12 Mei 2018

opini musri nauli : Literasi dan Simbol Makna



Akhir-akhir ini kosakata di Indonesia “disibukkan” dengan istilah seperti “khilafah”, “Thougut”, “antek-antek asing”, “kalajengking” dan sebagainya.

Pesan yang ditangkap kemudian menjadi bergeser. Sering memenggal kalimat yang diterima, memotong makna sebenarnya dan tentu saja dibumbuhi nada-nada provokasi yang justru jauh dari makna esensi yang sebenarnya.

Kemampuan untuk menyerap informasi menjadi “Cetek”, “picik”, “memutar balik logika”, bahkan terkesan tendesius.

Dan yang paling menyedihkan adalah “miskin” makna. Jauh dari maksud dari sang pewarta.

Padahal untuk memahami sebuah pesan, kemampuan membaca dengan detail, juga harus dilakukan untuk menangkap symbol-simbol dari sang pemberi pesan. Selain literasi untuk menangkap pesan dari pewarta juga diperlukan “kejernihan” menangkap symbol dari makna.

Yang paling mutakhir tentu saja pembahasan “Kalajengking”. Pesan panjang yang disampaikan oleh Jokowi tentang pentingnya waktu, menghargai waktu kemudian menjadi bergeser “peternakan kalajengking”. Sebuah literasi yang dangkal dan jauh dari menangkap pesan makna dari ujaran yang disampaikan oleh Jokowi.

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi disebutkan sebagai “kemampuan menulis dan membaca. Atau “pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu: -- computer. Atau   kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup

Sedangkan symbol diartikan sebagai “lambang’. Saya memberikan sebagai “perumpamaan” yang melambangkan pikiran dari sang pembawa pesan untuk menerangkan atau menjelaskan pikirannya dengan “kosakata” yang lain sebagai “penegas” dari sang penafsir pesan.

Tradisi tutur Melayu Jambi selalu kaya dengan literasi dan symbol-simbol dari makna sebuah peristiwa. Makna yang harus dipahami dalam menyampaikan pesan sehingga dapat dketahui dari sang penafsir.

Untuk menghormati “Harimau” sebagai Raja yang menguasai hutan atau buaya yang menguasai sungai atau payo, lebih sering disebut “nenek” atau “datuk”. “Inyiak” yang sering disebutkan di Minangkabau.

Apakah dengan penyebutan “nenek” atau “datuk” sebagai padananan orang tua yang dihormati kemudian menempatkan “Harimau” atau buaya sebagai panggilan terhadap “orang tua dari orang tua kita”.
Panggilan “datuk” tidak hanya sekedar panggilan dari Ayahnya ayah kita. Tapi bentuk penghormatan terhadap jabatan yang dipegang oleh Kepala Desa. Tidak hanya panggilan “orang tua” semata-mata.

Tidak. Panggilan “nenek” atau “datuk” adalah symbol dari yang dihormati. Sebagaimana panggilan “Datuk” terhadap Kepala Desa. Walaupun diapun masih muda.

Panggilan untuk “menabukan” sebagai pengganti padanan panggilan adalah perwujudan terhadap makhluk yang dihormati. Sebagai bagian dari alam yang tidak boleh saling mengganggu.

Atau penyebutan nama-nama tempat-tempat sakral yang diistilahkan seperti “Teluk sakti, Rantau betuah, gunung bedewo”, hutan keramat”, hutan puyang, Rimbo sunyi, Hutan hantu pirau sebagai padanan untuk penyebutan yang tabu diucapkan.

Daerah inilah yang kemudian dikenal sebagai hutan lindung atau hutan konservasi yang dilindungi masyarakat.

Makna lain seperti perumpamaan pemimpin sebagai “pohon beringin” yang ditandai dengan seloko “Pohon rindang ditepi dusun. Akarnya gedang tempat duduk besilo” adalah penempatan terhadap literasi masyarakat tentang pemimpin dana lam sekitarnya. Lihatlah perumpamaan seperti “Kampung betuah, dusun berpenghulu, Rajo bebatin” atau “Alam sekato Rajo. Negeri Sekato batin” adalah penempatan sebagai bagian dari rasa penempatan Pemimpin yang diletakkan dalam struktrur social.

Setiap peristiwa alam adalah tanda. Misteri yang mampu diungkapkan dengan makna-makna simbolik yang dapat ditangkap panca indera.  

Literasi yang miskin, symbol makna yang ditangkap menyebabkan pemahaman dari peristiwa yang disampaikan kemudian terjebak didalam “kata harfiah’. Simbol-simbol sebagai kekayaan Bahasa Nusantara kemudian menyebabkan pesan menjadi bergeser. Menjadi makna “harfiah’. Menangkap pesan dari kata. Bukan symbol. Apalagi literasi. Atau wong Londo menyebutkan “kata secara letterlijk”.

Gejala-gejala inilah yang kemudian menyebabkan setiap peristiwa yang disampaikan menjadi polemik, jauh dari pesan sang penutur, dipelintir dan kemudian public menangkapnya kemudian menjadi berbeda.

Apakah kekurangan literasi menyebabkan bangsa ini kemudian masuk kedalam abad kegelapan ?