BERJALAN DI NEGERI MINANGKABAU[1]
Menyebut
Minangkabau maka yang terbayang adalah makanan rendang, petatah-petitih, rumah
adat yang khas dengan kepala tanduk kerbau hingga berbagai panorama indah di
Barat-nya Sumatera. Pengaruh Minangkabau ataupun kebudayaan Minangkabau di
Propinsi Sumatera merata mulai dari kawasan pantai barat yang memanjang di
Sumatera mulai dari barus hingga Indrapura.
Di
Jambi sendiri, pengaruhnya begitu terasa. Cerita “Datuk perpatih nan
sebatang” hidup di sebagian kawasan Tebo, Bungo, Bangko hingga Sarolangun[2].
Walaupun dokumen hanya bisa mendukung Margo Koto VII dan Margo Kota IX (Tebo)
yang berlatar belakang Minangkabau[3].
Bahkan di Perda No. 5 Tahun 2007 justru ditemukan kalimat “Adat bersendikan
syara'. Syara' bersendikan kitabulah. Sebuah kata yang menjadi pegangan di
masyarakat di Minangkabau. Saya belum bisa memprediksi apakah “pengaruh
Minangkabau” juga hidup di pesisir Pantai Timur di Jambi.
Dalam
berbagai sumber disebutkan, pengaruh Minangkabau dapat dilihat di Riau, Jambi,
Bengkulu, Sumatera Utara bahkan hingga ke negeri Sembilan di Malaysia[4].
Saya
kebetulan merupakan keturunan Minangkabau (dari Ibu yang berasal dari Maninjau[5],
Agam[6]).
Karena suku berasal dari Ibu[7],
maka saya kemudian berhak juga menggunakan suku “Melayu”. Sebuah pengakuan
untuk membicarakan tanah di Maninjau.
Sedangkan
istri saya merupakan putri dari Salido ketek (ketek – kecil), sebuah negeri
kecil yang termasuk kedalam wilayah administrasi Painan[8].
Painan “terkenal” dengan pantai carokok dan Bukit Langkisau yang mempunyai
debur ombak buih putih menghadap lautan Indonesia di pesisir barat Sumatera.
Memanjang melewati Painan dan terus ke Bengkulu. Sebuah rute yang pernah saya
jalani tahun 2011. Painan juga merupakan salah satu daerah yang dilewati menuju
ke Sungai Penuh (kerinci).
Hampir
praktis, setiap jalur mudik ditempuh ke Painan. Selain “bertemu dengan keluarga besar” istri, kesempatan ke Painan juga
merupakan jalur pariwisata yang melewati “teluk
Bayur”, laut di Padang hingga mendaki, turun dan menyusuri pantai barat
Sumatera.
Tahun
ini kamipun menempuh perjalanan panjang setelah hari ketiga Idul Fitri. Setelah
melaksanakan “ritual wajib” seperti bertemu keluarga dan “nyekar ke
kuburan mertua”, kesempatan melihat “pantai carocok Painan” dan Bukit
Langkisau dilakukan. Berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan di Painan.
Setelah
istirahat sejenak, kami kemudian kembali ke Padang.
Setelah
tiba di Padang sambil bertemu adik dari istri, Pilihan mulai dilakukan. Rencana
untuk Padang Panjang melalui jalur Lembah anai mulai dimatangkan. Mendapatkan
kabar macet jalan dari padang ke Bukittinggi dan tentu saja mengakibatkan jalan
macet ke padang -padang panjang, maka pilihan lain kemudian dilakukan. Rencana
ke padang panjang harus mutar dulu ke Solok. Menurut hitungan cukup jauh.
Padang
– Padang Panjang dengan jarak 70 km, maka dengan memutar Padang – Solok = 70 km
+ Solok – Padang Panjang = 70 km. Artinya baik dengan waktu maupun jarak akan
menempuh dua kali lipat dari seharusnya. Apabila sebelumnya waktu Padang –
Padang Panjang biasa ditempuh cukup 2 jam, maka apabila mutar melalui solok,
maka bisa mencapai 4 jam.
Tapi
rencana ini lebih baik daripada terjebak di tengah kemacetan Padang – Padang
Panjang. Teringat tahun 2007. Dari Bukittinggi – Padang bisa mencapai 8 jam.
