07 Januari 2018

opini musri nauli : AMBIGU URUSAN RANJANG


Entah mengapa karena memang kurang piknik, public senang sekali disuguhi urusan “ranjang. Bak seperti “polisi moral”, berita ini kemudian heboh dan kemudian memaksa seorang kandidat mundur dari pencalonan pilkada.
Entah mengapa pula “urusan birahi” membuat lebih asyik membahas daripada melihat program-program ataupun gagasan. Tanpa memikirkkan konsep yang diusung, prestasi yang sudah ditorehkan, gambar-gambar erotis lebih menarik. Persis koran kuning yang menyebar di politik jagat Amerika.

Kasus Monica yang menyeret Bill Clinton ataupun berbagai skandal lebih “dahsyat” magnitnya daripada prestasi Bill Clinton mengurusi Israel – Palestina. Atau photo “syuur” Donald Trump lebih istimewa daripada gagasannya mengenai posisi Amerika dalam percaturan di Eropa.

Sejak tahun 2008 publik “dipaksa” menyaksikan persidangan Ariel Peterpan yang dituduh “Video porno”. Belum lagi pembahasan RUU Pornografi dan persidangan di MK (judicial review). Demo berjilid-jilid dikerahkan. “Seakan-akan” dunia runtuh dalam urusan moral. Negara kemudian bergembira. Dukungan dari public membuat UU Pornografi disahkan dan dikuatkan di MK.

Namun “senjata makan tuan’. Demo berjilid-jilid ternyata memakan “tuahnya’. UU Pornografi kemudian “menyeret chatting porn” yang kemudian memaksa pelaku tersangka kabur entah kemana.

Lagi-lagi negara menggunakan “UU Pornografi” untuk menghantam.

Dan “sim salabim”. Demo justru kemudian meminta negara agar menghentikan UU Pornografi.

Namun dengan “sim salabim”. Eh, putusan MK tentang pasal-pasal KUHP terhadap kejahatan kesusilaan yang cuma menyebutkan “salah kamar’ kemudian dituduh “mendukung free seksual dan LGBT”. Lagi-lagi “energy” dikerahkan cuma urusan syahwat.

Padahal membicarakan urusan “ranjang” adalah wilayah privat. Ranah yang tidak mesti diurusi negara.

Negara cukup mengurusi “kemiskinan, lapangan kerja, infrastruktur, hokum yang berpihak keadilan, ekonomi yang stabil dan kebutuhan sandang pangan rakyat’. Tidak perlu negara mengurusi wilayah privat.

Namun lagi-lagi “sim salabim’. Tuduhan “memisahkan urusan negara dan agama” kembali mengemuka. Pemikiran yang disampaikan kemudian dituduh “liberal” atau  anti agama.

Padahal konsistensi urusan negara yang tidak mengurusi wilayah privat terutama ranjang adalah pemikiran dalam konsep negara hokum. Baik dalam system Eropa continental (recht staat) maupun system Anglo saxon (rule of law). Supaya negara cukup mengatur tentang agar tidak terjadi keributan di tengah pasar/ruang public (negara ketertiban/negara malam).

Membicarakan “orientasi seksual” di agenda public melambangkan pemikiran masyarakat “abad pertengahan’. Persis kisah Raja-raja nusantara yang “setiap purnama” kemudian menyepi untuk menjaga “libido” dan konon menjadi “tertib”.
“Supaya wisdomnya keluar” kata temanku yang biasa nongkrong di Mampang.

Atau dengan cara “memelihara” gundik atau “mempunyai selir’. Agar nafsunya bisa “dikendalikan” sehingga Raja tetap berwibawa dan tenang mengambil keputusan.

Urusan moral kemudian dikemas menjadi urusan public. Menjadi ukuran dan bisa menghantam agar candidate jatuh dan menjadi bulan-bulanan.

Padahal disatu sisi ketika tokoh agama “memamerkan” istri-istrinya yang cantik-cantik, muda, indehoy, masih semok, public kemudian bersorak dan mengklaim sesuai dengan agama. Lengkap dengan berbagai klaim kebenaran. Tafsiran sempit cuma untuk urusan “selangkangan’.

Atau ketika sang istri mengadukan ke kantor suaminya karena ditelantarkan namun bibir publikpun kelu. Tidak bersuara dan justru menghendaki agar kasus ini ‘agar diselesaikan didalam rumah tangga”.

Ambigu public mengenai urusan ranjang “mengabaikan” norma-norma hokum, bertentangan dengan logika (common sense) dan  menimbulkan polemic. Namun “sedikit” sekali public yang menghendaki pembahasan tentang konsep, gagasan ataupun cita-cita tentang perubahan. Semuanya “asyik masyuk” urusan selangkangan, ranjang dan sensasi orientasi seksual.