Akhirnya Suparman Marzuki Ketua Komisi Yudisial dan
Taufiqurahman Sauri komisioner KY ditetapkan tersangka. Keduanya dilaporkan
oleh Sarpin Rizaldi, Hakim Praperadilan Budi Gunawan. Saya tidak mau
berkomentar sikap dari penyidik yang kemudian “menempatkan” Ketua KY dan
Komisioner KY sebagai tersangka. Apakah procedural atau cuma persoalan teknis
penyidikan, biarlah itu menjadi ranah dari proses hokum.
Melihat Ketua dan Komisioner KY ditetapkan sebagai
tersangka menimbulkan persoalan di ranah etika.
Sebagai pelapor, Sarpin Rizaldi sebagai hakim
menimbulkan persoalan etika. Apakah dibenarkan seorang hakim membuat laporan
polisi dan bertindak sebagai masyarakat biasa.
Tidak ada ketentuan yang melarangnya. Merupakan hak
Sarpin Rizaldi sebagai manusia pribadi (naturalijkpersoon)
yang merasa “nama baiknya tercemar’.
Namun memegang fungsi sebagai “wakil tuhan”, posisi Hakim memang menjadi sasaran tembak dari
berbagai kalangan. Pihak yang dikalahkan tentu saja tidak terima putusan
pengadilan. Begitu juga dengan pihak yang menang sering merasakan keadilan dari
putusan pengadilan.
Sebagai wakil Tuhan, manusia yang bertugas sebagai
hakim memang “dikarunia” ilmu hokum
yang jumawa, memegang keadilan, menjaga nilai-nilai luhur. Jauh dari rasa ingin
dipuji dan siap dicerca.
Sebagai wakil Tuhan, hakim tetap teguh dengan
pendirian dan kukuh mempertahankan keadilan. Di tengah berbagai ancaman, teror,
pujian, hakim harus tetap memutuskan berdasarkan keadilan.
Sehingga dia rendah hati untuk menjawab berbagai
tudingan. Termasuk mereka yang terus mencerca pengadilan. Mencerca pengadilan
sudah ada norma yang mengatur. Konsep “penghinaan
pengadilan” merupakan pintu yang membentengi diri dari Hakim.
Rasa rendah hati inilah yang harus menjadi pegangan
hakim termasuk mendengarkan suara sumbang terhadap putusannya.
Dengan rendah hati inilah, tokoh-tokoh sekaliber
Bismar Siregar, M. Asikin atau Benyamin
Mangkudilaga begitu dihormati.
Ketiganya begitu tenang ketika berbagai putusan
dianggap “kontroversi” dan menjadi
bahan diskusi di kampus-kampus hokum.
Bismar Siregar “dianggap”
sebagai Hakim yang tidak mengerti hokum yang menggunakan ‘asas analogi” dalam
peristiwa pidana dianggap menabrak perangkat-perangkat hokum.
M. Asikin dianggap “tidak mengetahui hokum acara perdata” ketika mengabulkan dan
memutuskan melebihi dari permohonan (ultra petita) dari pemohon kasus di Papua.
Sebuah asas yang paling dihindarkan dalam putusan perdata.
Sedangkan Benyamin Mangkudilaga “dianggap” tidak mengerti tentang SIUPP yang mengabulkan keberatan
dari pembreidelan Tempo dkk.
Ketiganya kemudian “dianggap” tidak mengerti hokum, tidak menguasai hokum acara bahkan
tidak mengetahui perkembangan hokum.
Namun ketiganya tidak tersinggung. Bahkan tidak “berencana” membuat laporan atas
penghinaan nama baik atas berbagai komentar terhadap putusannya.
Pelan tapi pasti. Putusan Bismar Siregar, M. Asikin
dan Benyamin Mangkudilaga menjadi “landmark
decusion” putusan yang memberikan keadilan. Ketiganya kemudian menjadi “manusia” dikirimi dari langit untuk
mengurusi umat manusia.
Sehingga tidak salah kemudian public mengingatnya
sebagai pendekar hokum yang mumpuni.
Tentu saja kita kehilangan tokoh-tokoh sekaliber
mereka. Tugas “wakil Tuhan” sekarang
cuma memutuskan tanpa menggali keadilan di tengah masyarakat.
Dan kita sekarang menyaksikan putusan pengadilan yang
monoton. Kering tanpa makna.
Dan itu dimulai dari perilaku hakim yang “tidak” memaknai sebagai “wakil Tuhan” yang dikirimi Tuhan sebagai
manusia adiluhung menjaga nilai-nilai kebenaran dan keadilan.