13 Mei 2018

opini musri nauli : INDONESIA DARURAT TERORISME



Peristiwa di Mako Brimob dan dilanjutkan dengan peristiwa 3 lokasi berbeda di Surabaya menghentakkan dada. Daya gelegarnya tidak semata-mata terjadi di lokasi. Namun menggetarkan nurani kemanusiaan dan mengganggu nalar manusia.

12 Mei 2018

opini musri nauli : Literasi dan Simbol Makna



Akhir-akhir ini kosakata di Indonesia “disibukkan” dengan istilah seperti “khilafah”, “Thougut”, “antek-antek asing”, “kalajengking” dan sebagainya.

Pesan yang ditangkap kemudian menjadi bergeser. Sering memenggal kalimat yang diterima, memotong makna sebenarnya dan tentu saja dibumbuhi nada-nada provokasi yang justru jauh dari makna esensi yang sebenarnya.

Kemampuan untuk menyerap informasi menjadi “Cetek”, “picik”, “memutar balik logika”, bahkan terkesan tendesius.

11 Mei 2018

opini musri nauli : GAGASAN, KOMITMEN DAN KESETIAAN


Akhir-akhir ini kata-kata “komitmen” dan “kesetiaan” pada gagasan mulai menemukan formulanya. Waktu kemudian menguji “siapakah” yang setia dengan gagasan. Dan siapa yang rela menyepi untuk menjaga gagasannya.

Kisah bermula pada awal-awal reformasi ketika para penggagas berteriak “hentikan” kekerasan didalam menyelesaikan persoalan. “Tentara harus professional. Tidak boleh cawe-cawe politik praktis. “Jangan korupsi”. Perempuan harus dihargai. Kesemuanya sang penggagas kemudian malah terjebak dengan slogan yang mereka usung sendiri.

opini musri nauli : MEMBERANTAS TERORISME ZAMAN NOW


Membaca, mengamati dan menelisik “peristiwa huru-hara” MAKO Brimob dan “upaya penyelesaiannya” menarik perhatian saya.

04 Mei 2018

KISAH 3 KOLI KARUNG



“Ketua, ada 3 karung. Bisa dibawa ke Banjarmasin”.
Suara ditelephone mengabarkan.

Sebagai “amanah”, tanpa berfikir panjang segera kuiyakan kabar dari temanku. Harry dari Scale Up. Memegang amanah lebih berat. Dilan saja tidak mampu.

Kamipun bertemu di bandara dengan Staff Scale Up. Akupun kaget. Melihat tumpukan 3 koli karung. Berisikan kaos dan mug. Kamipun bernegosiasi. Berapa yang bisa dibawa dan berapa yang nanti ditinggalkan.

Kepanikan mulai melanda. Terbayang berapa biaya ekstra bagasi yang mesti kutanggung. Tapi setelah kutimbang-timbang. Menjalankan amanah melebihi harga dari ekstra bagasi.

Dengan niat baik. Alhamdulilah. Cuma dikenakan Rp 350 ribu.

Turun di Jakarta, perjalanan 3 koli karung mulai menemukan petualangannya.

Akupun mulai berfikir keras. Turun ditengah jalan dengan membawa 3 koli karung memerlukan perjalanan panjang. Biasanya aku naik Damri namun tidak mungkin lagi kulakukan. Sudah seharusnya harus mulai naik taksi. Sebuah kemewahan yang sudah lama tidka kurasakan.

Dengan naik taksi dibandara di jam sibuk tentu saja memerlukan ekstra.

Turun di Kantor Walhi, kutitipkan disana. Selain memang belum berencana segera ke Banjarmasin karena adanya agenda di Jakarta. Akhirnya barang ini sempat “ngendon” selama 4 hari di Eknas Walhi.

Mulai senin, mulai berhitung. Siapa saja yang mesti berangkat ke Banjarmasin. Dengan kalkulasi harus 4 orang yang mengangkut barang sehingga aman dari ekstra bagasi menimbulkan masalah tersendiri.

Akhirnya disepakati hari rabu dengan mengirimkan 2 koli karung dengna menitipkan 3 orang. Sengaja 1 koli akan saya bawa sendiri dengan berbagi beban.

Menaik maskapai Garuda dengan ekstra bagasi hingga mencapai 18 kg kemudian membengkak menjadi Rp. 515 ribu.

Waduh. Ini sih seperti tiket baru. Tapi sudah keburu bawa barang ke bandara dan tidak mungkin dibawa kembali. Akupun bergegas membayar.

