13 Mei 2018

opini musri nauli : INDONESIA DARURAT TERORISME



Peristiwa di Mako Brimob dan dilanjutkan dengan peristiwa 3 lokasi berbeda di Surabaya menghentakkan dada. Daya gelegarnya tidak semata-mata terjadi di lokasi. Namun menggetarkan nurani kemanusiaan dan mengganggu nalar manusia.

Bayangkan. Tempat ibadah yang harusnya jauh dari hiruk pikuk urusan dunia dan tempat manusia bertemu dengan Sang Pencipta dinodai dengan aksi-aksi keji. Sungguh biadab perbuatan yang dilakukan.

Sebiadab manusia keji yang salah satu pelakunya perempuan dan membawa balita (Keterangan resmi Presiden). Manusia mana yang rela balitanya diikutkan menjadi korban. Sekejam-kejamnya Harimau sendiri tidak mau memakan dan mengorbankan anaknya sendiri. Sungguh-sungguh biadab.

Menghadapi manusia seperti ini tidak cukup dengan cara-cara biasa. Cara humanism yang sering menjadi keagungan bangsa Indonesia tidak menemukan relevansinya lagi. Pikiran kotor dan hendak menghancurkan bangsa Indonesia sudah tidak tepat lagi diterapkan dengan cara-cara konvensional. Cara biasa sebagaimana UU yang mengatur Indonesia. Diperlukan cara-cara yang ekstra kerja keras dan berpacunya waktu.

Cara ini dimulai untuk menangkal upaya provokasi yang “mengkafir-kafirkan” yang sering digaungkan. Baik dengan model-model keorganisasian seperti HTI yang kemudian dinyatakan dilarang maupun dengan pertemuan-pertemuan rahasia, tertutup dan jauh dari pandangan masyarkat.

Tokoh-tokoh agama kemudian “digunakan” sebagai “kedok” untuk menyebarkan paham yang biasa dikenal sebagai paham “Manhaj Takfiri’.

Tokoh-tokoh agama kemudian mengisi panggung, menggunakan masjid dalam berbagai ceramah keagamaan dan mulai menguasai panggung-panggung nasional.

Lihatlah bagaimana posting di berbagai medsos, mengisi acara-acara TV dan kemudian mengeshare ke berbagai forum.

Lihatlah bagaimana mereka menghantam KH. Said Aqil Siraj sebagai Ketua Umum PBNU, memusuhi Quraish Shihab, menghina Gusdur dan melecehkan Gus Mus. Belum lagi cara mereka membully Ahmad Safe’i Maarif. Tokoh-tokoh nasional yang menjadi benteng penangkal terhadap pemikiran Manhaj Takfiri.

Mereka hendak memisahkan pemimpin-pemimpin umat dengan organisasi islam yang menjadi garda terdepan untuk menghadang pemikiran Manhaf Takfiri. Cara ini kemudian menyentak public. Memisahkan dan meminggirkan pemimpin ormas keagamaan dengan organisasi adalah cara-cara untuk menghajar organisasi sehingga menjadi rantai yang terputus.

Untunglah pondasi NU cukup kuat. NU mampu menghalau dan menjadi garda terdepan. NU kemudian melakukan konsolidasi. Perjuangan NU dibantu dengan berbagai komponen lainnya kemudian berhasil mendorong negara kemudian menetapkan HTI sebagai organisasi terlarang. Organisasi yang kemudian sejajar dengan PKI.  

Tema “Rahmatin lil alamin”, Islam membawa perdamaian dan cinta kasih terhadap seluruh umat manusia (rahmatin lil alamin) sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Tema ini kemudian mengembalikan kesadaran umat Islam agar kembali ke jatidiri bangsa Indonesia yang mengajarkan toleransi umat beragama. NU kembali menjadi benteng yang kokoh mempertahankan Indonesia.

Gagal mereka menghancurkan NU, mereka kemudian berpaling dengan “menjadikan” sasaran pihak keamanan sebagai sasaran antara. Berbagai peristiwa dimulai dari Pos Polantas, Kantor Polsek, Kantor Polres dan Mako Brimob adalah rangkaian yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.

Kepolisian sebagai “sasaran antara” kemudian diserang dan menjadi bulan-bulanan untuk “dijauhkan” dari masyarakat. Kepolisian hendak dipisahkan dan menjadi target tersendiri. Publik kemudian diharapkan kemudian “memusuhi” sehingga Kepolisian menjadi “musuh bersama”. Peristiwa di Mako Brimob adalah “Test case” sebelum rangkaian dan “Skenario besar” dilanjutkan

Strategi dan cara ini kemudian dikenal sebagai “Crime againt state”. Strategi yang sukses dimainkan di Suriah dan kemudian membuat perang saudara yang berkepanjangan.

