Sejenak
publik disuguhi berbagai peristiwa seminggu terakhir ini. Entah aksi mahasiswa,
kisah heroik STM, poster-poster kaum milenial yang justru “melambangkan” kemerdekaan pribadi terhadap tubuhnya. Namun semakin
hari-hari berbagai komentar mulai bermunculan. Baik yang mendukung maupun yang
menolak aksi-aksi.
Pertama.
Issu “RUU KPK-RUU KUHP-RUU Pertanahan” adalah issu yang sensitif yang menyentuh
rakyat banyak. Issu yang mampu menarik dukungan paling besar sejak ’98. Issu
yang mampu merekat berbagai komponen.
Dari
isu ini kemudian berhasil dan kemudian Jokowi mengambil sikap politik. Sikap
politik yang berbeda. RUU-KUHP dan RUU Pertanahan” kemudian dipending. Sedangkan RUU KPK sedang
dipertimbangkan untuk dipending. Melalui mekanisme PERPPU.
Kupikir
masalah akan selesai.
Namun
ketika issu kemudian semakin menggelinding, maka publik kemudian terpecah.
Dukungan kepada mahasiswa terus mengalir agar RUU-KPK segera dipending. Sementara sebagian lain
menyatakan, tuntutan sudah dipenuhi. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk
diadakan aksi-aksi besar.
Kedua
kelompok kemudian memainkan “issu”. Menuduh kelompok satu dengan kelompok lain
dengan tuduhan menyakitkan. Aksi-aksi mahasiswa kemudian “dituding” sebagai
kelompok “bayaran” dan “adanya” penumpang gelap yang hendak merongrong negara
Indonesia.
Sementara
kelompok lain menuduh, Pemerintah telah ingkar janji. Sehingga ada alasan terus
mendesak agar tuntutan dikabulkan.
Namun
bukan debat bermutu dan argumentasi yang disampaikan. Tuduhan diluar dari
argumentasi terus bermunculan. Persis kayak anak kecil. Terus mewacana dipublik.
Argumentasi
seperti “penumpang gelap” adalah
tuduhan serius. Selain “menjauhi”
dari tuntutan yang disampaikan, justru malah mengaburkan substansi tuntutan dan
aspirasi yang disampaikan.
Para
penegak hukum harus membuktikan “adanya tuduhan” serius ini. Berbagai meme
ataupun issu bersilewaran seperti “adanya” pertemuan di gedung Pemerintah,
adanya arahan sebelum demonstrasi, adalah “penghinaan” nalar publik. Saya
termasuk agar sulit memahami. Mengapa peristiwa itu bisa terjadi ? Apakah
dimungkinkan pertemuan seperti itu ? Lalu mengapa issu dan meme itu terus
menghiasi wacana publik.
Peristiwa
ini harus dibongkar. Agar publik menjadi klir dengan berbagai peristiwa
aksi-aksi besar.
Begitu
juga sebaliknya. Tuduhan kepada pendukung RUU-KPK juga tidak jauh berbeda.
Dengan tuduhan seperti “pelemahan korupsi”
atau “ingin matinya KPK’, juga
menggelikan.
Kedua.
Argumentasi yang disampaikan baik yang menolak RUU-KPK atau yang mendukung
RUU-KPK sudah dipahami. Baik argumentasi yang disampaikan maupun keberatannya.
Dari sini tidak masalah. Dan dipahami dengan baik.
Namun
mengaitkan antara issu yang disampaikan dengan alasan diluar dari argumentasi
adalah kekeliruan. Biasa disebut sebagai “argumentum
ad hominem”.
Dalam literatur Filsafat, “Argumentum ad Hominem” sering disebutkan
sebagai bentuk argumen yang tidak ditujukan untuk menangkal argumen yang
disampaikan oleh orang lain. Namun lebih menjurus kepada pribadi si pemberi
argumen itu sendiri. Argumen itu akan menjadi sesat pikir ketika ia ditujukan
menyerang pribadi lawan demi merusak argumen lawan.
Cara-cara ini juga sering dipakai “Taliban” dalam perang di Timur Tengah.
Diluar dari kelompoknya maka kemudian disebut sebagai “sesat”. Ajaran yang berangkat dari “manhaj takfiri”. Atau dengan kata lain, “pokoknya diluar kelompok saya ‘sesat”.
Lihatlah. Tema tentang penolakan
RUU-KPK kemudian dikaitkan dengan tema diluarnya seperti issu “penumpang gelap”
atau pendukung RUU-KPK yang dikaitkan sebagai ““pelemahan korupsi” atau “ingin matinya KPK’ ?
“Argumentum
ad Hominem” adalah “sesat pikir’. Argumentum
ad Hominem” harus dihentikan.
Lalu sampai kapan kemudian “publik” digiring oleh kedua kelompok ? Kedua
kelompok yang teriak dan “paling merasa benar”.
Mengapa kedua kelompok begitu “tolol” memaksa keinginan dengan
menyodorkan argumentasi diluar dari issu tema yang hendak disampaikan ?
Apakah publik tidak diberikan “sejenak”
bernafas untuk melihat persoalan lain diluar dari tema itu ?