Keesokan harinya, malah aku cuma kelebihan bagasi 8 kg. Ya. Cuma 143 ribu.

Dengan melihat perjalanan panjang 3 koli karung yang berisikan kaos dan Mug, akupun berfikir ulang.

Alangkah mahalnya perjalanan panjang 3 koli karung. Namun apabila kutimbang-timbang, perjalanan 3 koli karung justru adalah amanah yang tidak cuma sekedar dihitung dengan sejumlah ongkos ekstra bagasi.

Menyampaikan barang hingga ke tempat tujuan itulah harga tidak ternilai dari sebuah amanah. Amanah dari teman yang sudah mempercayakan perjalanannya.

Terima kasih, Brow.. Barang sudah sampai. Janji kutunaikan.




03 Mei 2018

opini musri nauli : MAKNA KEDATANGAN IMAM BESAR AL AZHAR


Disela-sela pertemuan   High Level Consultation of World Moslem Scholars on Wasatiyyah Islam di Bogor, 1-4 Mei 2018, Grand Syaikh Al Azhar, Mesir, Prof. Dr. Ahmed Al Thayyeb (sering juga disebut Mufti Al Azhar atau Imam Besar Mesjid Al Azhar) menyempatkan diri datang ke PBNU. Pertemuan yang dimaknai sebagai “pentingnya” agenda silahturahmi ke PBNU dalam rangkaian perjalanan di Indonesia.



Tentu saja, sebagai tokoh yang paling berpengaruh didunia Islam, peran Imam Besar Al Azhar[1] tidak dapat diabaikan saja. Al Azhar sebagai salah satu “kiblat” menghasilkan intelektual islam yang mampu menjelaskan persoalan Ibadah dengan jalur dan jejaknya hingga ke akarnya (nasab) hingga mampu menjelaskan Islam dengan wajah teduh. Upaya yang jauh meninggalkan Arab Saudi yang kini “terseok-seok” hendak membenahi dengan upaya modernisasi yang dilakukan Sang Putra mahkota.

KISAH SANG PENYAKSI


“Bang, Abang jadi Tim Panelis Debat Publik KPU Jambi, ya”
Demikian pembicaraan diujung telp.

Sayapun terhenyak. Saya yang merasa bukanlah apa-apa apabila dibandingkan dengan Tim Panelis yang lain. Baik karena pengalaman maupun gelar akademik membuat saya berfikir ulang.

Tema yang diangkatpun adalah Hukum dan Lingkungan Hidup. Tema yang menurut saya masih jauh disebut sebagai panelis.

“Abang selalu kritis dan paling paham” kata sang penelphon terus meyakinkan saya. Tanpa bermaksud untuk mengabaikan sarannya, saya kemudian mengikuti proses menjadi Tim panelis Debat public KPU Jambi.

Mekanismepun dijalani. Saya kemudian mengirimkan pertanyaan kepada tim untuk dibahas. Dan pertanyaan itulah yang kemudian saya sodorkan kepada Moderator pada saat hari H.

Sebelum dilaksanakan acara hari H, kamipun berkumpul. Di Rumah Makan di sipin ujung.
“Temanya sih, simulasi dengan Moderator”. Bak kata Orang melayu Jambi. “Tak kenal maka tidak sayang”. Demikian kata sang punya hajat acara.

Sayapun kemudian mengenal Sang Moderator. Anak SMP 7 Negeri Jambi. Dan Bang Amri Amir (Ketua Tim Panelis) kemudian menyambar. “Ya. Kita satu Alumni’.

Untuk mengukur “masih ada Jambi atau tidak”, Berbagai celetukan khas Jambi disampaikan. Sekalian menguji “apakah dia anak Jambi atau tidak’. Hampir istilah Jambi disambar dengan cepat sang moderator. Entah dengan Bahasa Tempoyak, sembari “kick” balik dengna khas anak Jambi. “oh. Ternyata anak Jambi tokh”. Kamipun lega. Khawatir issu ini akan disambar dan menjadi tema tersendiri. Sembari hendak bubar, kamipun berphoto sejenak. Ya. Sekedar untuk kenang-kenangan. Tidak terfikir akan menjadi kenangan yang penting.

Usai debat public Pilwako Jambi, bukan tema yang disampaikan para candidate yang bersilewaran di media massa yang paling menarik perhatian saya. Tapi sang “Host’ yang “Dianggap lebih nasional” daripada “Host Jambi’.

Sayapun “tergelitik” untuk nimbrung.

