Akhir-akhir
ini kosakata di Indonesia “disibukkan” dengan istilah seperti “khilafah”, “Thougut”,
“antek-antek asing”, “kalajengking” dan sebagainya.
Pesan
yang ditangkap kemudian menjadi bergeser. Sering memenggal kalimat yang
diterima, memotong makna sebenarnya dan tentu saja dibumbuhi nada-nada
provokasi yang justru jauh dari makna esensi yang sebenarnya.
Kemampuan
untuk menyerap informasi menjadi “Cetek”, “picik”, “memutar balik logika”,
bahkan terkesan tendesius.
Dan
yang paling menyedihkan adalah “miskin” makna. Jauh dari maksud dari sang
pewarta.
Padahal
untuk memahami sebuah pesan, kemampuan membaca dengan detail, juga harus
dilakukan untuk menangkap symbol-simbol dari sang pemberi pesan. Selain
literasi untuk menangkap pesan dari pewarta juga diperlukan “kejernihan”
menangkap symbol dari makna.
Yang
paling mutakhir tentu saja pembahasan “Kalajengking”. Pesan panjang yang
disampaikan oleh Jokowi tentang pentingnya waktu, menghargai waktu kemudian
menjadi bergeser “peternakan kalajengking”. Sebuah literasi yang dangkal dan
jauh dari menangkap pesan makna dari ujaran yang disampaikan oleh Jokowi.
Dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi disebutkan sebagai “kemampuan menulis dan membaca. Atau “pengetahuan atau keterampilan dalam bidang
atau aktivitas tertentu: -- computer. Atau kemampuan
individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup
Sedangkan
symbol diartikan sebagai “lambang’. Saya memberikan sebagai “perumpamaan” yang
melambangkan pikiran dari sang pembawa pesan untuk menerangkan atau menjelaskan
pikirannya dengan “kosakata” yang lain sebagai “penegas” dari sang penafsir
pesan.
Tradisi
tutur Melayu Jambi selalu kaya dengan literasi dan symbol-simbol dari makna
sebuah peristiwa. Makna yang harus dipahami dalam menyampaikan pesan sehingga
dapat dketahui dari sang penafsir.
Untuk
menghormati “Harimau” sebagai Raja yang menguasai hutan atau buaya yang
menguasai sungai atau payo, lebih sering disebut “nenek” atau “datuk”. “Inyiak”
yang sering disebutkan di Minangkabau.
Apakah
dengan penyebutan “nenek” atau “datuk” sebagai padananan orang tua yang
dihormati kemudian menempatkan “Harimau” atau buaya sebagai panggilan terhadap “orang
tua dari orang tua kita”.
Panggilan
“datuk” tidak hanya sekedar panggilan dari Ayahnya ayah kita. Tapi bentuk penghormatan
terhadap jabatan yang dipegang oleh Kepala Desa. Tidak hanya panggilan “orang
tua” semata-mata.
Tidak.
Panggilan “nenek” atau “datuk” adalah symbol dari yang dihormati. Sebagaimana
panggilan “Datuk” terhadap Kepala Desa. Walaupun diapun masih muda.
Panggilan
untuk “menabukan” sebagai pengganti padanan panggilan adalah perwujudan
terhadap makhluk yang dihormati. Sebagai bagian dari alam yang tidak boleh
saling mengganggu.
Atau
penyebutan nama-nama tempat-tempat sakral yang diistilahkan seperti “Teluk
sakti, Rantau betuah, gunung bedewo”, hutan keramat”, hutan puyang, Rimbo
sunyi, Hutan hantu pirau sebagai padanan untuk penyebutan yang tabu diucapkan.
Daerah
inilah yang kemudian dikenal sebagai hutan lindung atau hutan konservasi yang
dilindungi masyarakat.
Makna
lain seperti perumpamaan pemimpin sebagai “pohon beringin” yang ditandai dengan
seloko “Pohon rindang ditepi dusun. Akarnya gedang tempat duduk besilo” adalah
penempatan terhadap literasi masyarakat tentang pemimpin dana lam sekitarnya.
Lihatlah perumpamaan seperti “Kampung betuah, dusun berpenghulu, Rajo bebatin” atau
“Alam sekato Rajo. Negeri Sekato batin” adalah penempatan sebagai bagian dari
rasa penempatan Pemimpin yang diletakkan dalam struktrur social.
Setiap
peristiwa alam adalah tanda. Misteri yang mampu diungkapkan dengan makna-makna
simbolik yang dapat ditangkap panca indera.
Literasi
yang miskin, symbol makna yang ditangkap menyebabkan pemahaman dari peristiwa
yang disampaikan kemudian terjebak didalam “kata harfiah’. Simbol-simbol
sebagai kekayaan Bahasa Nusantara kemudian menyebabkan pesan menjadi bergeser.
Menjadi makna “harfiah’. Menangkap pesan dari kata. Bukan symbol. Apalagi
literasi. Atau wong Londo menyebutkan “kata secara letterlijk”.
Gejala-gejala
inilah yang kemudian menyebabkan setiap peristiwa yang disampaikan menjadi polemik,
jauh dari pesan sang penutur, dipelintir dan kemudian public menangkapnya
kemudian menjadi berbeda.
Apakah
kekurangan literasi menyebabkan bangsa ini kemudian masuk kedalam abad
kegelapan ?