11 Mei 2018

opini musri nauli : GAGASAN, KOMITMEN DAN KESETIAAN


Akhir-akhir ini kata-kata “komitmen” dan “kesetiaan” pada gagasan mulai menemukan formulanya. Waktu kemudian menguji “siapakah” yang setia dengan gagasan. Dan siapa yang rela menyepi untuk menjaga gagasannya.

Kisah bermula pada awal-awal reformasi ketika para penggagas berteriak “hentikan” kekerasan didalam menyelesaikan persoalan. “Tentara harus professional. Tidak boleh cawe-cawe politik praktis. “Jangan korupsi”. Perempuan harus dihargai. Kesemuanya sang penggagas kemudian malah terjebak dengan slogan yang mereka usung sendiri.
Satu persatu tokoh-tokoh yang lantang sebagai penggagas malah terjebak dengan kata-katanya sendiri.

Ada tokoh pejuang anti korupsi yang mendapatkan Hatta Award justru disebut-sebut dalam kasus E-KTP. Terlepas dari proses hukum yang sedang bergulir, peristiwa ini menikam ulu hati sang pemberi award.

Ada tokoh yang mengaku pejuang reformasi namun namanya disebut-sebut menerima sejumlah uang dalam kasus yang sedang diselidiki KPK.

Ada tokoh yang diculik namun kemudian bermesraan dengan orang yang disebut-sebut dalam Laporan Komnas HAM.

Ada Kepala daerah yang akan memberhentikan jajarannya ketika ada dugaan korupsi namun malah tersangkut kasus korupsi.

Mengapa itu bisa terjadi.

Pertama. Reformasi telah dibajak penumpang gelap. Yang menumpang kapal reformasi yang digagas sang mahasiswa yang tulus berjuang menumbangkan Soeharto.

Para penumpang gelap reformasi yang menyaksikan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa sembari menonton televise sembari makan popcorn.

Namun setelah Soeharto tumbang dan digantikan rezim neo-ordebaru, suara mereka lebih melengking daripada sang mahasiswa.

Merekalah para penumpang gelap yang mengisi jabatan-jabatan public penting dan mengatur hidup orang banyak. Mereka tersebar, menghimpun kekuatan dan bergandengan dengan neo-ordebaru yang telah “bertukar baju”.

Setelah dianggap kuat, dengan tanpa malu-malu kemudian malah mengkampanyekan “Enak zamanku tokh” sembari menyebutkan kegagalan reformasi yang menyebabkan kemiskinan.

Kedua. Kegamangan para pejuang reformasi yang justru “larut” dan bagian dari neo orde baru. Mereka menjadi “benteng” untuk mengamankan kekuasaan neo orde baru. Mereka terus mengelilingi kekuasaan dan justru menjadi pemain baru yang semakin jauh meninggalkan cita-cita reformasi.

Merekalah yang kemudian menghalau gerakan mahasiswa yang kritis. Mereka selalu hadir dan “mengarahkan” mahasiswa yang kritis agar cepat menyelesaikan kuliahnya.

Tanpa ragu-ragu menepuk dada agar mahasiswa mampu mengingat jasanya, mereka kemudian menjadi pecundang yang semakin jauh masuk kedalam kubangan korupsi. Mereka justru menjadi pemain baru yang semakin militant, gesit melindungi diri dan mampu survival dalam setiap kesempatan.

Cita-cita reformasipun kemudian terkubur dalam-dalam. Berlalunya waktu kemudian mereka menjadi makhluk zombie yang sulit lagi dilihat bentuknya.

Musim terus berlalu. Generasipun tumbuh.

Belum banyak menguasai dunia perpolitikan nasional, proses generasi sedang berlangsung. Generasi kelahiran 90-an sekarang sedang dipuncak-puncak kematangan berpolitik.

Masihnya dominan Ketua Umum Partai dari golongan sebelum generasi reformasi membuat kaderisasi “terseok-seok”. Bahkan macet dan terhenti.

Namun kemunculan partai anak Muda, PSI justru membuktikan generasi kelahiran 90-an telah menyalip “kakak seniornya”, generasi reformasi. Mereka mampu menjadi pemain baru.

Sebagai partai baru mereka mampu mengalahkan partai-partai yang baru mendaftarkan. Mereka kemudian menjadi “meteor” dalam ujian administrasi partai pemilu 2019.

Tanda-tanda “generasi reformasi” yang belum banyak bicara namun kemudian “disalip” adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri.

Lalu apakah generasi reformasi cuma sekedar “cowboy’ yang memberantas kejahatan namun kemudian pergi dan tidak menikmati hasil kemenangannya ?

Atau akibat generasi reformasi yang gagal mewujudkan gagasan reformasi yang telah dicanangkan ?