Akhir-akhir
ini kata-kata “komitmen” dan “kesetiaan” pada gagasan mulai menemukan
formulanya. Waktu kemudian menguji “siapakah” yang setia dengan gagasan. Dan
siapa yang rela menyepi untuk menjaga gagasannya.
Kisah
bermula pada awal-awal reformasi ketika para penggagas berteriak “hentikan”
kekerasan didalam menyelesaikan persoalan. “Tentara harus professional. Tidak
boleh cawe-cawe politik praktis. “Jangan korupsi”. Perempuan harus dihargai.
Kesemuanya sang penggagas kemudian malah terjebak dengan slogan yang mereka
usung sendiri.
Satu
persatu tokoh-tokoh yang lantang sebagai penggagas malah terjebak dengan kata-katanya
sendiri.
Ada
tokoh pejuang anti korupsi yang mendapatkan Hatta Award justru disebut-sebut
dalam kasus E-KTP. Terlepas dari proses hukum yang sedang bergulir, peristiwa
ini menikam ulu hati sang pemberi award.
Ada
tokoh yang mengaku pejuang reformasi namun namanya disebut-sebut menerima
sejumlah uang dalam kasus yang sedang diselidiki KPK.
Ada
tokoh yang diculik namun kemudian bermesraan dengan orang yang disebut-sebut
dalam Laporan Komnas HAM.
Ada
Kepala daerah yang akan memberhentikan jajarannya ketika ada dugaan korupsi
namun malah tersangkut kasus korupsi.
Mengapa
itu bisa terjadi.
Pertama.
Reformasi telah dibajak penumpang gelap. Yang menumpang kapal reformasi yang
digagas sang mahasiswa yang tulus berjuang menumbangkan Soeharto.
Para
penumpang gelap reformasi yang menyaksikan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa
sembari menonton televise sembari makan popcorn.
Namun
setelah Soeharto tumbang dan digantikan rezim neo-ordebaru, suara mereka lebih
melengking daripada sang mahasiswa.
Merekalah
para penumpang gelap yang mengisi jabatan-jabatan public penting dan mengatur
hidup orang banyak. Mereka tersebar, menghimpun kekuatan dan bergandengan
dengan neo-ordebaru yang telah “bertukar baju”.
Setelah
dianggap kuat, dengan tanpa malu-malu kemudian malah mengkampanyekan “Enak
zamanku tokh” sembari menyebutkan kegagalan reformasi yang menyebabkan
kemiskinan.
Kedua.
Kegamangan para pejuang reformasi yang justru “larut” dan bagian dari neo orde
baru. Mereka menjadi “benteng” untuk mengamankan kekuasaan neo orde baru.
Mereka terus mengelilingi kekuasaan dan justru menjadi pemain baru yang semakin
jauh meninggalkan cita-cita reformasi.
Merekalah
yang kemudian menghalau gerakan mahasiswa yang kritis. Mereka selalu hadir dan “mengarahkan”
mahasiswa yang kritis agar cepat menyelesaikan kuliahnya.
Tanpa
ragu-ragu menepuk dada agar mahasiswa mampu mengingat jasanya, mereka kemudian
menjadi pecundang yang semakin jauh masuk kedalam kubangan korupsi. Mereka
justru menjadi pemain baru yang semakin militant, gesit melindungi diri dan
mampu survival dalam setiap kesempatan.
Cita-cita
reformasipun kemudian terkubur dalam-dalam. Berlalunya waktu kemudian mereka
menjadi makhluk zombie yang sulit lagi dilihat bentuknya.
Musim
terus berlalu. Generasipun tumbuh.
Belum
banyak menguasai dunia perpolitikan nasional, proses generasi sedang
berlangsung. Generasi kelahiran 90-an sekarang sedang dipuncak-puncak
kematangan berpolitik.
Masihnya
dominan Ketua Umum Partai dari golongan sebelum generasi reformasi membuat
kaderisasi “terseok-seok”. Bahkan macet dan terhenti.
Namun
kemunculan partai anak Muda, PSI justru membuktikan generasi kelahiran 90-an
telah menyalip “kakak seniornya”, generasi reformasi. Mereka mampu menjadi
pemain baru.
Sebagai
partai baru mereka mampu mengalahkan partai-partai yang baru mendaftarkan.
Mereka kemudian menjadi “meteor” dalam ujian administrasi partai pemilu 2019.
Tanda-tanda
“generasi reformasi” yang belum banyak bicara namun kemudian “disalip” adalah
sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri.
Lalu
apakah generasi reformasi cuma sekedar “cowboy’ yang memberantas kejahatan
namun kemudian pergi dan tidak menikmati hasil kemenangannya ?
Atau
akibat generasi reformasi yang gagal mewujudkan gagasan reformasi yang telah
dicanangkan ?