\
Entah
“kurang membaca”, kurang gaul”, “kurang jauh jalan”, meme tentang ternak
menghiasi dinding lapak FB saya. Saya menyimak, memperhatikan bahkan kadangkala
harus berselancar untuk menangkap pesannya. Agar tidak keliru, apakah cuma
sekedar “menghebohkan” jagat dunia maya. Atau memang benar-benar “kurang
memahami” esensi dari pengaturan tentang hewan.
Meme
yang menghina akal dimulai ketika “apakah hewan perlu diatur” ? Pertanyaan ini “seakan-akan”
mengganggu nalar.
Terhadap
hewan-hewan cerdas seperti “kucing”, anjing” yang sering kita saksikan di
show-show televise, ada pengaturan tersendiri. Lihatlah. Bagaimana “anjing”
atau “kucing” yang diajarkan “jam makan”, tempat makan hingga tempat-tempat
tidur. Kesemuanya ada pelatihan khusus. Sehingga dapat dijadikan “teman bermain”
yang mengasyikkan. Atau “teman bermain” si Kecil.
Selain
itu juga dapat memberikan “rasa kasih sayang” dan “mencintai” sesame makhluk
Tuhan.
Hampir
seluruh putra-putriku mengenal kucing dirumah.
Dulu
pernah “sempat” memelihara anjing. Dan “suasana” lingkungan yang kurang
memungkinkan, apalagi dengan alasan “malaikat tidak masuk rumah”, akhirnya dibatalkan
kemudian.
Kucing
dan anjing relatif hewan yang “sahabat manusia”. Dan mudah dirawat.
Lalu
bagaimana seperti “kerbau, sapi, kambing, ayam” ?. Apakah “bisa diatur” seperti
Kucing dan anjing ?
Nah.
Pengaturan terhadap hewan juga mutlak diatur. Bukan hewannya diatur. Namun
pemiliknya.
Didalam
ilmu hukum. Hanya manusia yang diatur. Karena manusialah yang menjadi subjek
hukum (Naturaalijkpersoon).
Badan
hukum juga diatur. Namun karena badan hukum adalah “imajiner”, maka badan hukum
kemudian “diwakili” oleh pengurusnya (UU Perseroan Terbatas). Sehingga “pengurus”
yang tegas memilih “mewakili pengurus” badan hukum (sebagaimana ikrarnya
didalam akte notaris).
Begitu
juga negara. Negara kemudian “diwakili” pengurusnya (pejabat) yang bertindak
untuk dan atas nama negara. Mekanisme yang jamak dalam gugatan Perdata dan TUN.
Jadi.
Ketika pengaturan tentang hewan, maka yang diatur adalah “tanggungjawab”
pemilik hewan. Bukan “mengatur” hewan agar “tidak boleh ini” atau tidak boleh
itu. Sebagaimana didalam meme.
Sebagai
“guyonan”, saya hanya tersenyum. Namun ketika meme kemudian menggelinding,
akhirnya saya tersentak. Ini bukan sekedar guyonan. Tapi persoalan “logika”
berfikir yang sesat (mistake). Logika ini harus diluruskan.
Lalu
apakah “manusia” sebagai subyek hukum (naturaalijkpersoon) dapat “mewakili”
kesalahan dari ternak ?.
Apakah
bisa manusia harus menerima hukuman tanpa melakukan kesalahan ?
Sebelum
menjawab persoalan tersebut, didalam lapangan hukum pidana, mekanisme hukum di
Indonesia juga mengenal “Tilang”.
Seseorang
yang membonceng yang tidak menggunakan helm, maka “sang pengemudi kendaraan
yang ditilang’. Bukan yang dibonceng.
Apakah
kemudian kita “mencak-mencak” dan protes kepada polisi sambil berujar. “Saya
sudah pakai helm, pak. Harusnya bapak tilang yang tidak pakai helm !!!”.
Atau
ketika terjadinya kecelakaan lalulintas. Supir dari mobil angkutan umum “yang
bertanggungjawab tindak pidana lalulintas (kelalaian). Namun pemilik kendaraan
atau “perusahaan bus” yang mengurusi dana santunan. Termasuk juga berbagai
biaya pengobatan dari seluruh penumpang.
Masih
ingatkan ketika terjadinya kecelakaan pesawat terbang Lion beberapa waktu yang
lalu ? Apakah bisa maskapai kemudian bilang, “bukan saya yang pilot. Minta dong
dengan keluarga pilot.” Bisa begitu ?
Tidak.
Prinsip inilah yang kemudian dikenal “tanggungjawab pengganti”. Prinsip ini
kemudian diatur didalam berbagai ketentuan didalam peraturan
perundang-undangan.
Kembali
ke pengaturan tentang hewan. Ditengah masyarakat, pengaturan ini sudah masuk
kedalam Hukum Adat Jambi.
Seloko
seperti “humo bekandang siang. Ternak
bekandang malam”, adalah norma dan pengaturan terhadap hewan. Pemilik
ternak harus bertanggungjawab “mengatur” ternak. Pemilik ternak harus
bertanggungjawab terhadap ternak. Termasuk mengganti kerugian terhadap tanaman
akibat “ulah” ternaknya.
Sehingga
ketika norma ini menjadi norma yang jamak.
Sekedar
cerita. Di Belanda sendiri, seseorang yang memiliki “anjing” kemudian menyalak
tanpa henti ditengah malam, maka sang pemilik bisa diusir dari apartemen.
Pemilik “dianggap” tidak becus mengurusi anjingnya sehingga mengganggu
kenyamanan dari penghuni apartemen lainnya.
Sehingga
dengan prinsip “pengaturan ternak”, sudah diatur didalam Hukum Adat dan
kemudian menjadi norma yang jamak, pengaturan mengenai ini didalam RUU-KUHP
adalah sebuah kelaziman. Bukan sebuah “logika” yang kacau.
Tidak
ada yang aneh mengenai pengaturannya.
Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat www.musri-nauli.blogspot.com