Peristiwa
di Mako Brimob dan dilanjutkan dengan peristiwa 3 lokasi berbeda di Surabaya
menghentakkan dada. Daya gelegarnya tidak semata-mata terjadi di lokasi. Namun
menggetarkan nurani kemanusiaan dan mengganggu nalar manusia.
Bayangkan.
Tempat ibadah yang harusnya jauh dari hiruk pikuk urusan dunia dan tempat
manusia bertemu dengan Sang Pencipta dinodai dengan aksi-aksi keji. Sungguh
biadab perbuatan yang dilakukan.
Sebiadab
manusia keji yang salah satu pelakunya perempuan dan membawa balita (Keterangan
resmi Presiden). Manusia mana yang rela balitanya diikutkan menjadi korban.
Sekejam-kejamnya Harimau sendiri tidak mau memakan dan mengorbankan anaknya
sendiri. Sungguh-sungguh biadab.
Menghadapi
manusia seperti ini tidak cukup dengan cara-cara biasa. Cara humanism yang
sering menjadi keagungan bangsa Indonesia tidak menemukan relevansinya lagi.
Pikiran kotor dan hendak menghancurkan bangsa Indonesia sudah tidak tepat lagi
diterapkan dengan cara-cara konvensional. Cara biasa sebagaimana UU yang
mengatur Indonesia. Diperlukan cara-cara yang ekstra kerja keras dan berpacunya
waktu.
Cara
ini dimulai untuk menangkal upaya provokasi yang “mengkafir-kafirkan” yang
sering digaungkan. Baik dengan model-model keorganisasian seperti HTI yang
kemudian dinyatakan dilarang maupun dengan pertemuan-pertemuan rahasia,
tertutup dan jauh dari pandangan masyarkat.
Tokoh-tokoh
agama kemudian “digunakan” sebagai “kedok” untuk menyebarkan paham yang biasa
dikenal sebagai paham “Manhaj Takfiri’.
Tokoh-tokoh
agama kemudian mengisi panggung, menggunakan masjid dalam berbagai ceramah
keagamaan dan mulai menguasai panggung-panggung nasional.
Lihatlah
bagaimana posting di berbagai medsos, mengisi acara-acara TV dan kemudian
mengeshare ke berbagai forum.
Lihatlah
bagaimana mereka menghantam KH. Said Aqil Siraj sebagai Ketua Umum PBNU,
memusuhi Quraish Shihab, menghina Gusdur dan melecehkan Gus Mus. Belum lagi
cara mereka membully Ahmad Safe’i Maarif. Tokoh-tokoh nasional yang menjadi
benteng penangkal terhadap pemikiran Manhaj Takfiri.
Mereka
hendak memisahkan pemimpin-pemimpin umat dengan organisasi islam yang menjadi
garda terdepan untuk menghadang pemikiran Manhaf Takfiri. Cara ini kemudian
menyentak public. Memisahkan dan meminggirkan pemimpin ormas keagamaan dengan
organisasi adalah cara-cara untuk menghajar organisasi sehingga menjadi rantai
yang terputus.
Untunglah
pondasi NU cukup kuat. NU mampu menghalau dan menjadi garda terdepan. NU
kemudian melakukan konsolidasi. Perjuangan NU dibantu dengan berbagai komponen
lainnya kemudian berhasil mendorong negara kemudian menetapkan HTI sebagai
organisasi terlarang. Organisasi yang kemudian sejajar dengan PKI.
Tema
“Rahmatin lil alamin”, Islam membawa perdamaian dan cinta kasih terhadap
seluruh umat manusia (rahmatin lil alamin) sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia. Tema ini kemudian mengembalikan kesadaran umat Islam agar kembali ke
jatidiri bangsa Indonesia yang mengajarkan toleransi umat beragama. NU kembali
menjadi benteng yang kokoh mempertahankan Indonesia.
Gagal
mereka menghancurkan NU, mereka kemudian berpaling dengan “menjadikan” sasaran
pihak keamanan sebagai sasaran antara. Berbagai peristiwa dimulai dari Pos
Polantas, Kantor Polsek, Kantor Polres dan Mako Brimob adalah rangkaian yang
tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Kepolisian
sebagai “sasaran antara” kemudian diserang dan menjadi bulan-bulanan untuk “dijauhkan”
dari masyarakat. Kepolisian hendak dipisahkan dan menjadi target tersendiri.
Publik kemudian diharapkan kemudian “memusuhi” sehingga Kepolisian menjadi “musuh
bersama”. Peristiwa di Mako Brimob adalah “Test case” sebelum rangkaian dan “Skenario
besar” dilanjutkan
Strategi
dan cara ini kemudian dikenal sebagai “Crime againt state”. Strategi yang
sukses dimainkan di Suriah dan kemudian membuat perang saudara yang
berkepanjangan.
Namun
kepolisian “Jeli” dan “jitu’. Emosi “terbunuh secara sadis” anggota kepolisian
tidak menghilangkan “sikap tenang” dan sabar meladeni permainan yang
ditawarkan. Dengan “tegas, efektif dan terukur”, kepolisian mampu menyelesaikan
dengan baik. Lagi-lagi sang pembuat terror gagal memainkan bidak catur yang
dimainkan.
