03 Agustus 2018

opini musri nauli : Cukai



Cukai dikenal ditengah masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesai “cukai diartikan sebagai pajak atau bea yang dikenakan pada barang impor dan barang konsumsi. Atau “sebagian dari hasil tanah seperti sawah, ladang yang wajid disetorkan kepada tuan atau pemilik tanah sebagai ongkos tanah”.

02 Agustus 2018

opini musri nauli : NARASI KEBANGSAAN - NEGARA HUKUM



NARASI KEBANGSAAN
NEGARA HUKUM

Negara Indonesia adalah negara hukum[1]. Sebagai negara hukum (rechtsstaat) maka bukan negara berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Makna “rechtsstaat” kemudian bersandarkan kepada sistem Eropa kontintental.

01 Agustus 2018

opini musri nauli : KEKELIRUAN TAFSIR ENVIROMENTAL DEFENDER



Didalam memahami UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (UU PPLH), roh dan pondasi penting kemudian dilihat dari “Daya dukung[1] dan “daya tampung[2]. Roh “daya dukung” dan “daya tampung” haruslah menjadi nilai-nilai yang memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dari “kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun” dan “mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya”[3].

31 Juli 2018

opini musri nauli : PESONA POLITIK INDONESIA



Akhir-akhir ini gonjang-ganjing politik kontemporer mulai menarik perhatian public. Pertemuan pimpinan 6 partai pendukung Jokowi di Istana kemudian disambut dengan pertemuan SBY – Prabowo di Kuningan. Politik kemudian mengarah kepada bakal calon Presiden yang mengerucut kepada Jokowi dan Prabowo. Jokowi kemudian menjadi sorotan. Namun SBY yang menjadi bintang. Bintang yang menguasai panggung dan menggunakan medium sebagai “centrum’ untuk mengendalikan issu.

opini musri nauli : MEMAHAMI DIKSI SETAN


           
Akhir-akhir ini, kita dipaksa menerima pemberitaan tentang politik yang menggunakan kata “Setan’. Entah apa yang dimaksudkan dengan kata “setan’. Namun kata itu ditujukan diluar kelompok yang dimaksudkan.


Kata “Setan” dimulai dari “laskar” yang bertujuan untuk menghancurkan “setan”, maka kata “setan” kemudian mengemuka.

Kata Setan menjadi “Demarkansi” yang memisahkan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Menjadi pembatas dan pembeda. Garis yang kemudian menjadi “medan tarung” sebagai perjuangan politik.

30 Juli 2018

opini musri nauli : PANTANG LARANG (3)



Selain mengatur pantang larang terhadap daerah-daerah yang tidak boleh dibuka seperti “Teluk sakti. Rantau Betuah, Gunung Bedewo”, “rimbo sunyi”, “hutan keramat, “hutan Puyang”, “Hutan betuah”, “Hutan hantu pirau” dan pantang larang terhadap hewan dan tumbuhan tertentu, pantang larang terhadap perilaku terhadap alam juga dikenal.

‘Tidak dibenarkan menyebut nama “harimau”. Harimau adalah salah satu hewan yang dihormati dan disebutkan dengan penamaan “nenek” atau “datuk”.

29 Juli 2018

opini musri nauli : IDENTITAS POLITIK DALAM POLITIK DI INDONESIA



IDENTITAS POLITIK DALAM POLITIK DI INDONESIA[1]
Musri Nauli[2]

Ketika tema “penduduk asli”, “putra daerah”, “Pribumi” mulai menggejala dan memenuhi wacana public, secara sekilas saya kemudian menjadi resah. Apakah kita memang dilahirkan sebagai  “penduduk asli”, “putra daerah”, “pribumi” sehingga menjadi berbeda. Berbeda dimata hukum, politik dan budaya ?

28 Juli 2018

opini musri nauli : Homo Socius



Sebagai “homo socius (makhluk social)”, dalam satu tema maka dibutuhkan  dialog, perdebatan bahkan polemic. Tentu saja yang dibutuhkan bukanlah “mencari siapa pemenang”. Namun argumentasi yang dipaparkan sehingga pembahasan menjadi luas, komprehensif dan memperkaya gagasan.

27 Juli 2018

opini musri nauli : KURANG GIZI


Akhir-akhir ini, gonjang-ganjing politik di Jambi dihebohkan dengan pernyataan tentang kurang gizi di Jambi yang mencapai 30%. Bahkan angka nasional mencapai 40 %. Angka yang cukup mengerikan dan dapat meninggalkan generasi “kurang gizi”.

Sayapun kaget. Apakah angka 30% busung lapar di Jambi dan 40% di Indonesia sudah mengintai kita. Apakah angka itu begitu mengerikan sehingga kita lalai atau luput memperhatikannya.

opini musri nauli : PKB – PEMENANG PILPRES


Mengikuti kiprah PKB sebagai “wadah politik NU’ menarik perhatian public. Ditengah kader nahdiyin yang sudah tersebar di berbagai partai baik Partai Golkar, PDIP maupun Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kehadiran PKB menjadi “oase” kaum nahdiyin yang sering “ditinggalkan” oleh pemenang pemilu. Entah zaman Soekarno maupun zaman Soeharto.