Judul
diatas adalah perumpamaan atau gambaran terhadap “kekuatan” dari citizen
journalist”. Kekuatan maya yang kemudian mulai “menyerang” kekuatan nyata.
Senyata kenyataan yang mulai menghinggapinya.
Entah
mengapa, tiba-tiba tuduhan kepada “citizen journalist” memantik kekesalan.
Entah apa kekesalan mengapa begitu “dahsyatnya” Citizen journalist. Sehingga
tuduhan mengerdikan bahkan “menghina” akal sehat mulai mewacana akhir-akhir
ini.
Terlepas
dari polemik Capim KPK, RUU KPK tuduhan kepada pendukung RUU KPK mulai
menggeser “area medan pertarungan”. Semula ketika pertarungan penolakan dan pendukung
hanyalah sekedar “pertarungan gagasan”. Terlepas apakah setuju atau menolak,
gagasan yang disampaikan dapat dipahami kedua belah pihak. Klir.
Namun
ketika “area medan pertarungan” mulai menyasar kepada pendukung atau
penolaknya, tiba-tiba saya saya tersentak. Apakah begitu berbahayanya para
pendukung atau penolaknya ? Sehingga harus “dibunuh” dengan ujaran-ujaran yang
jauh dari esensi.
Tiba-tiba
pula saya tersentak. Apakah para penuduh tidak mau mengakui kekuatan dari “daya
sihir” dari citizen journalist. Apakah mereka tidak mau berkaca berbagai
peristiwa yang justru menampakkan “kekuatan tersembunyi” dari citizen
journalist.
Dengan
akses informasi yang tidak terbatas, public kemudian disuguhi berbagai issu
yang bersilewaran. Entah dari pendukung ataupun penolak RUU KPK. Lalu apakah
ketika public mulai menyasar dan kemudian hanya tertarik kepada berita-berita
yang obyektif, berimbang dan lebih jujur, kemudian sebagian kalangan kemudian
uring-uringan ? Sayapun sungguh tidka mengerti.
Masih
ingat ketika berbagai media massa konvensional kemudian “gulung tikar”. Ambruk
dengan “Serbuan” dunia online yang cepatnya “sedetik” dan berhamburan dimedia
maya.
Masih
ingat ketika penulis “kompasiana” mampu membongkar tulisan “plagiat” seorang
tersohor, dari kampus terkenal dan sedang memegang jabatan penting kemudian
tersungkur.
Dengan
detail, sang penulis mampu “membongkar” tulisannya tahun 2013 dan membuktikan
tulisan yang dibuat oleh sang pesohor adalah tulisannya (plagiat). Tulisan yang
dimuat di Kompas kemudian “dihajar” di kompasiana. Website keroyokan dari
Kompas. Adik kandung dari kompas.
Bukankah
masih ingat ketika musibah kecelakaan keluarga artis di jalan tol. Lihatlah
bagaimana sang penulis menguraikan menggunakan berbagai teori-teori fisika
hingga menghitung angina. Sehingga tulisannya kemudian menginspirasi penyidikan
menyeluruh terhadap peristiwa tersebut.
Lalu
mengapa ketika public yang rela menyediakan waktunya untuk menulis kemudian “dihajar”
dengan tuduhan nista ? Apakah begitu berarti tulisan dari citizen journalist
sehingga akan mengganggu “kenyamanan” dari penuduh ?
Mari
kita belajar dari dunia maya.
Media
massa (produk jurnalistisk) harus tetap dirawat. Kekuatan media massa terletak
dari “kepercayaan”. Barulah kemudian kekuatan lain seperti “investigasi
(investigasi jurnalistik)” dan “kejujuran”.
Lalu
mengapa media massa yang sekaliber nasional kemudian mulai ditinggalkan publik.
Apakah ajakan dari publik yang ramai-ramai “uninstall” kemudian berdampak
terhadap “trusth” dari public ? Apakah kemudian mengakibatkan “turunnya” saham
atau hilangnya” pengunjung klik” ? Mengapa peristiwa itu terjadi ?
Sebagai
“perawat” nalar, saya tidak mau “terjebak” dari “pertarungan” antara kelompok
yang menolak RUU-KPK ataupun kelompok RUU-KPK. Saya mempunyai sikap dan
pandangan sendiri.
Kedua
kelompok “menghabiskan” energi hanya “bertengkar” cuma bahas RUU-KPK. Dan itu
mulai membosankan. Selain juga memuakkan.
Ditengah
“asap” yang mulai mendera, kedua kelompok sama sekali tidak menunjukkan
kepeduliannya. Bagaimana muaknya saya ketika Jokowi datang ke Riau kemudian
dijadikan meme.
Atau
kemudian menyebutkan persoalan asap akan mengganggu pelantikan.
Benar-benar
sadis. Yang dipikirkannya cuma “pertarungan” RUU KPK.
Atau
ketika saudara-saudara istri saya yang “terjebak” (alhamudlilah. Sudah
kembali), di Wamena, kedua kelompok kemudian masih “bertengkar’ dengan tema
yang sama.
Sejak
itu kemudian saya menjadi sadar. Kedua kelompok “merebutkan” pepesan kosong.
Cuma ekspreksi didunia maya.
Sehingga
tidak salah kemudian, suara-suara nurani menggumpal. Menghajar. Dan kemudian
meninggalkan musuh sambil melongo. Persis “tendangan pisang” David Becham.
Sehingga
media massa sekaliber nasional kemudian uring-uringan dan kemudian menuduh “citizen
journalist’ sebagai sampah, saya hanya tersenyum.
Persaingan
semakin ketat. Dunia semakin sempit. Kejujuran dan menjauhi dari prasangka
apalagi menuduh dengna menista justru akan membunuhmu.
Dan
si adik tidak ragu membunuh kakaknya.
“Dunia
sudah berubah, brow”. Menulislah dengan jujur. Kelak “pengunjung klikmu” akan
datang lagi.