Ketika
poster mahasiswa yang mempertanyakan dimana generasi ’98, tiba-tiba saya
tertawa. Bukan mempertanyakan apalagi menertawakan poster. Sama sekali tidak.
Tapi gembira sekaligus berbahagia.
Mempertanyakan
generasi sebelumnya juga dilakukan oleh generasi 98’. Generasi yang lahir
ketika “usia” matang-nya kemudian menjadi demonstran melawan Soeharto.
Waktu
“gugatan” ditanyakan kepada generasi ’66 yang menumbangkan Soekarno namun kemudian
mengantarkan Soeharto.
Tau
khan Soeharto ?. Ah. Kupikir sudah banyak cerita tentangnya.
Menjelang
tahun 1998, tahun jatuhnya Soeharto (lengser keprabon. Mandag pandito), hak-hak
politik yang paling diberangus adalah “kebebasan berpendapat, berkumpul” atau “menyuarakan
pendapat”.
Jangankan
mau aksi, Waktu itu, berkumpul saja lebih 10 orang, dipastikan “pakaian seragam”
sudah datang, membubarkan acara.
Ketua Panitia atau “tuan rumah” bisa seharian
di kantor Polisi atau kantor tentara. Ditanya “kiri-kanan”. Dikait-kaitkan
dengan Keluarga Komunis. Dilihat rekam jejak keluarga besarnya. Apabila ada
yang “nyangkut”, so pasti “diintai”. Diikuti. Pokoknya “horror”..
Kemenangan
generasi ’98, hak politik adalah kemenangan besar. Tidak ada satupun didunia,
kemerdekaan hak menyampaikan pendapat seperti di Indonesia.
Di
Amerika Serikat saja yang mengaku menjunjung tinggi demokrasi, “mempersoalkan”
Presiden, tidak sama 20 menit, pasukan khusus sudah menyantroni rumahmu.
Mengangkutmu ke markas yang tersembunyi. Jauh dari pantauan public. Masih
terjadi kok sampai sekarang.
Nah.
Aksi-aksi yang marak sekarang ini, justru buah dari reformasi. Dan itu harus
dirawat sebagai negara yang paling unik demokrasi didunia.
Lalu,
apakah generasi ’98 kemudian menjadi “malaikat”. Menyelesaikan semua persoalan
akut di Indonesia.
Tidak.
Generasi ’98 adalah identitas. Mengusung nilai-nilai kebebasan berpolitik,
menjunjung tinggi toleransi, menjaga martabat dan membenci korupsi. Nilai-nilai
itulah yang tepat diwariskan dan dituturkan setiap waktu.
Lalu
apakah Generasi ’98 mampu menjaga nilai-nilai ?. Banyak kok aktivis ’98 justru
menjadi pecundang. Menjadi “herder” dari Kepala Daerah yang terbukti korupsi.
Menyelesaikan berbagai persoalan dengan kekerasan. Menjadi pelaku korupsi. Tema
yang paling jijik ketika itu.
Tapi.
Itu hanyalah segelintir. Masih banyak yang tetap dengan setia dengan
gagasannya. Masih mau membawa spidol, kertas karton, datang kekampung-kampung.
Membangun pengorganisasian dibasis.
Apabila
kita lihat aksi-aksi besar, entah perjuangan reforma agrarian, persoalan buruh,
mendampingi nelayan, lihatlah jejak mereka. Masih ditemukan mereka “tidak silau”
dengan kemenangan reformasi. Mereka tetap berjarak dengan kekuasaan. Tetap kritis.
Dan tetap memilih dibarisan basis. Masih banyak kok.
Mereka
“tidak memilih kedalam system”. Tidak masuk ke partai atau menjadi tim sukses
dari Pilkada. Bahkan mereka tetap “berjualan” untuk menghidupi dapur mereka. Keringat
mereka masih tetap apek. Setia dengan gagasannya.
