bisa mendukung Margo Koto VII dan Margo Kota IX (Tebo) yang berlatar belakang Minangkabau[3]. Bahkan di Perda No. 5 Tahun 2007 justru ditemukan kalimat “Adat bersendikan syara'. Syara' bersendikan kitabulah. Sebuah kata yang menjadi pegangan di masyarakat di Minangkabau. Saya belum bisa memprediksi apakah “pengaruh Minangkabau” juga hidup di pesisir Pantai Timur di Jambi.

Dalam berbagai sumber disebutkan, pengaruh Minangkabau dapat dilihat di Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara bahkan hingga ke negeri Sembilan di Malaysia[4].

Saya kebetulan merupakan keturunan Minangkabau (dari Ibu yang berasal dari Maninjau[5], Agam[6]). Karena suku berasal dari Ibu[7], maka saya kemudian berhak juga menggunakan suku “Melayu”. Sebuah pengakuan untuk membicarakan tanah di Maninjau.

Sedangkan istri saya merupakan putri dari Salido ketek (ketek – kecil), sebuah negeri kecil yang termasuk kedalam wilayah administrasi Painan[8]. Painan “terkenal” dengan pantai carokok dan Bukit Langkisau yang mempunyai debur ombak buih putih menghadap lautan Indonesia di pesisir barat Sumatera. Memanjang melewati Painan dan terus ke Bengkulu. Sebuah rute yang pernah saya jalani tahun 2011. Painan juga merupakan salah satu daerah yang dilewati menuju ke Sungai Penuh (kerinci).

Hampir praktis, setiap jalur mudik ditempuh ke Painan. Selain “bertemu dengan keluarga besar” istri, kesempatan ke Painan juga merupakan jalur pariwisata yang melewati “teluk Bayur”, laut di Padang hingga mendaki, turun dan menyusuri pantai barat Sumatera.

Tahun ini kamipun menempuh perjalanan panjang setelah hari ketiga Idul Fitri. Setelah melaksanakan “ritual wajib” seperti bertemu keluarga dan “nyekar ke kuburan mertua”, kesempatan melihat “pantai carocok Painan” dan Bukit Langkisau dilakukan. Berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan di Painan.

Setelah istirahat sejenak, kami kemudian kembali ke Padang.

Setelah tiba di Padang sambil bertemu adik dari istri, Pilihan mulai dilakukan. Rencana untuk Padang Panjang melalui jalur Lembah anai mulai dimatangkan. Mendapatkan kabar macet jalan dari padang ke Bukittinggi dan tentu saja mengakibatkan jalan macet ke padang -padang panjang, maka pilihan lain kemudian dilakukan. Rencana ke padang panjang harus mutar dulu ke Solok. Menurut hitungan cukup jauh.

Padang – Padang Panjang dengan jarak 70 km, maka dengan memutar Padang – Solok = 70 km + Solok – Padang Panjang = 70 km. Artinya baik dengan waktu maupun jarak akan menempuh dua kali lipat dari seharusnya. Apabila sebelumnya waktu Padang – Padang Panjang biasa ditempuh cukup 2 jam, maka apabila mutar melalui solok, maka bisa mencapai 4 jam.

Tapi rencana ini lebih baik daripada terjebak di tengah kemacetan Padang – Padang Panjang. Teringat tahun 2007. Dari Bukittinggi – Padang bisa mencapai 8 jam.

Setelah tiba dan istirahat di Solok, maka perjalanan kemudian ditempuh ke Padang Panjang.

Padang Panjang sering disebutkan didalam Novel “Robohnya Surau Kami” dan Novel yang kemudian dijadikan film “tenggelamnya Kapal Van der Wijk”. Mempunyai tradisi panjang pendidikan di bidang keagaman yang ditandai dengan “pesantren Thawalib Putra[9]” dan Dinniyah Putri'.

Mesjid Tua yang terletak Batipuh merupakan salah satu tempat perlawanan perang padri yang terkenal Imam Bonjol melawan penjajah dan pernah ditulis lengkap media selevel Kompas.

Padang Panjang[10] merupakan salah satu tempat terakhir (termasuk checking terakhir) sebelum mendaki Gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang terkenal.

Di Padang Panjang, saya berkesempatan melihat Museum Pusat Dokumentasi dan Informasi kebudayaan Minangkabau (PDIKM) dan Taman Hiburan Minang Dufan (Mifan) yang kebetulan berdekatan.

Dari Museum PDIKM, saya berkesempatan melihat Rumah Gadang (rumah khas Minangkabau), dokumen rumah gadang di berbagai daerah (melalui photo), buku-buku tentang sejarah Minangkabau baik terbitan dari Belanda, Inggeris maupun Arab Melayu (Tulisan melayu menggunakan aksara arab).

Menghubungkan Painan, Padang, Solok dan Padang Panjang dapat dilihat dari Seloko “Sajak dari Riak nan badabua, siluluak Punai Mati, Sirangkak Nan badangkang, Buayo Putiah Daguak. Taratak Aie Hitam, Sampai ke durian ditakuak Rajo. wilayah batas-batas Minangkabau dengan Propinsi sekitarnya.

Durian ditakuak rajo” merupakan nama tempat yang berbatasan dengan Propinsi Jambi. Nama ini bisa dilihat dari Seloko Negeri Jambi juga ditemukan di daerah Tebo terutama di daerah Margo Sumay, Margo VII Koto dan Margo IX Koto.

Secara geografi, wilayah Minangkabau dibagi menjadi tiga. Darek (darat), Rantau dan Pesisia (Pesisir).

Darek adalah daerah tinggi diantara pegunungan diantaranya Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Darek dibagi 3 (luhak nan tigo). Luhak tanah datar, luhak Agam dan Luhak 50 Koto yang terdiri luhak, ranah dan Lareh. Maninjau termasuk kedalam Luhak Agam.