Namun kepolisian “Jeli” dan “jitu’. Emosi “terbunuh secara sadis” anggota kepolisian tidak menghilangkan “sikap tenang” dan sabar meladeni permainan yang ditawarkan. Dengan “tegas, efektif dan terukur”, kepolisian mampu menyelesaikan dengan baik. Lagi-lagi sang pembuat terror gagal memainkan bidak catur yang dimainkan.

Berbagai “sinisme” dari kalangan yang mendukung terorisme baik dengan issu “rekayasa-lah”, “pengalihan isu-lah”, tidak mempan dimakan public. Publik kemudian “berdiri” dan berhadapan menghalau dari sang pendukung terorisme.

Namun lagi-lagi peristiwa terjadi. Semula sasaran “crime againt state” kemudian bergeser menjadi “crime againt humanity”. Sasarannya kemudian adalah masyarakat yang tidak berdosa, semuanya dilakukan dengan delik kekerasan (kekerasan sebagai tujuan), kekerasan (violence) dan ancaman kekerasan (threat of violence).

3 peristiwa di Surabaya kembali membuka mata. Sasaran terorisme tidak hanya pihak keamanan. Simbol-simbol negara ataupun yang berkaitan dengan kepentingan public.

3 Peristiwa di Surabaya kembali membuka ingatan lama. Baik bom bali yang kemudian melahirkan Perpu No. 1 Tahun 2002 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 maupun UU No. 9 Tahun 2013 Tentang Pendanaan Terorisme.

UU No. 15 Tahun 2003 maupun UU No. 9 Tahun 2013 Tentang Pendanaan Terorisme kemudian mengatur terhadap para pelaku yang kemudian terlibat didalam terorisme (deelneming).

Lihatlah pasal-pasal UU No. 15 Tahun 2003 yang hanya memuat tentang “perbuatan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menimbulkan terror, menimbulkan korban..  (Pasal 6), atau “menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror” (pasal 7).

Begitu juga UU No. 9 Tahun 2013 hanya memuat tentang pendanaan terorisme. Lihatlah pasal 4 yang mengatur tentang “menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau teroris”, Pasal 5 permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana pendanaan terorisme”, Pasal 6 “merencanakan, mengorganisasikan, atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana.

Melihat UU No. 15 tahun 2003 dan UU No. 9 Tahun 2013 maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme adalah “orang yang telah melakukan “kejahatan terorisme”. Belum mengatur tentang “rangkaian percobaan”, mereka yang mendukung, provokasi yang menyesatkan tentang terorisme, pertemuan-pertemuan sebagai bibit radikal tumbuhnya terorisme.

Desakan terhadap revisi UU Terorisme sudah lama digaungkan public. Draft Revisi RUU Terorisme sudah lama diajukan ke parlemen. Namun “parlemen” sepertinya enggan dan tidak berminat untuk melakukan revisi UU Terorisme.

Sehingga tidak salah kemudian desakan disampaikan kepada Presiden untuk mengajukan Perppu Terorisme (Peraturan Pemerintah pengganti UU) sebagai bagian dari komitmen negara untuk “menangkal” terorisme.

Didalam Perppu memuat tentang “provokasi” terhadap dukungan kepada terorisme, organisasi yang tumbuh mendukung terorisme, media massa yang memberikan ruang provokasi, partai politik yang ditengarai memberikan dukungan kepada terorisme baik pendanaan maupun dukungan kader yang kemudian terbukti sebagai pelaku terorisme.

Selain itu juga, berbagai pihak yang mendukung peristiwa terorisme, memutarbalikkan peristiwa terorisme, tokoh-tokoh nasional yang menyampaikan dukungan kepada peristiwa terorisme, partai-partai politik yang mendukung terorisme maupun berbagai pihak yang nyata-nyata mendukung terorisme.

Melihat “kegentingan memaksa” sebagai salah satu persyaratan subyektif dari Presiden maka Perppu adalah kebutuhan mendesak.


Ditengah masyarakat, maka peran public diperlukan untuk menangkal tumbuh suburnya radikalisme terorisme.

Cara netizen yang mempersoalkan tokoh agama yang menyebarkan kebencian atau memutarbalikkan peristiwa terorisme adalah bentuk perlawanan masyarakat. Cara netizen ternyata efektif sehingga tokoh agama kemudian tidak dibenarkan lagi ceramah di televisi.

Selain itu maka berbagai pertemuan yang berkedok agama haruslah diwaspadai. Agama dijadikan kedok untuk memprovokasi. Instansi negara harus mampu menangkap dan membersihkan anasir agenda agama jauh dari politik praktis.

Belum lagi pertemuan-pertemuan tertutup, kampus-kampus yang dimasuki pemikiran Manhaj Takfiri haruslah dibersihkan. Cara ini adalah bentuk untuk menangkal dari pemikiran tumbuhnya bibit radikal terorisme.

Kita harus bergandengan tangan menghadapi terorisme. Sekali kita memberikan ruang public agar tumbuh suburnya terorisme maka kita telah menghapus satu generasi peradaban. Harga yang tidak seimbang untuk kita bermain-main wacana tentang terorisme.