08 Oktober 2019

opini musri nauli : Hukum Tanah Melayu Jambi





Akhir-akhir ini, ada kecendrungan “membenturkan” Hukum Agraria Nasional yang diatur didalam UU No. 5 Tahun 1960  (UUPA) dengan Hukum Tanah Adat. Kecendrungan ini dapat dilihat baik didalam paradigm penegak hukum maupun dalam penegakkan hukum .

Kecendrungan dapat dilihat seperti ungkapan, “pembuktian” tertulis (segel, sporadik, Sertifikat Hak Milik, surat keterangan Tanah), asas domein verklaring dan Hak milik negara.

04 Oktober 2019

opini musri nauli : Manusia Indonesia




Ketika aksi yang kemudian berakhir dengna kerusuhan di Wamen, Papua, langsung saya panic. Terbayang nasib saudara-saudaraku. Terutama saudara Keluarga istri. Pedagang yang sudah lama tinggal disana.

Suasana panik semakin terasa. Informasi dari sana sangat sedikit. Sementara teman-teman nasional masih sibuk bahas RUU-KPK dan capim KPK. Isu yang “berputar-putar’ cuma itu.

02 Oktober 2019

opini musri nauli : Si Adik Membunuh Kakaknya




Judul diatas adalah perumpamaan atau gambaran terhadap “kekuatan” dari citizen journalist”. Kekuatan maya yang kemudian mulai “menyerang” kekuatan nyata. Senyata kenyataan yang mulai menghinggapinya.

01 Oktober 2019

opini musri nauli : Sesat Pikir




Sejenak publik disuguhi berbagai peristiwa seminggu terakhir ini. Entah aksi mahasiswa, kisah heroik STM, poster-poster kaum milenial yang justru “melambangkan” kemerdekaan pribadi terhadap tubuhnya. Namun semakin hari-hari berbagai komentar mulai bermunculan. Baik yang mendukung maupun yang menolak aksi-aksi.

Pertama. Issu “RUU KPK-RUU KUHP-RUU Pertanahan” adalah issu yang sensitif yang menyentuh rakyat banyak. Issu yang mampu menarik dukungan paling besar sejak ’98. Issu yang mampu merekat berbagai komponen.

29 September 2019

opini musri nauli : Manusia dan hewan

\


Entah “kurang membaca”, kurang gaul”, “kurang jauh jalan”, meme tentang ternak menghiasi dinding lapak FB saya. Saya menyimak, memperhatikan bahkan kadangkala harus berselancar untuk menangkap pesannya. Agar tidak keliru,  apakah cuma  sekedar “menghebohkan” jagat dunia maya. Atau memang benar-benar “kurang memahami” esensi dari pengaturan tentang hewan.

28 September 2019

Peluncuran Handbook Paralegal


Minggu yg berat.. setelah 2 Minggu turun dilapangan, akhirnya otak dipakai menyelesaikan berbagai laporan..

27 September 2019

opini musri nauli : Pemerkosaan dalam Perkawinan (Marital Rape)



Banyak yang mempersoalkan “pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape)” yang didalam RUU KUHP. Paradigma ini kemudian “melahirkan” meme. Termasuk berbagai poster “Surat pernyataan” yang “seolah-olah” mempertanyakan logika norma yang menjadi muatan didalam RUU KUHP.

Secara sekilas, kekerasan bahkan pemerkosaan didalam perkawinan (marital rape) menjadi aneh dalam alam masyarakat “patriarki”. Bukankah “didalam perkawinan”, istri harus melayani kebutuhan syahwat dari Suami ? Seorang tokoh agama dengan berapi-api menjelaskan dan penolakkannya.

“Kekeliruan” disebabkan berbagai pendekatan.

opini musri nauli : Generasi '98


Ketika poster mahasiswa yang mempertanyakan dimana generasi ’98, tiba-tiba saya tertawa. Bukan mempertanyakan apalagi menertawakan poster. Sama sekali tidak. Tapi gembira sekaligus berbahagia.

Mempertanyakan generasi sebelumnya juga dilakukan oleh generasi 98’. Generasi yang lahir ketika “usia” matang-nya kemudian menjadi demonstran melawan Soeharto.

24 September 2019

opini musri nauli : Negara mengurusi selangkangan




Entah mengapa kata “Selangkangan” begitu menjijikkan ketika menjadi tema didalam aksi-aksi menolak RUU-KUHP. Kata-kata kasar yang menggambarkan bagaimana “paranoid” perumus RUU-KUHP dan kemudian menggelinding menjadi tema yang menyentak orang banyak.

Entah mengapa saya suka kata “Selangkangan” sebagai respon serius terhadap upaya “kriminalisasi” urusan ranjang. Entah mengapa kata ini kemudian menggambarkan “upaya kontrol negara” didalam urusan ranjang.

Benar. Agama justru melarang “hubungan seks” bukan “Suami istri”. Agama apapun di Indonesia menjunjung tinggi lembaga perkawinan. Lihatlah makna Pasal 1 ayat (1)  Perkawinan yang menyebutkanPerkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Penghormatan terhadap lembaga perkawinan begitu agung. Sehingga UU Perkawinan justru menganut asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan). UU Perkawinan tetap membuka ruang untuk “poligami”. Dengan persyaratan yang cukup ketat (Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan).

