29 September 2019

opini musri nauli : Manusia dan hewan

\


Entah “kurang membaca”, kurang gaul”, “kurang jauh jalan”, meme tentang ternak menghiasi dinding lapak FB saya. Saya menyimak, memperhatikan bahkan kadangkala harus berselancar untuk menangkap pesannya. Agar tidak keliru,  apakah cuma  sekedar “menghebohkan” jagat dunia maya. Atau memang benar-benar “kurang memahami” esensi dari pengaturan tentang hewan.
Meme yang menghina akal dimulai ketika “apakah hewan perlu diatur” ? Pertanyaan ini “seakan-akan” mengganggu nalar.

Terhadap hewan-hewan cerdas seperti “kucing”, anjing” yang sering kita saksikan di show-show televise, ada pengaturan tersendiri. Lihatlah. Bagaimana “anjing” atau “kucing” yang diajarkan “jam makan”, tempat makan hingga tempat-tempat tidur. Kesemuanya ada pelatihan khusus. Sehingga dapat dijadikan “teman bermain” yang mengasyikkan. Atau “teman bermain” si Kecil.

Selain itu juga dapat memberikan “rasa kasih sayang” dan “mencintai” sesame makhluk Tuhan.

Hampir seluruh putra-putriku mengenal kucing dirumah.

Dulu pernah “sempat” memelihara anjing. Dan “suasana” lingkungan yang kurang memungkinkan, apalagi dengan alasan “malaikat tidak masuk rumah”, akhirnya dibatalkan kemudian.

Kucing dan anjing relatif hewan yang “sahabat manusia”. Dan mudah dirawat.

Lalu bagaimana seperti “kerbau, sapi, kambing, ayam” ?. Apakah “bisa diatur” seperti Kucing dan anjing ?

Nah. Pengaturan terhadap hewan juga mutlak diatur. Bukan hewannya diatur. Namun pemiliknya.

Didalam ilmu hukum. Hanya manusia yang diatur. Karena manusialah yang menjadi subjek hukum (Naturaalijkpersoon).

Badan hukum juga diatur. Namun karena badan hukum adalah “imajiner”, maka badan hukum kemudian “diwakili” oleh pengurusnya (UU Perseroan Terbatas). Sehingga “pengurus” yang tegas memilih “mewakili pengurus” badan hukum (sebagaimana ikrarnya didalam akte notaris).

Begitu juga negara. Negara kemudian “diwakili” pengurusnya (pejabat) yang bertindak untuk dan atas nama negara. Mekanisme yang jamak dalam gugatan Perdata dan TUN.

Jadi. Ketika pengaturan tentang hewan, maka yang diatur adalah “tanggungjawab” pemilik hewan. Bukan “mengatur” hewan agar “tidak boleh ini” atau tidak boleh itu. Sebagaimana didalam meme.

Sebagai “guyonan”, saya hanya tersenyum. Namun ketika meme kemudian menggelinding, akhirnya saya tersentak. Ini bukan sekedar guyonan. Tapi persoalan “logika” berfikir yang sesat (mistake). Logika ini harus diluruskan.

Lalu apakah “manusia” sebagai subyek hukum (naturaalijkpersoon) dapat “mewakili” kesalahan dari ternak ?.

Apakah bisa manusia harus menerima hukuman tanpa melakukan kesalahan ?

Sebelum menjawab persoalan tersebut, didalam lapangan hukum pidana, mekanisme hukum di Indonesia juga mengenal “Tilang”.

Seseorang yang membonceng yang tidak menggunakan helm, maka “sang pengemudi kendaraan yang ditilang’. Bukan yang dibonceng.

Apakah kemudian kita “mencak-mencak” dan protes kepada polisi sambil berujar. “Saya sudah pakai helm, pak. Harusnya bapak tilang yang tidak pakai helm !!!”.

Atau ketika terjadinya kecelakaan lalulintas. Supir dari mobil angkutan umum “yang bertanggungjawab tindak pidana lalulintas (kelalaian). Namun pemilik kendaraan atau “perusahaan bus” yang mengurusi dana santunan. Termasuk juga berbagai biaya pengobatan dari seluruh penumpang.

Masih ingatkan ketika terjadinya kecelakaan pesawat terbang Lion beberapa waktu yang lalu ? Apakah bisa maskapai kemudian bilang, “bukan saya yang pilot. Minta dong dengan keluarga pilot.” Bisa begitu ?

Tidak. Prinsip inilah yang kemudian dikenal “tanggungjawab pengganti”. Prinsip ini kemudian diatur didalam berbagai ketentuan didalam peraturan perundang-undangan.

Kembali ke pengaturan tentang hewan. Ditengah masyarakat, pengaturan ini sudah masuk kedalam Hukum Adat Jambi.

Seloko seperti “humo bekandang siang. Ternak bekandang malam”, adalah norma dan pengaturan terhadap hewan. Pemilik ternak harus bertanggungjawab “mengatur” ternak. Pemilik ternak harus bertanggungjawab terhadap ternak. Termasuk mengganti kerugian terhadap tanaman akibat “ulah” ternaknya.

Sehingga ketika norma ini menjadi norma yang jamak.

Sekedar cerita. Di Belanda sendiri, seseorang yang memiliki “anjing” kemudian menyalak tanpa henti ditengah malam, maka sang pemilik bisa diusir dari apartemen. Pemilik “dianggap” tidak becus mengurusi anjingnya sehingga mengganggu kenyamanan dari penghuni apartemen lainnya.

Sehingga dengan prinsip “pengaturan ternak”, sudah diatur didalam Hukum Adat dan kemudian menjadi norma yang jamak, pengaturan mengenai ini didalam RUU-KUHP adalah sebuah kelaziman. Bukan sebuah “logika” yang kacau.

Tidak ada yang aneh mengenai pengaturannya.

Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,


Opini Musri Nauli dapat dilihat www.musri-nauli.blogspot.com