Berbagai
“sinisme” dari kalangan yang mendukung terorisme baik dengan issu “rekayasa-lah”,
“pengalihan isu-lah”, tidak mempan dimakan public. Publik kemudian “berdiri”
dan berhadapan menghalau dari sang pendukung terorisme.
Namun
lagi-lagi peristiwa terjadi. Semula sasaran “crime againt state” kemudian
bergeser menjadi “crime againt humanity”. Sasarannya kemudian adalah masyarakat yang tidak
berdosa, semuanya dilakukan dengan delik kekerasan (kekerasan sebagai tujuan),
kekerasan (violence) dan ancaman kekerasan (threat of violence).
3
peristiwa di Surabaya kembali membuka mata. Sasaran terorisme tidak hanya pihak
keamanan. Simbol-simbol negara ataupun yang berkaitan dengan kepentingan public.
3
Peristiwa di Surabaya kembali membuka ingatan lama. Baik bom bali yang kemudian
melahirkan Perpu No. 1 Tahun 2002 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 15
Tahun 2003 maupun UU No. 9 Tahun 2013 Tentang Pendanaan Terorisme.
UU
No. 15 Tahun 2003 maupun UU No. 9 Tahun 2013 Tentang Pendanaan Terorisme
kemudian mengatur terhadap para pelaku yang kemudian terlibat didalam terorisme
(deelneming).
Lihatlah
pasal-pasal UU No. 15 Tahun 2003 yang hanya memuat tentang “perbuatan
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menimbulkan terror,
menimbulkan korban.. (Pasal 6), atau “menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror” (pasal 7).
Begitu
juga UU No. 9 Tahun 2013 hanya memuat tentang pendanaan terorisme. Lihatlah
pasal 4 yang mengatur tentang “menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau
meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan
seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi
teroris, atau teroris”, Pasal 5 “permufakatan jahat,
percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana pendanaan terorisme”,
Pasal 6 “merencanakan, mengorganisasikan, atau menggerakkan orang lain untuk
melakukan tindak pidana.
Melihat UU No. 15 tahun 2003 dan UU No. 9 Tahun
2013 maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme adalah “orang
yang telah melakukan “kejahatan terorisme”. Belum mengatur tentang “rangkaian
percobaan”, mereka yang mendukung, provokasi yang menyesatkan tentang
terorisme, pertemuan-pertemuan sebagai bibit radikal tumbuhnya terorisme.
Desakan terhadap revisi UU Terorisme sudah lama
digaungkan public. Draft Revisi RUU Terorisme sudah lama diajukan ke parlemen.
Namun “parlemen” sepertinya enggan dan tidak berminat untuk melakukan revisi UU
Terorisme.
Sehingga
tidak salah kemudian desakan disampaikan kepada Presiden untuk mengajukan
Perppu Terorisme (Peraturan Pemerintah pengganti UU) sebagai bagian dari
komitmen negara untuk “menangkal” terorisme.
Didalam
Perppu memuat tentang “provokasi” terhadap dukungan kepada terorisme,
organisasi yang tumbuh mendukung terorisme, media massa yang memberikan ruang
provokasi, partai politik yang ditengarai memberikan dukungan kepada terorisme
baik pendanaan maupun dukungan kader yang kemudian terbukti sebagai pelaku
terorisme.
Selain
itu juga, berbagai pihak yang mendukung peristiwa terorisme, memutarbalikkan
peristiwa terorisme, tokoh-tokoh nasional yang menyampaikan dukungan kepada
peristiwa terorisme, partai-partai politik yang mendukung terorisme maupun
berbagai pihak yang nyata-nyata mendukung terorisme.
Melihat
“kegentingan memaksa” sebagai salah satu persyaratan subyektif dari Presiden
maka Perppu adalah kebutuhan mendesak.
Ditengah
masyarakat, maka peran public diperlukan untuk menangkal tumbuh suburnya
radikalisme terorisme.
Cara
netizen yang mempersoalkan tokoh agama yang menyebarkan kebencian atau
memutarbalikkan peristiwa terorisme adalah bentuk perlawanan masyarakat. Cara
netizen ternyata efektif sehingga tokoh agama kemudian tidak dibenarkan lagi
ceramah di televisi.
Selain
itu maka berbagai pertemuan yang berkedok agama haruslah diwaspadai. Agama
dijadikan kedok untuk memprovokasi. Instansi negara harus mampu menangkap dan
membersihkan anasir agenda agama jauh dari politik praktis.
Belum
lagi pertemuan-pertemuan tertutup, kampus-kampus yang dimasuki pemikiran Manhaj
Takfiri haruslah dibersihkan. Cara ini adalah bentuk untuk menangkal dari
pemikiran tumbuhnya bibit radikal terorisme.
Kita
harus bergandengan tangan menghadapi terorisme. Sekali kita memberikan ruang public
agar tumbuh suburnya terorisme maka kita telah menghapus satu generasi
peradaban. Harga yang tidak seimbang untuk kita bermain-main wacana tentang
terorisme.