Mengapa
kemenangan reformasi begitu fenomenal. Apakah para demonstran itu begitu heroic
? Apakah mereka tuntas membaca Das-Kapital Karl Marx ? Apakah mereka pengagum
Tan Malaka.
Dilevel
aktivis, mungkin iya. Mereka matang dikelompok-kelompok kajian. Dulu dikenal
dengan istilah “Kelompok studi”. Sebagai pematangan intelektual. Makanya mereka
begitu jago menguasai pemikiran-pemikiran dunia. Hampir bacaan sosialisme
tuntas dibaca. Hampir setiap tokoh pemikiran menjadi rujukan.
Namun
dilevel demonstran, justru “anak-anak kaya” yang menganggap “demo adalah mode’.
Strategi ciamik yang dikemas oleh para aktivis.
Apakah
mereka mengerti terhadap isi dari orasi ? jangan harap. Yel-yel lebih
diutamakan sebagai “hiburan’.
Namun
dengan “uang jajan” mereka, justru alat-alat aksi disumbangkan oleh mereka.
Mereka rela membawa “makanan’ menggunakan mobil pribadi. Menyumbangkan pakaian,
logistic hingga berbagai perangkat aksi. Merekalah “sumber” utama dari
perjuangan reformasi.
Menjelang
kejatuhan Soeharto Mei 1998, dukungan dari ibu-ibu mulai mengalir. Dapur-dapur
umum mulai dibangun. Suara Ibu Peduli yang digagas “perempuan Indonesia” adalah
dukungan logistic. Mampu aksi berhari-hari. Dukungan itulah yang menjadi
perlawanan generasi ’98 menjadi romantic. Ibu-ibu inilah yang menjadi dukungan
sekaligus doa dari ibu.
Masih
banyak agenda reformasi yang belum tuntas dijalankan. Regenerasi ’98 kemudian “disalip”
pemain “antah berantah”. Pemain yang tertawa melihat aksi-aksi mahasiswa ’98 dari
televise. Pemain inilah yang menguasai politik Indonesia 20 lebih. Hampir
setiap pemimpin partai-partai besar adalah mereka yang justru ‘menentang” aksi ’98.
Namun
“daya ledak” ‘2019 menemukan momentum. Terlepas dari “issu” yang dikemas apakah
mahasiswa “tau atau membaca” atau tidak, daya ledak kemudian menggumpal.
Mengkristal. Melawan “daya gagap’ generasi ’98 yang gagap melihat daya
ledaknya.
Lihat.
Bagaimana aksi-aksi teatrikal, para perempuan yang mengekspresikan dirinya. “Kalimatnya”
sadis namun suasana jenaka lebih terasa.
Kalimat
seperti “selangkang bukan urusan Pemerintah”, “Selangkanganku bukan milik
negara”, “Tetekku bukan urusanmu”, “negara mengawasi ranjang dan rahimmu”, adalah
sebuah “kemajuan berfikir’ dari generasi milenial. Kalimat yang tidak
terpikirkan dari angkata ’98.
Membuktikan,
“kalian adalah generasi cerdas’.
Kemerdekaan
perempuan yang mengatur pakaian dan tubuhnya adalah “kemenangan” dari
kemerdekaan itu sendiri. Jauh lebih maju dari aktivis ’98.
Keren.
Keren.. Keren.
Eh,
kalo ada yang menggerutu, menggomel ataupun mengutuk “pikiran” kalian.
Stits..
Sini kukasih tau. Mereka gagal menangkap pesan kalian. Karena mereka lebih
sibuk mengurusi penyakit yang mulai mendera. Entah “encok, ‘asam urat”, “kencing
manis”, “kolesterol”.
Jadi
harap maklum, ya.
Teruslah
berlawan. Teruslah belajar. Tahun 2024, kalian salip tuh generasi yang gagap
tadi.
Bilang
ke mereka. “Sudah 20 tahun kesempatan diberikan kepada kalian. Kami tidak mau
menunggu”.
Baca : 21 MEI 16 TAHUN YANG LALU