Ketika
aksi yang kemudian berakhir dengna kerusuhan di Wamen, Papua, langsung saya panic.
Terbayang nasib saudara-saudaraku. Terutama saudara Keluarga istri. Pedagang
yang sudah lama tinggal disana.
Suasana
panik semakin terasa. Informasi dari sana sangat sedikit. Sementara teman-teman
nasional masih sibuk bahas RUU-KPK dan capim KPK. Isu yang “berputar-putar’
cuma itu.
Teringat
ketika persentuhan dengna kawan-kawan dari Papua. Sejak 2008 interaksi langsung
adalah dengan teman-teman Walhi Papua. Secara nurani kami bertemu. Sebagai
korban dari ketidakadilan. Perebutan sumber daya alam. Terpinggirkan.
Interaksi
kemudian semakin massif ketika saya menjadi petinggi Walhi Jambi. Bertemu dan
berinteraksi langsung dengan teman-teman dari Walhi Papua. Baik dalam pertemuan
dalam koalisi maupun agenda-agenda program yang “memaksa” harus bertemu.
Disela-sela
pertemuan (entah diruang merokok), coffeebreak, atau waktu luang (biasanya menjelang
tidur malam), saya kemudian menjadi paham. Mengerti terhadap “ketidakadilan’.
Bayangkan.
Dengan kekayaan sumber daya alam yang begitu melimpah, namun justru kemiskinan
masih terjadi disekitar perusahaan. Sebuah paradok yang masih terlihat menganga
didepan mata.
Pelan
tapi pasti. Issu sensitif seperti “sawit” yang memang Sumatera dan Kalimantan
mempunyai sejarah kelam yang panjang. Berbagai agenda advokasi kemudian kami
saling bercerita. Disaat bersamaan “issu sawit” mulai merambah ke Papua.
Dengan
lugas dan ditambah fakta, kamipun saling berbagi pengalaman pengalaman buruk.
Sehingga dapat memberikan “pilihan” kepada teman-teman Walhi Papua untuk
menentukan agenda selanjutnya.
Dengan rasa “kemanusiaan” membuat saya yakin, manusia-manusia Papua adalah manusia sederhana. Menjunjung kemanusiaan. Sebuah “rasa’ sebagai manusia yang sama dengan manusia lain dibumi ini.
Namun
saya kemudian “gerah”. Seorang tokoh agama kemudian “berapi-api” tentang
lambang salib yang kemudian menghebohkan. Tamatan dari luarnegeri namun “seakan-akan”
tidak berada di Indonesia.
Saya
kemudian membantu menjelaskan. Pandangan dari tokoh agama seperti itu tidak
menggambarkan “islam” yang sebenarnya. Dengan mengumpamakan cerita-cerita
tentang Umar bin Khatab atau cerita Rasullah tentang “rendah hati”, termasuk
juga ketika rasullah memilih mendirikan “negara Madinah (Piagam Madinan) dan “memilih
negara” Bangsa dan tidak memilih negara muslim (khilafah). Dengan merangkul
berbagai masyarakat diluar agama Islam.
Piagam
Madinah adalah wujud dari “pertemuan” berbagai suku bangsa dalam satu bangsa.
Piagama Madinah-lah yang kemudian menempatkan “keadilan” diatas segala-galanya.
Banyak
kisah tentang tanah, tentang pencurian, tentang hukum yang harus ditegakkan
tanpa melihat latar belakangnya. Para pelaku yang kemudian “salah” harus
dihukum. Tanpa pandang bulu. Sebuah keteladanan dari Nabi yang selalu menginspirasi
saya. Termasuk juga bercerita kepada teman-teman Walhi Papua.
Saya
juga bercerita bagaimana “gereja” adalah tempat-tempat perlindungan dimasa orde
baru. Tempat yang paling aman ditengah ketakutan hotel-hotel ataupun tempat
pertemuan enggan mengadakan kegiatan. Inspirasi ini juga saya sampaikan sebagai
bentuk respek rasa kemanusiaan yang masih terasa di Papua.
Dengan
rasa itulah maka “saya tidak yakin” terhadap pembunuhan saudara-saudara saya di
Wamena, Papua. Rasa dan keyakinan itulah yang kemudian menggerakkan saya.
Ditengah
informasi simpang siur, teman-teman nasional yang masih sibuk issu nasional, ditambah
bumbu provokasi hendak membenturkan issu ras, saya kemudian memberanikan diri.
Mencari informasi sebenarnya.
Alhamdulilah.
Jawaban dari ujung WA group memberikan kabar yang baik. Kalimat “Konflik yang mengorbankan jatuhnya korban
jiwa dan pengungsi belum dapat dipastikan sebabnya. Namun yang pasti tidak ada
rasa benci dan dendam antara papua non. Diduga ini ada pihak yang memanfaatkan
situasi”
Kalimat
“Namun yang pasti tidak ada rasa benci
dan dendam antara papua non” adalah kabar. Seperti oase ditengah gurun pasir.
Ditambah
berbagai peristiwa seperti “seorang mama Manu” yang menyelamatkan warga
pendatang di Honai. Atau Edison Elopere yang memasang “pagar betis’ untuk
menyelamatkan 200-an orang dirumahnya. Atau 250 orang yang kemudian diselamatkan
di gereja. Dijaga oleh kawan-kawan Papua. Seharian. Hingga pihak keamanan
kemudian menjemputnya. Tempat yang “diejek” oleh tokoh agama yang berkoar-koar
di mimbar Mesjid.
Apakah
teman-teman Papua yang berlatar belakang agama Nasrani kemudian “bertanya.
Agama kamu apa “.
Tidak
!!!. Mereka menyelamatkan manusia. Tanpa membedakaan. Karena hakekatnya “nyawa
manusia” dan kemanusiaan diatas segala-segalanya. Meminggirkan perbedaan atas
nama apapun.
Sehingga
tidak salah kemudian dalam peristiwa-peristiwa penting, orang berhati mulia
selalu hadir. Dan itu ada disekitar kita.
Rasa
kemanusiaan kemudian menempatkan manusia Papua seperti yang kukenal.
Perkenalan, persentuhan tetap menempatkan rasa kemanusiaan.
Peristiwa
Wamena kemudian membangkitkan kesadaran. Bagaimana saya kemudian melihat.
Disaat bersamaan, isu ini semakin tenggelam. Kalah dengan hiruk pikuk isu
nasional.
Namun
disaat bersamaan, peristiwa ini juga mengajarkan kepada saya. Tidak ada konflik
horizontal sebagaimana sering didengung-dengungkan oleh berbagai kalangan.
Kalimat
seperti “Namun yang pasti tidak ada rasa
benci dan dendam antara papua non” terjawab dengan sikap melindungi seperti
manusia berhati mulia seperti Mama Manu, Edison Elopere atau “tempat gereja’
yang melindungi 250 orang.
Rasa
kemanusiaan adalah rasa yang paling tinggi. Dan saya selalu bergandengan tangan
sebagai manusia Indonesia melihat Papua.
Terima
kasih kawan-kawan Papua. Terima kasih kawan-kawan Walhi Papua.
Sambutlah
salam hangat dariku. Sampaikan Terima kasih kepada Mama Manu, Edison Elopere,
Romo di Gereja ataupun siapapun yang telah “menyelamatkan” saudara-saudara se
Indonesia. Sampaikan salam hangat. Dari Sumatera. Kami mengabarkan.
Cerita
ini terus kututurkan. Agar kelak generasi kami terus merawat kemanusiaan.
Diatas segala-segalanya.