Makna yang agung ini kemudian justru hendak direduksi dengan ramainya ajakan poligami berbagai tokoh-tokoh agama. Dan justru malah mengabaikan makna luhur dari UU Perkawinan.

Hukum adat juga menjunjung tinggi. Di Jambi, persoalan kesusilaan kemudian dikenal sebagai norma “salah bujang dengan gadis’. Sebagaimana didalam Seloko “Duduk mengintai gelap. Tegak mengintai sunyi’. Muda-mudi dilarang berduaan. Ditempat sepi.

Sanksi berat. Selain dijatuhi denda adat (kambing sekok, beras 20 gantang, selemak semanis) juga harus dikawinkan. Supaya tidak timbul fitnah kepada perempuan.

Itu sudah cukup.

Lalu mengapa kemudian norma-norma agama dan norma adat kemudian malah “dikuatkan” menjadi norma hukum. Apakah agama dan adat tidak mampu mencegah agar manusia Indonesia “akan patuh” ? Siapa yang mendompleng RUU-KUHP sehingga ditikungan terakhir kemudian menggelinding “issu selangkangan” dan kemudian  memantik polemik.

Dalam ranah dan fungsi negara, negara hanya boleh mengatur kehidupan publik. Negara tidak dibenarkan mengatur kehidupan pribadi manusia.

Dalam istilah yang sering saya gunakan, “kontrol” negara berhenti sampai pintu rumah. Negara tidak dibenarkan untuk memasuki kerumah orang. Urusan didalam rumah adalah urusan privat. Negara tidak dibenarkan “campur tangan” mengenai urusan privat. Apalagi “mengurusi ranjang”.

Namun akhir-akhir ini, paranoid “negara” begitu dominan mengatur kehidupan privat. Bukankah masih ingat ketika adanya Perda yang mengatur “pakaian perempuan”. Atau ada ajakan untuk mengatur “duduk perempuan” diatas sepeda motor ? Mengapa “negara” dengan “alat paksa” lebih suka mengatur pakaian dan perilaku perempuan yang “sebenarnya’ masuk wilayah privat ?

Tema ini sudah lama saya khawatirkan. Ketika kasus Ariel-Peterpan menarik perhatian publik, saya sudah menuliskannya “Mengintip Kamar Artis” (7 Agustus 2010).

Begitu juga ada anggota DPRD Provinsi Jambi yang mempersoalkan “keperawanan”, saya juga menuliskannya “Memaknai Keperawanan Dari Sudut Sistem Sosial (30 September 2010).

Dan 7 tahun kemudian. Ketika tokoh agama kemudian “dikriminalisasi” dengan urusan ranjang, saya kemudian menuliskan “Ketika Negara Mengurusi Ranjang” (Februari 2017).

Nah. Didalam RUU-KUHP, lagi-lagi tema ini kemudian menjadi dominan. Publik kemudian tersentak. Ketika RUU-KUHP mulai menampakkan “watak” negara yang hendak mengontrol rakyatnya. Termasuk “urusan rumah” dan urusan ranjang”.

Apakah tidak pernah terpikirkan bagaimana penerapan KUHP ?

Apakah “Polisi” kurang kerjaan sehingga harus menambah kerjaan Polisi ? Apakah Polisi setiap malam mengintip setiap hotel, setiap kost-kostan, anak-anak remaja yang menyelinap malam-malam, bapak-bapak genit dan tante-tante nakal ? Sebagaimana dikeluhkan salah satu teman saya di status FB-nya.

Apakah “kurang kerjaan” dari perumus UU sehingga membebankan kerjaan polisi yang sudah seabrek-abrek tugas dan fungsinya menjaga ketertiban ?

Mengapa kita tidak mengembalikan hakekat negara. Yang berfungsi sebagai “alat ketertiban” (law and order). Negara hanyalah berkewajiban menjaga ketertiban umum dan melindungi kebebasan warga negara.

Fungsi negara melindungi hak masyarakat dengan UU, menciptakan keamanan negara, tidak boleh mengurusi urusan pribadi (privat). Sehingga negara hadir ketika adanya “gangguan” yang mengancam hak-hak masyarakat. Bukan sibuk “mengurusi” urusan moral.

Biarlah fungsi “moral” menjadi ranah agama dan adat. Bukankah sebagai manusia Indonesia yang beragama dan beradat pasti menjunjung nilai-nilai kesusilaan. Bukankah Agama dan adat justru menempatkan keagungan dan penghormataan kesusilaan.



Advokat. Tinggal di Jambi



-->

23 September 2019

opini musri nauli : Apakah Kebakaran Merupakan Bencana


Akhir-akhir ini kita kemudian memasuki pertanyaan penting. Apakah Kebakaran merupakan bencana atau tidak ?

Untuk melihat konteks persoalan asap, penting kita mengetahui tentang kerusakan lingkungan yang harus disandarkan kepada aturan tentang UU SDA. Dalam catatan saya sudah ada 18 UU SDA yang tegas mengaturnya.