Sebagai
“homo socius (makhluk social)”, dalam satu tema maka dibutuhkan dialog, perdebatan bahkan polemic. Tentu saja
yang dibutuhkan bukanlah “mencari siapa pemenang”. Namun argumentasi yang
dipaparkan sehingga pembahasan menjadi luas, komprehensif dan memperkaya
gagasan.
Kemampuan
untuk menyampaikan gagasan bertujuan untuk menjaga aras pikiran tetap normal, bahkan
menambah sudut pandang melihat satu persoalan dari sudut pandang yang lain. Sehingga
kita dapat menjaga dialog menjadi sebuah peradaban.
Namun
akhir-akhir ini suasana itu tidak ditemukan. Entah “kurang pemahaman”, kurang
membaca, ngotot tidak berdasar hingga “tidak membuka ruang” untuk mendengarkan
penjelasan pihak lain.
Di
sebuah acara TV, dapat dilihat seorang yang mengaku sebagai “filosof” dengan
enteng menyampaikan “tidak perlu saya
mendengarkan penjelasan dari kamu. Karena yang hadir bukanlah dari Direktur”.
Sambil tertawa kecil saya kemudian meneruskan membaca. Ciri dari pikiran yang
tertutup mendengarkan penjelasan pihak lain.
Dalam
tema yang paling hangat seperti issu korupsi, ketika dibentangkan pemimpin yang
dituduh korupsi, tanpa “ba-bi-bu”
koment langsung keluar. “Bagaimana kasus
BLBI ?”.
Yang
mengganggu nurani saya adalah “apakah
tidak malu sebagai umat terbesar, namun pemimpin menggunakan isu agama malah
tersangkut kasus”. Tapi entahlah. Mungkin plesetan hasil korupsi dianggap
sebagai “fa’i’. Dianggap hasil rampasan perang.
Tema
yang begitu kuat sehingga tokohnya bisa sambil melambaikan tangan keluar dari
gedung KPK sambil cengar-cengir. Persis anak ABG keluar dari bioskop. TIdak
lupa menyebutkan nama “Tuhan” sembari menyebutkan peristiwa ini adalah musibah.
Lagi-lagi saya tersenyum. Desain “fa’I”
begitu kuat sehingga tidak menjadikan korupsi sebagai “kejahatan”.
Dalam
kesempatan berdiskusi, berdialog bahkan membahas satu tema tertentu, pemikiran
tentang “argumentasi” yang dipaparkan lebih menampakkan pemikiran untuk
mengalihkan persoalan.
Contoh
seperti “bagaimana kasus BLBI” adalah
menampakkan pemikiran “mengalihkan”
persoalan. Cara ini dikenal didalam ranah filsafat. Logika yang dipaparkan
menampakkan “kesesatan” premis. Sang
penutur hendak “mengalihkan”
persoalan namum menyodorkan tema lain untuk membahasnya sehingga melupakan “tema”
yang tidak mampu dijawabnya.
Sedangkan
contoh seperti “keengganan sang penutur
yang mengaku filosof” yang enggan menerima penjelasan dari pihak lain dikenal
sebagai “kesesatan” argumentum ad hominin.
Argumentasi yang dipaparkan yang dipaparkan beralih dari pokok pembahasan
menjadi persoalan pribadi atau orang.
Argumentasi
yang kemudian tidak mampu dijelaskan dari sang penutur membuktikan kedangkalan
pemikiran, terjebak dengan pemikiran sendiri, mengalihkan persoalan hingga bertujuan
“melindungi pemikiran” yang tidak mampu ditangkal.
Sebaiknya
kita meninggalkan perdebatan. Kaum sufi sendiri pernah mengingatkan. “Tinggalkan
perdebatan yang tidak ada manfaatnya. walaupun kau benar’.