Pertama. Menempatkan tokoh nasional baik di Tim Panelis maupun host moderator adalah “Kekeliruan” mental “underminded’ yang masih kuat dikalangan masyarakat. Cara ini haruslah ditinggalkan. Selain “yang paling paham” masalah daerah, ya orang Daerah itu sendiri, juga cara ini sudah harus ditinggalkan.

KPU Jambi sudah meninggalkan tradisi ini. Dengan menempatkan “orang-orang Jambi”, KPU Jambi justru “mempercayakan” orang Jambi yang membicarakan Jambi. Cara ini lebih unggul karena karena setiap detail nafas Jambi masih dalam ingatan kolektif para tim Panelis. Data-data yang diperlukan hanya memperkuat analisis pembahasan. Tidak perlu lagi “tracking’ ataupun menduga-duga mengenai persoalan Jambi.

Selain itu, seluruh para candidate pastilah dikenal baik oleh Tim Panelis. Baik latar belakang sebelumnya, jejak politik, pandangan politik maupun berbagai ucapan di media massa. Cara ini berhasil “Mengepung” para candidate terjebak dengan jawabannya sendiri.

Saya saja sering-sering senyum simpul mendengarkan jawaban dari para candidate.
Alhamdulilah. Tim Panelis berhasil “memberikan pertanyaan” yang hingga akhir tidak mampu dijawab dengan tuntas oleh para candidate.

Kedua. KPU Jambi justru mengangkat “putri Jambi” yang sukses di tingkat nasional. Saya justru mendapatkan penjelasan dari tim KPU ketika saya bertanya siapa “host” acara tersebut.

Sebelum kedatangan Host yang dimaksudkan, Tim KPU Jambi dengan enteng menyampaikan. “Orang Jambi-lah bang”.
Nah. Makanya ketika kedatangan host ditemani teman sekolahnya di Jambi, joke-joke Bahasa Jambi sengaja dikemukakan agar menguji “Orang Jambi’. Dan akhirnya sayapun lega.

Ketiga. Sebaiknya perbanyak tabayun untuk menentukan siapakah “Host”. Jangan mentang-mentang sudah berkiprah di nasional malah langsung disebut “host” nasional dan meminggirkan host Jambi.

Bukankah masih ada akses di KPU Jambi untuk memastikan “siapa sih host” ?. Khan lebih enak ditanyakan langsung daripada publish di public.

Bukankah host yang sekolah di Jambi, masih punya kawan di Jambi, masih fasih Bahasa Jambi masih disebut anak Jambi.

Yang keliru, apabila kita justru menganggap “orang nasional” yang pantas menjadi Tim Panelis debat public dan “terkesan keren”.

Atau memuja kepala Daerah yang tidak pernah lahir, sekolah, kawin di Jambi setinggi langit.

Tapi sudahlah. Sayapun teringat kata ujaran bijaksana dari Kampung. “Raja turun singgana, pergilah betapa’.

“Mungkin adek lelah, ya”. Kata Putra terkecil kalo disuruh balas SMS. Dan lebih suka video call Whattapp. 






22 April 2018

opini musri nauli : PAN JAMBI PASKA ZUMI ZOLA



Suasana politik PAN Jambi paska Zumi Zola (Ketua PAN Jambi) setelah ditahan menimbulkan berbagai prediksi. Bagaimana nasib PAN Jambi setelah digantikan pejabat PAN Jambi oleh H. Bakri.

21 April 2018

DEBAT PUBLIK PILWAKO JAMBI




Mengikuti riuh Debat public Pilwako Jambi 2018 (Pilwako) menarik untuk diikuti. Kesempatan untuk mendengarkan gagasan, melihat cara penyampaian hingga berbagai Pernik-pernik selama acara berlangsung menjadi kesempatan untuk mengukur kualitas dari para candidate.

Terlepas dari materi yang disampaikan yang masih menyisakan tanya, gaya (sytle), karakter, tekanan nada, cara mengayun forum menarik untuk diikuti.

Sebagai “ajang” debat public Pilwako, para kandidat “menonjolkan” gaya personal yang diharapkan dapat mempengaruhi public untuk memilih. Namun “organisasi”, jam terbang, penguasaan materi membuat materi debat kandidat menjadi pelajaran demokrasi di Jambi.

Keempat kandidat (dua pasang calon) dilahirkan dari latarbelakang yang berbeda-beda. Abdullah Sani yang berlatar belakang Dosen dan menjadi penceramah, unggul didalam membangkitkan emosi dan penguasaan kata.

