Lha,
apa pula hubungan Padi dan handphone (HP) ?. Apakah padi akan tumbuh apabila
dihubungkan dengna HP. Atau penjualan padi menggunakan HP.
Mari
kita telusur kisah padi dan HP.
Dengan
terburu-buru saya turun dari GRAB (angkutan aplikasi), sebuah perusahaan yang
sukses “aneksasi” UBER baru-baru ini. Mengingat jam yang mulai larut, saya
kemudian “bergegas” tanp ba-bi-bu.
Setelah
menyusuri pusat perbelanjaan, saya kemudian baru sadar. Salah satu HP saya
kemudian tertinggal. Sayapun panic. Apakah tertinggal di counter ATM atau di
mobil.
Terbayang
kisah HP yang tertinggal di mobil 2 bulan yang lalu. Setelah berbincang santai semalaman
di Eknas Walhi, subuh harinya saya kemudian ke bandara.
Dipesankan
menggunakan go-car, saya kemudian menaiki mobil. Sembari hendak mengecas HP
menggunakan charge di mobil, saya turun di bandara. Saya baru sadar ketika
hendak membuka tiket yang tersimpan di email.
Panik
kemudian saya menghubungi teman di Eknas yang memesan GO-KAR. Namun karena hari
sudah subuh maka tidak ada satupun HP yang diangkat.
Sementara
saya buru-buru mau check in pesawat.
Setelah
sampai di Jambi, barulah saya mendapatkan kabar HP masih di mobil dan sudah
diselamatkan oleh driver Go-car.
Sembari
berlari turun menggunakan escalator menuju ATM di lantai bawah, saya
menghubungi nomor HP saya. Terdengar suara bijak sang pengemudi supir Grap.
Saya kemudian meminta beliau untuk mengantarkan kembali ke tempat semula. Dan
beliau bersedia untuk mengembalikan HP setelah mengantarkan penumpang yang
lain.
Dan
30 menitpun sang Driver mengantarkan. Tidak lupa senyuman mengembang ketika
bertemu dengan saya.
Kisah
HP tertinggal mengingatkan mantra sakti yang sering disampaikan oleh petani di
keheningan malam.
Ujaran
kebijaksanaan seperti “tanamlah padi. Walaupun tumbuh rumput” bermakna “berbuatlah
baik. Walaupun belum tentu mendapatkan hasil yang baik”.
Namun
“tidak mungkin menanam rumput, khan tumbuh padi”. Ujaran inipun mengandung
makna “tidak mungkin mengharapkan hasil yang baik apabila kita berbuat tidak
baik’.
Sang
petanipun tidak pernah bosan, mengeluh ataupun beralih untuk menanam yang lain
walaupun tetap tumbuh rumput.
Dengan
sabar, sang petani tetap menanam padi sembari membersihkan lahannya dari
rumput. Terus menerus. Dari satu generasi ke generasi seterusnya. Demikianlah
siklus kehidupan.
Makna
dari mantra saksi masih kutemukan di tengah Jakarta. Dimana “egoisme”, kemunafikan,
hedonism menjadi bagian dari gaya hidup kaum metropolitan. Sebuah kejujuran
menjadi barang yang langka.
Sang
Driver “bisa saja” tidak mengangkat HP saya, mematikannya. Bahkan bisa saja
tidak mengakui HP saya tertinggal di mobilnya.
Namun
niat baik saya selama ini semoga dapat saya tuaikan. Merasakan “kejujuran”
ditengah Jakarta.
Apakah
ujaran sederhana dari kampong yang masih saya ingat kemudian menemukan makna di Jakarta ?
Ah.
Entahlah. Selagi kita bisa berbuat baik, biarlah Tuhan yang mengatur untuk
kita.