Setelah
tiba dan istirahat di Solok, maka perjalanan kemudian ditempuh ke Padang
Panjang.
Padang
Panjang sering disebutkan didalam Novel “Robohnya Surau Kami” dan Novel
yang kemudian dijadikan film “tenggelamnya Kapal Van der Wijk”.
Mempunyai tradisi panjang pendidikan di bidang keagaman yang ditandai dengan “pesantren
Thawalib Putra[9]”
dan Dinniyah Putri'.
Mesjid
Tua yang terletak Batipuh merupakan salah satu tempat perlawanan perang padri
yang terkenal Imam Bonjol melawan penjajah dan pernah ditulis lengkap media
selevel Kompas.
Padang
Panjang[10]
merupakan salah satu tempat terakhir (termasuk checking terakhir)
sebelum mendaki Gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang terkenal.
Di
Padang Panjang, saya berkesempatan melihat Museum Pusat Dokumentasi dan
Informasi kebudayaan Minangkabau (PDIKM) dan Taman Hiburan Minang Dufan (Mifan)
yang kebetulan berdekatan.
Dari
Museum PDIKM, saya berkesempatan melihat Rumah Gadang (rumah khas
Minangkabau), dokumen rumah gadang di berbagai daerah (melalui photo),
buku-buku tentang sejarah Minangkabau baik terbitan dari Belanda, Inggeris
maupun Arab Melayu (Tulisan melayu menggunakan aksara arab).
Menghubungkan
Painan, Padang, Solok dan Padang Panjang dapat dilihat dari Seloko “Sajak dari
Riak nan badabua, siluluak Punai Mati, Sirangkak Nan badangkang, Buayo Putiah
Daguak. Taratak Aie Hitam, Sampai ke durian ditakuak Rajo. wilayah
batas-batas Minangkabau dengan Propinsi sekitarnya.
“Durian
ditakuak rajo” merupakan nama tempat yang berbatasan dengan Propinsi Jambi.
Nama ini bisa dilihat dari Seloko Negeri Jambi juga ditemukan di daerah Tebo
terutama di daerah Margo Sumay, Margo VII Koto dan Margo IX Koto.
Secara
geografi, wilayah Minangkabau dibagi menjadi tiga. Darek (darat), Rantau
dan Pesisia (Pesisir).
Darek
adalah daerah tinggi diantara pegunungan diantaranya Gunung Singgalang dan
Gunung Merapi. Darek dibagi 3 (luhak nan tigo). Luhak tanah datar, luhak
Agam dan Luhak 50 Koto yang terdiri luhak, ranah dan Lareh. Maninjau termasuk
kedalam Luhak Agam.
Rantau
adalah daerah diluar Luhak nan tigo. Menyusuri Sungai seperti Rokan, Siak,
Kampar, Kuantan/Indragiri dan Batanghari. Biasa disebut juga Minangkabau Timur
atau “ikua rantau (Ekor rantau)
Sedangkan
Pesisia (Pesisir) adalah daerah sepanjang pesisir pantai barat Sumatera.
Termasuk Painan.
Dengan
demikian, maka perjalanan panjang dimulai dari menyusuri daerah pesisir dalam
term wilayah Minangkabau “pesisia”. Kemudian dilanjutkan ke rantau melewati
“ikua rantau” Solok dan kembali ke daerah “darek” melewati Batipuh 10 Koto
dalam Luhak Tanah Datar. Dan kembali pulang menyusuri “rantau” melewati Sawah
Lunto Sinjunjung.
Sehingga
tidak salah kemudian, perjalanan kali ini menapaki berbagai deskripsi wilayah
Minangkabau yaitu Darek, Rantau dan Pesisir.
Secara
geografi, kekayaan masing-masing tempat menawarkan kekayaan yang berbeda.
Daerah pesisir dapat kita jumpai di Pantai Carocok, Bukit Langkisau yang kita
temukan di Painan dan sepanjang jalur Painan dan Padang. Hingga ke daerah “darek”
untuk menemukan sensasi pegunungan termasuk Gunung Singgalang dan Gunung Merapi
yang terkenal. Semuanya tidak mudah kita temukan di tempat lain dengan ornamen
yang berbeda-beda.