Tagline “satu” begitu menggema dalam closing statementnya. Ingatan saya tertuju di papan mesin penghitung waktu. Dengan durasi hampir 60 detik, “kata satu’ mampu menghipnotis dan menjadi relevan sebagai pengingat nomor satu.

Tagline “satu” begitu menyihir. Mampu membangkitkan emosi pendengar. Dengan penguasaan kata “satu’, penguasaan kata menjadi ukuran sebagai penceramah ulung.

Sementara Kemas Alfarizi (Izi) piawai “memainkan” forum dengna gaya khas anak muda. Lihatlah dengan guyonan “mengajak” tenang para kandidat Nomor 2 untuk menyampaikan gagasan agar tidak terburu-buru. Entah beberapa kali, cara ini dimainkan dan mampu membuat penonton tertawa.

Belum lagi khas anak muda yang menyerahkan mic ketika sudah menyampaikan pada pandangannya. Padahal Izi pasti mengetahui, kedua candidate sudah disiapkan microphone untuk berbicara.

Gaya “memainkan” forum adalah materi yang dikuasai didalam pelatihan organisasi. Dengan gaya “memainkan forum”, sang pemateri mampu mengendalikan forum.

Gaya kocak, mengendalikan forum, mengayunkan emosi lawan adalah tipikal khas anak muda yang mampu menyelesaikan perbedaan pandangan dengan guyon. Gaya ini akan terasa apabila interaksi dan dialog dilakukan terus menerus.

Diibaratkan pertandingan sepakbola, gaya meliuk-liuk sering dipertontonkan Lionel Messi dalam pertandingan. Dengan “meliuk-lik” memainkan bola, konsentrasi lawan menjadi buyar. Dan kendali permainan susah ditebak dan dikendalikan Messi.

Tidaklah salah cara yang dimainkan Izi melambangkan kematangan karakter Izi yang matang menjadi anggota DPRD Kota Jambi. Pesona Izi memang matang dan menjadi harapan anak muda masa depan.

Berbeda dengan paslon nomor 1. Paslon no 2 kaya data. Menyampaikan gagasan dengan sistematis dan analisis mendalam. Dengan kekayaan data, paslon nomor 2 ditambah gelar prestisius akademik, gagasannya ilmiah dan mampu membalik keadaan.

Datanya cukup detail dan cara penyampaiannya cukup sederhana mudah ditangkap oleh kalangan umum. Setiap ucapan, pemikiran, programnya menjadi terukur dan dapat diaplikasi.

Dalam pertandingan sepakbola, gaya permainan ini sering diperagakan oleh Tim besutan Morinho. Morinho cukup paham dengan karakter pemain lawan, melihat video-video pertandingan sebelumnya, mampu kulkasi menghitung sekian persen kemenangan.

Sehingga tidak salah walaupun kemenangan diraih, kadang kala Morinho justru mengkritik timnya yang dianggap tidak berkembang dan lambat meraih peluang.

Paparan kedua kandidat paslon 2 menampakkan penguasaan dan pengolahan data, cara penggunaan kalimat yang menyodok lawan, menyampaikan secara sistematis dan runut.

Closing statemen yang memuat kata tagline “dua” melambangkan gaya orator yang menguasai panggung. Tagline dua menampakkan kosakata yang bombastis.

Gaya ini adalah interaksi intelektual yang terus diasah dalam dialog-dialog.

Tentu saja kita tidak bisa memperbandingkan antara gaya permainan Lionel Messi dengan tim besutan Morinho. Memperbandingkan gaya permainan antara Spanyol dengan Italia atau Spanyol dengan Inggeris atau Spanyol dengan Jerman adalah seni tersendiri untuk menangkap karakter perbedaan gaya permainan.

Namun kesempatan menjadi penyaksi dari hajatan besar di Jambi adalah kehormatan sekaligus menjadi penilaian tersendiri bagi saya.

Salam demokrasi. 



17 April 2018

opini musri nauli : KISAH PADI DAN HANDPHONE




Lha, apa pula hubungan Padi dan handphone (HP) ?. Apakah padi akan tumbuh apabila dihubungkan dengna HP. Atau penjualan padi menggunakan HP.

Mari kita telusur kisah padi dan HP.


Dengan terburu-buru saya turun dari GRAB (angkutan aplikasi), sebuah perusahaan yang sukses “aneksasi” UBER baru-baru ini. Mengingat jam yang mulai larut, saya kemudian “bergegas” tanp ba-bi-bu.