Entah
mengapa karena memang kurang piknik, public senang sekali disuguhi urusan “ranjang.
Bak seperti “polisi moral”, berita ini kemudian heboh dan kemudian memaksa
seorang kandidat mundur dari pencalonan pilkada.
Entah
mengapa pula “urusan birahi” membuat lebih asyik membahas daripada melihat
program-program ataupun gagasan. Tanpa memikirkkan konsep yang diusung,
prestasi yang sudah ditorehkan, gambar-gambar erotis lebih menarik. Persis
koran kuning yang menyebar di politik jagat Amerika.
Kasus
Monica yang menyeret Bill Clinton ataupun berbagai skandal lebih “dahsyat”
magnitnya daripada prestasi Bill Clinton mengurusi Israel – Palestina. Atau
photo “syuur” Donald Trump lebih istimewa daripada gagasannya mengenai posisi
Amerika dalam percaturan di Eropa.
Sejak
tahun 2008 publik “dipaksa” menyaksikan persidangan Ariel Peterpan yang dituduh
“Video porno”. Belum lagi pembahasan RUU Pornografi dan persidangan di MK
(judicial review). Demo berjilid-jilid dikerahkan. “Seakan-akan” dunia runtuh
dalam urusan moral. Negara kemudian bergembira. Dukungan dari public membuat UU
Pornografi disahkan dan dikuatkan di MK.
Namun
“senjata makan tuan’. Demo berjilid-jilid ternyata memakan “tuahnya’. UU
Pornografi kemudian “menyeret chatting porn” yang kemudian memaksa pelaku
tersangka kabur entah kemana.
Lagi-lagi
negara menggunakan “UU Pornografi” untuk menghantam.
Dan
“sim salabim”. Demo justru kemudian meminta negara agar menghentikan UU
Pornografi.
Namun
dengan “sim salabim”. Eh, putusan MK tentang pasal-pasal KUHP terhadap
kejahatan kesusilaan yang cuma menyebutkan “salah kamar’ kemudian dituduh “mendukung
free seksual dan LGBT”. Lagi-lagi “energy” dikerahkan cuma urusan syahwat.
Padahal
membicarakan urusan “ranjang” adalah wilayah privat. Ranah yang tidak mesti
diurusi negara.
Negara
cukup mengurusi “kemiskinan, lapangan kerja, infrastruktur, hokum yang berpihak
keadilan, ekonomi yang stabil dan kebutuhan sandang pangan rakyat’. Tidak perlu
negara mengurusi wilayah privat.
Namun
lagi-lagi “sim salabim’. Tuduhan “memisahkan urusan negara dan agama” kembali
mengemuka. Pemikiran yang disampaikan kemudian dituduh “liberal” atau anti agama.
Padahal
konsistensi urusan negara yang tidak mengurusi wilayah privat terutama ranjang
adalah pemikiran dalam konsep negara hokum. Baik dalam system Eropa continental
(recht staat) maupun system Anglo saxon (rule of law). Supaya negara cukup
mengatur tentang agar tidak terjadi keributan di tengah pasar/ruang public (negara
ketertiban/negara malam).
Membicarakan
“orientasi seksual” di agenda public melambangkan pemikiran masyarakat “abad
pertengahan’. Persis kisah Raja-raja nusantara yang “setiap purnama” kemudian
menyepi untuk menjaga “libido” dan konon menjadi “tertib”.
“Supaya
wisdomnya keluar” kata temanku yang biasa nongkrong di Mampang.
Atau
dengan cara “memelihara” gundik atau “mempunyai selir’. Agar nafsunya bisa “dikendalikan”
sehingga Raja tetap berwibawa dan tenang mengambil keputusan.
Urusan
moral kemudian dikemas menjadi urusan public. Menjadi ukuran dan bisa
menghantam agar candidate jatuh dan menjadi bulan-bulanan.
Padahal
disatu sisi ketika tokoh agama “memamerkan” istri-istrinya yang cantik-cantik,
muda, indehoy, masih semok, public kemudian bersorak dan mengklaim sesuai
dengan agama. Lengkap dengan berbagai klaim kebenaran. Tafsiran sempit cuma
untuk urusan “selangkangan’.
Atau
ketika sang istri mengadukan ke kantor suaminya karena ditelantarkan namun
bibir publikpun kelu. Tidak bersuara dan justru menghendaki agar kasus ini ‘agar
diselesaikan didalam rumah tangga”.
Ambigu
public mengenai urusan ranjang “mengabaikan” norma-norma hokum, bertentangan
dengan logika (common sense) dan menimbulkan polemic. Namun “sedikit” sekali public
yang menghendaki pembahasan tentang konsep, gagasan ataupun cita-cita tentang
perubahan. Semuanya “asyik masyuk” urusan selangkangan, ranjang dan sensasi
orientasi seksual.
Baca : RUU Pornografi