Hubungan
kekerabatan yang kental antara masyarakat Minangkabau di perantauan dengan “kampung
halamannya” begitu terasa. Hampir di setiap tempat dilalui, banyaknya
perantauan yang “pulang mudik” mengisyaratkan “kekentalan”
hubungannya. Plat-plat mobil dari Riau, Jambi berseliweran dan parkir di
sepanjang jalan di lalui. Baik yang berada di Painan, Padang ataupun padang
panjang. Sehingga tidak salah, wilayah Minangkabau tetap kuat antara “darek”,
rantau, pesisir dengan “ikua rantau”.
Perjalanan
panjang tahun ini tidak sempat “memutar
ke Bukit Tinggi, Batusangkar dan Payakumbuh[11].
Nama-nama tempat untuk melengkapi cerita tahun ini. Walaupun praktis, Ke
Bukittinggi relative sering dan pernah beberapa kali ke Payakumbuh dan
Batusangkar, namun cerita tahun ini tidak mau terjebak dengan “perangkap” macet ke Bukittinggi. Pengalaman
buruk yang tidak boleh dilakukan pada “saat
arus mudik”.
“Keunikan” dari daerah di Minangkabau
adalah “tersedianya” tempat-tempat
istirahat di “surau” (masjid) baik “surau ketek” maupun “surau gadang”. Hampir setiap waktu, “surau” dibuka baik untuk melaksanakan
sholat maupun untuk istirahat “bermalam”.
Dengan dikarunia alam yang melimpah ruah, air terus mengalir dan praktis
tempat-tempat yang disinggahi tidak berhenti air mengalir.
Perjalanan
mudik tahun ini tidak lupa dilengkapi cerita tentang “buruknya” kelakuan para pendatang (yang mengaku dari Kota). Setiap pemberhentian, hamper praktis,
sampah-sampah berserakan dan menimbulkan pemandangan yang tidak pantas apabila
berada di “surau”.
[1] Asal kata Minangkabau berasal dari istilah “menang
dan Kabau”, sebuah dongeng tentang kemenangan Kerbau (kabau).
[2] Hampir semuanya mengaku “berasal dari Pagaruyung”.
Sebuah upaya penundukkan diri dari berbagai komunitas masyarakat terhadap
kebesaran Kerajaan Pagarruyung. “Penundukan diri” bukanlah dalam artian
penjajahan fisik seperti yang dianut oleh kaum kolonial. Tapi penyerahan diri
bagian dari administasi pemerintahan dengan tetap “menghargai pelaksanaan hukum
lokal dan keunikan” masing-masing tiap daerah. Sehingga walaupun bagian dari
Kerajaan pagarruyung, namum terhadap pelaksanaan hukum mengenal denda yang
berbeda setiap daerah.
[3] Watson Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100
sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera
dan Negara
Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme
Belanda, KITLV, Jakarta,
2008, Hal. 43
[4] Lihat Muchtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku
Minangkabau, Gajahmada University Press, 1984., hal. 74 dan Muhammad Radjab,
Semasa Ketjil di Kampung (1913-1928) : Autobiografi Seorang Anak Minangkabau”,
Jakarta, Balai Pustaka, 1959, Hal. 201.
[5] Terkenal dengan Danau Maninjau
[6] 30 km dari Bukittinggi melewati tikungan yang
biasa dikenal dengan istilah “kelok 44”. 44 merupakan jumlah tikungan.
[7] Sistem Matrilinial sebuah sistem kekerabatan adat
masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Ada juga yang
menyebutkanya “matriakhat” atau “matriarkhi”.
[8] Perjanjian Painan oleh Groenewegen tahun 1663
adalah pintu Belanda sebagai Kantor Perdagangan di Pulau Cingkuk. Sebuah kantor
yang menyuplai lada untuk pedagang Belanda. Lihat Bulbeck, David, Southeast
Asian Export Since the 14 th Century Cloves, Pepper, Coffee and Sugar,
Singapura, ISEAS.
[9] Pesantren Thawalib Putra didirikan oleh Dr. Karim
Amrullah, Bapak HAMKA. Sebuah pesantren tua yang telah berdiri sejak tahun 1912
[10] Ada yang menyebutkannya “kota Serambi Mekkah”,
[11]Batusangkar termasuk Luhak Tanah Datar. Payakumbuh
termasuk Luhak Limapuluh Koto.