24 September 2019

opini musri nauli : Negara mengurusi selangkangan




Entah mengapa kata “Selangkangan” begitu menjijikkan ketika menjadi tema didalam aksi-aksi menolak RUU-KUHP. Kata-kata kasar yang menggambarkan bagaimana “paranoid” perumus RUU-KUHP dan kemudian menggelinding menjadi tema yang menyentak orang banyak.

Entah mengapa saya suka kata “Selangkangan” sebagai respon serius terhadap upaya “kriminalisasi” urusan ranjang. Entah mengapa kata ini kemudian menggambarkan “upaya kontrol negara” didalam urusan ranjang.

Benar. Agama justru melarang “hubungan seks” bukan “Suami istri”. Agama apapun di Indonesia menjunjung tinggi lembaga perkawinan. Lihatlah makna Pasal 1 ayat (1)  Perkawinan yang menyebutkanPerkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Penghormatan terhadap lembaga perkawinan begitu agung. Sehingga UU Perkawinan justru menganut asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan). UU Perkawinan tetap membuka ruang untuk “poligami”. Dengan persyaratan yang cukup ketat (Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan).

Makna yang agung ini kemudian justru hendak direduksi dengan ramainya ajakan poligami berbagai tokoh-tokoh agama. Dan justru malah mengabaikan makna luhur dari UU Perkawinan.

Hukum adat juga menjunjung tinggi. Di Jambi, persoalan kesusilaan kemudian dikenal sebagai norma “salah bujang dengan gadis’. Sebagaimana didalam Seloko “Duduk mengintai gelap. Tegak mengintai sunyi’. Muda-mudi dilarang berduaan. Ditempat sepi.

Sanksi berat. Selain dijatuhi denda adat (kambing sekok, beras 20 gantang, selemak semanis) juga harus dikawinkan. Supaya tidak timbul fitnah kepada perempuan.

Itu sudah cukup.

Lalu mengapa kemudian norma-norma agama dan norma adat kemudian malah “dikuatkan” menjadi norma hukum. Apakah agama dan adat tidak mampu mencegah agar manusia Indonesia “akan patuh” ? Siapa yang mendompleng RUU-KUHP sehingga ditikungan terakhir kemudian menggelinding “issu selangkangan” dan kemudian  memantik polemik.

Dalam ranah dan fungsi negara, negara hanya boleh mengatur kehidupan publik. Negara tidak dibenarkan mengatur kehidupan pribadi manusia.

Dalam istilah yang sering saya gunakan, “kontrol” negara berhenti sampai pintu rumah. Negara tidak dibenarkan untuk memasuki kerumah orang. Urusan didalam rumah adalah urusan privat. Negara tidak dibenarkan “campur tangan” mengenai urusan privat. Apalagi “mengurusi ranjang”.

Namun akhir-akhir ini, paranoid “negara” begitu dominan mengatur kehidupan privat. Bukankah masih ingat ketika adanya Perda yang mengatur “pakaian perempuan”. Atau ada ajakan untuk mengatur “duduk perempuan” diatas sepeda motor ? Mengapa “negara” dengan “alat paksa” lebih suka mengatur pakaian dan perilaku perempuan yang “sebenarnya’ masuk wilayah privat ?

Tema ini sudah lama saya khawatirkan. Ketika kasus Ariel-Peterpan menarik perhatian publik, saya sudah menuliskannya “Mengintip Kamar Artis” (7 Agustus 2010).

Begitu juga ada anggota DPRD Provinsi Jambi yang mempersoalkan “keperawanan”, saya juga menuliskannya “Memaknai Keperawanan Dari Sudut Sistem Sosial (30 September 2010).

Dan 7 tahun kemudian. Ketika tokoh agama kemudian “dikriminalisasi” dengan urusan ranjang, saya kemudian menuliskan “Ketika Negara Mengurusi Ranjang” (Februari 2017).

Nah. Didalam RUU-KUHP, lagi-lagi tema ini kemudian menjadi dominan. Publik kemudian tersentak. Ketika RUU-KUHP mulai menampakkan “watak” negara yang hendak mengontrol rakyatnya. Termasuk “urusan rumah” dan urusan ranjang”.

Apakah tidak pernah terpikirkan bagaimana penerapan KUHP ?

Apakah “Polisi” kurang kerjaan sehingga harus menambah kerjaan Polisi ? Apakah Polisi setiap malam mengintip setiap hotel, setiap kost-kostan, anak-anak remaja yang menyelinap malam-malam, bapak-bapak genit dan tante-tante nakal ? Sebagaimana dikeluhkan salah satu teman saya di status FB-nya.

Apakah “kurang kerjaan” dari perumus UU sehingga membebankan kerjaan polisi yang sudah seabrek-abrek tugas dan fungsinya menjaga ketertiban ?

Mengapa kita tidak mengembalikan hakekat negara. Yang berfungsi sebagai “alat ketertiban” (law and order). Negara hanyalah berkewajiban menjaga ketertiban umum dan melindungi kebebasan warga negara.

Fungsi negara melindungi hak masyarakat dengan UU, menciptakan keamanan negara, tidak boleh mengurusi urusan pribadi (privat). Sehingga negara hadir ketika adanya “gangguan” yang mengancam hak-hak masyarakat. Bukan sibuk “mengurusi” urusan moral.

Biarlah fungsi “moral” menjadi ranah agama dan adat. Bukankah sebagai manusia Indonesia yang beragama dan beradat pasti menjunjung nilai-nilai kesusilaan. Bukankah Agama dan adat justru menempatkan keagungan dan penghormataan kesusilaan.



Advokat. Tinggal di Jambi



-->