27 September 2019

opini musri nauli : Generasi '98


Ketika poster mahasiswa yang mempertanyakan dimana generasi ’98, tiba-tiba saya tertawa. Bukan mempertanyakan apalagi menertawakan poster. Sama sekali tidak. Tapi gembira sekaligus berbahagia.

Mempertanyakan generasi sebelumnya juga dilakukan oleh generasi 98’. Generasi yang lahir ketika “usia” matang-nya kemudian menjadi demonstran melawan Soeharto.
Waktu “gugatan” ditanyakan kepada generasi ’66 yang menumbangkan Soekarno namun kemudian mengantarkan Soeharto.

Tau khan Soeharto ?. Ah. Kupikir sudah banyak cerita tentangnya.

Menjelang tahun 1998, tahun jatuhnya Soeharto (lengser keprabon. Mandag pandito), hak-hak politik yang paling diberangus adalah “kebebasan berpendapat, berkumpul” atau “menyuarakan pendapat”.

Jangankan mau aksi, Waktu itu, berkumpul saja lebih 10 orang, dipastikan “pakaian seragam” sudah datang, membubarkan acara.

 Ketua Panitia atau “tuan rumah” bisa seharian di kantor Polisi atau kantor tentara. Ditanya “kiri-kanan”. Dikait-kaitkan dengan Keluarga Komunis. Dilihat rekam jejak keluarga besarnya. Apabila ada yang “nyangkut”, so pasti “diintai”. Diikuti. Pokoknya “horror”..

Kemenangan generasi ’98, hak politik adalah kemenangan besar. Tidak ada satupun didunia, kemerdekaan hak menyampaikan pendapat seperti di Indonesia.

Di Amerika Serikat saja yang mengaku menjunjung tinggi demokrasi, “mempersoalkan” Presiden, tidak sama 20 menit, pasukan khusus sudah menyantroni rumahmu. Mengangkutmu ke markas yang tersembunyi. Jauh dari pantauan public. Masih terjadi kok sampai sekarang.

Nah. Aksi-aksi yang marak sekarang ini, justru buah dari reformasi. Dan itu harus dirawat sebagai negara yang paling unik demokrasi didunia.

Lalu, apakah generasi ’98 kemudian menjadi “malaikat”. Menyelesaikan semua persoalan akut di Indonesia.

Tidak. Generasi ’98 adalah identitas. Mengusung nilai-nilai kebebasan berpolitik, menjunjung tinggi toleransi, menjaga martabat dan membenci korupsi. Nilai-nilai itulah yang tepat diwariskan dan dituturkan setiap waktu.

Lalu apakah Generasi ’98 mampu menjaga nilai-nilai ?. Banyak kok aktivis ’98 justru menjadi pecundang. Menjadi “herder” dari Kepala Daerah yang terbukti korupsi. Menyelesaikan berbagai persoalan dengan kekerasan. Menjadi pelaku korupsi. Tema yang paling jijik ketika itu.

Tapi. Itu hanyalah segelintir. Masih banyak yang tetap dengan setia dengan gagasannya. Masih mau membawa spidol, kertas karton, datang kekampung-kampung. Membangun pengorganisasian dibasis.

Apabila kita lihat aksi-aksi besar, entah perjuangan reforma agrarian, persoalan buruh, mendampingi nelayan, lihatlah jejak mereka. Masih ditemukan mereka “tidak silau” dengan kemenangan reformasi. Mereka tetap berjarak dengan kekuasaan. Tetap kritis. Dan tetap memilih dibarisan basis. Masih banyak kok.

Mereka “tidak memilih kedalam system”. Tidak masuk ke partai atau menjadi tim sukses dari Pilkada. Bahkan mereka tetap “berjualan” untuk menghidupi dapur mereka. Keringat mereka masih tetap apek. Setia dengan gagasannya.

Mengapa kemenangan reformasi begitu fenomenal. Apakah para demonstran itu begitu heroic ? Apakah mereka tuntas membaca Das-Kapital Karl Marx ? Apakah mereka pengagum Tan Malaka.

Dilevel aktivis, mungkin iya. Mereka matang dikelompok-kelompok kajian. Dulu dikenal dengan istilah “Kelompok studi”. Sebagai pematangan intelektual. Makanya mereka begitu jago menguasai pemikiran-pemikiran dunia. Hampir bacaan sosialisme tuntas dibaca. Hampir setiap tokoh pemikiran menjadi rujukan.

Namun dilevel demonstran, justru “anak-anak kaya” yang menganggap “demo adalah mode’. Strategi ciamik yang dikemas oleh para aktivis.

Apakah mereka mengerti terhadap isi dari orasi ? jangan harap. Yel-yel lebih diutamakan sebagai “hiburan’.

Namun dengan “uang jajan” mereka, justru alat-alat aksi disumbangkan oleh mereka. Mereka rela membawa “makanan’ menggunakan mobil pribadi. Menyumbangkan pakaian, logistic hingga berbagai perangkat aksi. Merekalah “sumber” utama dari perjuangan reformasi.

Menjelang kejatuhan Soeharto Mei 1998, dukungan dari ibu-ibu mulai mengalir. Dapur-dapur umum mulai dibangun. Suara Ibu Peduli yang digagas “perempuan Indonesia” adalah dukungan logistic. Mampu aksi berhari-hari. Dukungan itulah yang menjadi perlawanan generasi ’98 menjadi romantic. Ibu-ibu inilah yang menjadi dukungan sekaligus doa dari ibu.

Masih banyak agenda reformasi yang belum tuntas dijalankan. Regenerasi ’98 kemudian “disalip” pemain “antah berantah”. Pemain yang tertawa melihat aksi-aksi mahasiswa ’98 dari televise. Pemain inilah yang menguasai politik Indonesia 20 lebih. Hampir setiap pemimpin partai-partai besar adalah mereka yang justru ‘menentang” aksi ’98.

Namun “daya ledak” ‘2019 menemukan momentum. Terlepas dari “issu” yang dikemas apakah mahasiswa “tau atau membaca” atau tidak, daya ledak kemudian menggumpal. Mengkristal. Melawan “daya gagap’ generasi ’98 yang gagap melihat daya ledaknya.

Lihat. Bagaimana aksi-aksi teatrikal, para perempuan yang mengekspresikan dirinya. “Kalimatnya” sadis namun suasana jenaka lebih terasa.

Kalimat seperti “selangkang bukan urusan Pemerintah”, “Selangkanganku bukan milik negara”, “Tetekku bukan urusanmu”, “negara mengawasi ranjang dan rahimmu”, adalah sebuah “kemajuan berfikir’ dari generasi milenial. Kalimat yang tidak terpikirkan dari angkata ’98.

Membuktikan, “kalian adalah generasi cerdas’.

Kemerdekaan perempuan yang mengatur pakaian dan tubuhnya adalah “kemenangan” dari kemerdekaan itu sendiri. Jauh lebih maju dari aktivis ’98.

Keren. Keren.. Keren.

Eh, kalo ada yang menggerutu, menggomel ataupun mengutuk “pikiran” kalian.

Stits.. Sini kukasih tau. Mereka gagal menangkap pesan kalian. Karena mereka lebih sibuk mengurusi penyakit yang mulai mendera. Entah “encok, ‘asam urat”, “kencing manis”, “kolesterol”.

Jadi harap maklum, ya.

Teruslah berlawan. Teruslah belajar. Tahun 2024, kalian salip tuh generasi yang gagap tadi.

Bilang ke mereka. “Sudah 20 tahun kesempatan diberikan kepada kalian. Kami tidak mau menunggu”.