Akhir-akhir
ini, ada kecendrungan “membenturkan” Hukum Agraria Nasional yang diatur didalam
UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dengan Hukum
Tanah Adat. Kecendrungan ini dapat dilihat baik didalam paradigm penegak hukum
maupun dalam penegakkan hukum .
Kecendrungan
dapat dilihat seperti ungkapan, “pembuktian” tertulis (segel, sporadik,
Sertifikat Hak Milik, surat keterangan Tanah), asas domein verklaring dan Hak
milik negara.
Padahal
“kekeliruan” yang disampaikan merupakan “muara” dari paradigm yang masih
menempatkan “persoalan tanah” adalah persoalan hukum Nasional. Yang justru
menitikberatkan kepada Hukum Perdata. Paradigma Hukum acara Perdata yang justru
menjunjung asas “kepastian hukum” dan tertulis.
Paradigma
“kepastian hukum” dan tertulis adalah sebuah asas yang meletakkan “bukti”
tertulis adalah mazab hukum dari Sistem Hukum Eropa continental. Asas ini masih
terpatri kuat dikalangan hukum yang masih menjunjung paradigm system Hukum
Eropa continental. Asas yang mengabaikan bahkan mengenyampingkan system hukum
Tanah di Indonesia.
Padahal
secara jelas-jelas tertulis didalam UUPA. Pasal 5 UUPA jelas menyebutkan “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara. Dengan demikian maka baik cara
mendapatkan tanah, kategori tanah terlantar, pembuktian terhadap tanah tetap
merujuk kepada “hukum adat’.
Pada
prinsipnya, pengakuan terhadap tanah dari hukum adat merujuk kepada pembuktian
yang dikenal didalam hukum adat. Di Jambi sendiri, seloko seperti “dimana tanah
dipijak, disitu tanah dijunjung”, atau “hilang celak jambu kleko”, “tunggul
pembarasan”, “pinang belarik”, “mentaro”, “jeluang” atau penamaan lain yang
membuktikan terhadap kepemilikan. Sehingga tanda terhadap tanah sesuai dengna
seloko adalah pembuktian yang sahih. Bukan tertulis.
Selain
itu, pada prinsipnya, hak milik atas tanah menurut Hukum Adat Melayu tidak
bersifat mutlak. Cara umum untuk memperoleh tanah dengan cara membuka (membuka
rimbo, pancung alas, setawar sedingin) adalah proses mendapatkan tanah. Dan itu
masih dihormati hingga sekarang.
Selain
itu adanya “kewajiban untuk memelihara”.
Norma seperti “belukar lasah”, “belukar mudo”, “sesap rendah jerami tinggi”, “belukar
tuo”, “empang krenggo”, “jauh tidak dipenano, dekat tidak disiang” adalah tanda
tanahnya yang kemudian terlantar. Dengan demikian apabila tanah yang kemudian
terlantar maka, hak milik terhadap tanah dapat dihapuskan.
“Kewajiban untuk memelihara” ditandai
dengan “tanaman tumbuh”, “tanaman tuo”, peumoan”. Sehingga terhadap tanah melekat
terhadap pemilik tanah. Kewajiban ini sekaligus membuktikan “pemilik tanah”
berkewajiban” untuk tetap merawat sebagai fungsinya. Sehingga terhadap tanah
tetap berfungsi sebagaimana mandat ketika tanah diberikan.
Terhadap
“penelantaran” tanah maka si pemilik tanah kemudian dihapuskan haknya.
Selain
itu paradigma tentang “domein verklaring” selalu menarik perhatian.
Pada
prinsipnya, asas domein verklaring adalah asas yang menyatakan apabila tidak
dapat membuktikan tanahnya maka tanah tersebut kemudian dinyatakan sebagai
tanah negara. Makna ini kemudian dapat dilihat didalam UU Agraria Belanda (Staatblad
1874. Dikenal sebagai Agrarisch wet). Negara kemudian menganggap sebagai
“tanah liar (woeste grond).
Didalam “agrarische wet” staatblaad
1874 disebutkan sebagai tanah liar adalah pribumi tidak menerapkan hak-hak
berasal dari pembukaan lahan (ontginningrecht) sehingga kemudian termasuk tanah
negara (staatdomein). Asas ini dikenal asas “domein verklaring”. Tanah liar (woeste grond) berupa tanah hutan,
tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong. Padahal
tanah mempunyai hak milik komunal (beschikhingrecht).
Dengan menganggap tanah liar (woeste
grond) maka kemudian tempat-tempat dikuasai oleh negara. Asas domein verklaring” dan Agrarisch
wet” kemudian dicabut oleh UUPA.
Sehingga
terhadap asas “domein verklaring”
dan “Agrarisch
wet” tidak memberikan hak kepada
negara. Hak yang paling sering disebutkan sebagai Hak milik Negara.
Dalam
konstitusi, negara hanya diberikan hak menguasai. Bukan hak milik negara. Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Nomor
012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid),
(2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4)
pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh
negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945
merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta
merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan
konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.
Makna ”dikuasai oleh negara” yang telah
diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian
diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.
Dengan
demikian ”kekeliruan” tentang Hak milik negara selain melambangkan paradigma
keliru yang berangkat dari asas ”domein verklaring” dan ”agrarisch wet” juga
melambangkan paradigma yang keliru memandang persoalan agraria. Sehingga
kekeliruan yang masih hinggap di berbagai pemangku kepentingan harus
dihentikan. Sehingga paradigma harus diluruskan.
Mengakhiri
kekeliruan diharapakn dapat membantu melihat berbagai konflik yang tengah terjadi
ditengah masyarakat.
Advokat. Tinggal di Jambi