28 Juli 2018

opini musri nauli : Homo Socius



Sebagai “homo socius (makhluk social)”, dalam satu tema maka dibutuhkan  dialog, perdebatan bahkan polemic. Tentu saja yang dibutuhkan bukanlah “mencari siapa pemenang”. Namun argumentasi yang dipaparkan sehingga pembahasan menjadi luas, komprehensif dan memperkaya gagasan.
Kemampuan untuk menyampaikan gagasan bertujuan untuk menjaga aras pikiran tetap normal, bahkan menambah sudut pandang melihat satu persoalan dari sudut pandang yang lain. Sehingga kita dapat menjaga dialog menjadi sebuah peradaban.

Namun akhir-akhir ini suasana itu tidak ditemukan. Entah “kurang pemahaman”, kurang membaca, ngotot tidak berdasar hingga “tidak membuka ruang” untuk mendengarkan penjelasan pihak lain.

Di sebuah acara TV, dapat dilihat seorang yang mengaku sebagai “filosof” dengan enteng menyampaikan “tidak perlu saya mendengarkan penjelasan dari kamu. Karena yang hadir bukanlah dari Direktur”. Sambil tertawa kecil saya kemudian meneruskan membaca. Ciri dari pikiran yang tertutup mendengarkan penjelasan pihak lain.

Dalam tema yang paling hangat seperti issu korupsi, ketika dibentangkan pemimpin yang dituduh korupsi, tanpa “ba-bi-bu” koment langsung keluar. “Bagaimana kasus BLBI ?”.

Yang mengganggu nurani saya adalah “apakah tidak malu sebagai umat terbesar, namun pemimpin menggunakan isu agama malah tersangkut kasus”. Tapi entahlah. Mungkin plesetan hasil korupsi dianggap sebagai “fa’i’. Dianggap hasil rampasan perang.

Tema yang begitu kuat sehingga tokohnya bisa sambil melambaikan tangan keluar dari gedung KPK sambil cengar-cengir. Persis anak ABG keluar dari bioskop. TIdak lupa menyebutkan nama “Tuhan” sembari menyebutkan peristiwa ini adalah musibah. Lagi-lagi saya tersenyum. Desain “fa’I” begitu kuat sehingga tidak menjadikan korupsi sebagai “kejahatan”.

Dalam kesempatan berdiskusi, berdialog bahkan membahas satu tema tertentu, pemikiran tentang “argumentasi” yang dipaparkan lebih menampakkan pemikiran untuk mengalihkan persoalan.

Contoh seperti “bagaimana kasus BLBI” adalah menampakkan pemikiran “mengalihkan” persoalan. Cara ini dikenal didalam ranah filsafat. Logika yang dipaparkan menampakkan “kesesatan” premis. Sang penutur hendak “mengalihkan” persoalan namum menyodorkan tema lain untuk membahasnya sehingga melupakan “tema” yang tidak mampu dijawabnya.

Sedangkan contoh seperti “keengganan sang penutur yang mengaku filosof” yang enggan menerima penjelasan dari pihak lain dikenal sebagai “kesesatan” argumentum ad hominin. Argumentasi yang dipaparkan yang dipaparkan beralih dari pokok pembahasan menjadi persoalan pribadi atau orang.

Argumentasi yang kemudian tidak mampu dijelaskan dari sang penutur membuktikan kedangkalan pemikiran, terjebak dengan pemikiran sendiri, mengalihkan persoalan hingga bertujuan “melindungi pemikiran” yang tidak mampu ditangkal.

Sebaiknya kita meninggalkan perdebatan. Kaum sufi sendiri pernah mengingatkan. “Tinggalkan perdebatan yang tidak ada manfaatnya. walaupun kau benar’.