Banyak
yang mempersoalkan “pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape)” yang didalam
RUU KUHP. Paradigma ini kemudian “melahirkan” meme. Termasuk berbagai poster “Surat
pernyataan” yang “seolah-olah” mempertanyakan logika norma yang menjadi muatan
didalam RUU KUHP.
Secara
sekilas, kekerasan bahkan pemerkosaan didalam perkawinan (marital rape) menjadi
aneh dalam alam masyarakat “patriarki”. Bukankah “didalam perkawinan”, istri
harus melayani kebutuhan syahwat dari Suami ? Seorang tokoh agama dengan
berapi-api menjelaskan dan penolakkannya.
“Kekeliruan”
disebabkan berbagai pendekatan.
Pertama.
Paradigma “istri” adalah “properti” dan “milik lelaki (baca Suami) masih
menghinggapi pemikiran alam masyarakat yang masih menjunjung relasi patriarki.
Paradigma masih hidup dan mengakar kuat di Indonesia.
UU
Perkawinan justru menegaskan kalimat “Suami
adalah Kepala Keluarga dan istri Ibu Rumah Tangga (Pasal 31 ayat 3 UU
Perkawinan).
Kalimat-kalimat
selanjutnya seperti “Wajib saling
mencintai, menghormati dan setia sertai memberikan bantuan lahir batin satu
kepada yang lain” (Pasal 33 UU Perkawinan), namun “suami berkewajiban melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga” (Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan).
Padahal
makna kewajiban “melindungi istri”, “memberiekan bantuan lahir batin” adalah
kodrati sebagai manusia. Selain norma agama Islam yang mewajibkan Lelaki yang “bertanggungjawab”
menafkahi keluarga.
Namun
ketika “kewajiban” melindungi istri”, “menafkahi keluarga” tidak menjadikan
istri adalah property. Pandangan itu keliru. Dan tidak tepat dengan semangat
didalam makna pasal 33 dan Pasal 34 ayat 1 UU Perkawinan).
Sehingga
“lompatan” berfikir “kewajiban” menafkahi tidak memberikan “mandate” kepada
lelaki (baca suami) yang menempatkan perempuan (baca istri) sebagai property.
Sama sekali tidak dapat dibenarkan dari logika hukum dalam makna “hak” kepada
suami tentang property.
Sedangkan
“Suami” adalah Kepala keluarga adalah “pilihan hukum”. Pilihan dari kedua belah
pihak yang menempatkan suami sebagai Kepala Keluarga. Pilihan yang bisa saja
berbeda tergantung pilihan dari kedua belah pihak (fakultatif). Bukan “keharusan”
(wajib) sebagaimana tafsiran didalam makna pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan.
Kedua.
Lompatan berfikir yang menempatkan suami sebagai Kepala Keluarga dan
menempatkan istri sebagai properti adalah konstruksi sosial yang masih mengakar
kuat di Indonesia. Masyarakat yang masih menganut sistem social Patriarki yang
masih menempatkan perempuan “sebagai” properti.
Berangkat
dari “kekeliruan” konstruksi social-lah yang kemudian menghasilkan “kekerasan”
didalam perkawinan. Bahkan “pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape).
Kekerasan itu masih terjadi.
Banyak
“kisah-kisah” yang menyedihkan bagaimana kekerasan bahkan pemerkosaan didalam
perkawinan (marital rape) masih terjadi. Lelaki yang pulang mabuk bahkan “memperkosa”
istrinya pun masih menjadi berita-berita bersilewaran ditengah-tengah kita. “kekerasan
lain” seperti “pemukulan bahkan meninggalnya istri ketika sang istri tidak mau “melayani”
nafsu suaminya masih menghiasi media massa.
Negara
kemudian “melindungi” kekerasan dan perlindungan terhadap perempuan yang tidak
berdaya. Maqom “pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape) adalah bentuk “perlindungan
negara” didalam norma. Norma yang jamak diberbagai dunia.
Rumusan
didalam RUU-KUHP adalah puncak peradaban untuk mengakhiri KUHP yang “jauh-jauh”
ketinggalan. Produk colonial yang berumur ratusan tahun.
Perkembangan
dunia yang mengagungkan perempuan sudah jamak dialam modern.
Sehingga
tidak layak kemudian norma ini kemudian diundangkan didalam RUU KUHP kemudian
dijadikan dagelan. Dijadikan “meme” yang jauh dari makna perlindungan terhadap
perempuan.
Ketiga.
Bukankah “kehidupan” rumah tangga akan menjadi bahagia baik lahir maupun batin
dirasakan “cinta yang tulus”. Bukan semata-mata kewajiban. Bukan semata
hanyalah sebagai ornament properti yang hanya menikmati kebahagian bagi lelaki
sebagai Kepala Rumah Tangga.
Bukankah
kebahagian adalah puncak dari perkawinan. Yang menempatkan “setara” lelaki dan
perempuan sebagai Makhluk sang Pencipta. Yang mengagungkan lembaga perkawinan
sebagaimana filosofi dari UU Perkawinan.
Sudah
saatnya paradigma yang menempatkan “perempuan” sebagai properti yang berangkat
dari konstruksi sosial harus diakhiri. Menempatkan perempuan sebagai “makhluk
agung” dan setara dalam relasi sosial.
Sudah
saatnya perkembangan kemajuan zaman kemudian diikuti penghormatan perempuan.
Sehingga paradigma “marital rape” sebagai kejahatan yang serius. Sehingga harus
diakhiri.
Mari
kita bergandengan tangan. Melihat “marital rape” secara jernih dan obyektif.
Jauh dari prasangka yang justru meminggirkan perempuan.
Baca : RUU Pornografi
Advokat. Tinggal di Jambi