Rantau adalah daerah diluar Luhak nan tigo. Menyusuri Sungai seperti Rokan, Siak, Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batanghari. Biasa disebut juga Minangkabau Timur atau “ikua rantau (Ekor rantau)

Sedangkan Pesisia (Pesisir) adalah daerah sepanjang pesisir pantai barat Sumatera. Termasuk Painan.

Dengan demikian, maka perjalanan panjang dimulai dari menyusuri daerah pesisir dalam term wilayah Minangkabau “pesisia”. Kemudian dilanjutkan ke rantau melewati “ikua rantau” Solok dan kembali ke daerah “darek” melewati Batipuh 10 Koto dalam Luhak Tanah Datar. Dan kembali pulang menyusuri “rantau” melewati Sawah Lunto Sinjunjung.

Sehingga tidak salah kemudian, perjalanan kali ini menapaki berbagai deskripsi wilayah Minangkabau yaitu Darek, Rantau dan Pesisir.

Secara geografi, kekayaan masing-masing tempat menawarkan kekayaan yang berbeda. Daerah pesisir dapat kita jumpai di Pantai Carocok, Bukit Langkisau yang kita temukan di Painan dan sepanjang jalur Painan dan Padang. Hingga ke daerah “darek” untuk menemukan sensasi pegunungan termasuk Gunung Singgalang dan Gunung Merapi yang terkenal. Semuanya tidak mudah kita temukan di tempat lain dengan ornamen yang berbeda-beda.

Hubungan kekerabatan yang kental antara masyarakat Minangkabau di perantauan dengan “kampung halamannya” begitu terasa. Hampir di setiap tempat dilalui, banyaknya perantauan yang “pulang mudik” mengisyaratkan “kekentalan” hubungannya. Plat-plat mobil dari Riau, Jambi berseliweran dan parkir di sepanjang jalan di lalui. Baik yang berada di Painan, Padang ataupun padang panjang. Sehingga tidak salah, wilayah Minangkabau tetap kuat antara “darek”, rantau, pesisir dengan “ikua rantau”.

Perjalanan panjang tahun ini tidak sempat “memutar ke Bukit Tinggi, Batusangkar dan Payakumbuh[11]. Nama-nama tempat untuk melengkapi cerita tahun ini. Walaupun praktis, Ke Bukittinggi relative sering dan pernah beberapa kali ke Payakumbuh dan Batusangkar, namun cerita tahun ini tidak mau terjebak dengan “perangkap” macet ke Bukittinggi. Pengalaman buruk yang tidak boleh dilakukan pada “saat arus mudik”.

Keunikan” dari daerah di Minangkabau adalah “tersedianya” tempat-tempat istirahat di “surau” (masjid) baik “surau ketek” maupun “surau gadang”. Hampir setiap waktu, “surau” dibuka baik untuk melaksanakan sholat maupun untuk istirahat “bermalam”. Dengan dikarunia alam yang melimpah ruah, air terus mengalir dan praktis tempat-tempat yang disinggahi tidak berhenti air mengalir.

Perjalanan mudik tahun ini tidak lupa dilengkapi cerita tentang “buruknya” kelakuan para pendatang (yang mengaku dari Kota). Setiap pemberhentian, hamper praktis, sampah-sampah berserakan dan menimbulkan pemandangan yang tidak pantas apabila berada di “surau”.




[1] Asal kata Minangkabau berasal dari istilah “menang dan Kabau”, sebuah dongeng tentang kemenangan Kerbau (kabau).
[2] Hampir semuanya mengaku “berasal dari Pagaruyung”. Sebuah upaya penundukkan diri dari berbagai komunitas masyarakat terhadap kebesaran Kerajaan Pagarruyung. “Penundukan diri” bukanlah dalam artian penjajahan fisik seperti yang dianut oleh kaum kolonial. Tapi penyerahan diri bagian dari administasi pemerintahan dengan tetap “menghargai pelaksanaan hukum lokal dan keunikan” masing-masing tiap daerah. Sehingga walaupun bagian dari Kerajaan pagarruyung, namum terhadap pelaksanaan hukum mengenal denda yang berbeda setiap daerah.
[3] Watson Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100 sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera 
dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 
2008, Hal. 43
[4] Lihat Muchtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Gajahmada University Press, 1984., hal. 74 dan Muhammad Radjab, Semasa Ketjil di Kampung (1913-1928) : Autobiografi Seorang Anak Minangkabau”, Jakarta, Balai Pustaka, 1959, Hal. 201.
[5] Terkenal dengan Danau Maninjau
[6] 30 km dari Bukittinggi melewati tikungan yang biasa dikenal dengan istilah “kelok 44”. 44 merupakan jumlah tikungan.
[7] Sistem Matrilinial sebuah sistem kekerabatan adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Ada juga yang menyebutkanya “matriakhat” atau “matriarkhi”.
[8] Perjanjian Painan oleh Groenewegen tahun 1663 adalah pintu Belanda sebagai Kantor Perdagangan di Pulau Cingkuk. Sebuah kantor yang menyuplai lada untuk pedagang Belanda. Lihat Bulbeck, David, Southeast Asian Export Since the 14 th Century Cloves, Pepper, Coffee and Sugar, Singapura, ISEAS.
[9] Pesantren Thawalib Putra didirikan oleh Dr. Karim Amrullah, Bapak HAMKA. Sebuah pesantren tua yang telah berdiri sejak tahun 1912
[10] Ada yang menyebutkannya “kota Serambi Mekkah”,
[11]Batusangkar termasuk Luhak Tanah Datar. Payakumbuh termasuk Luhak Limapuluh Koto.