IDENTITAS POLITIK DALAM POLITIK DI INDONESIA[1]
Musri Nauli[2]
Ketika
tema “penduduk asli”, “putra daerah”,
“Pribumi” mulai menggejala dan memenuhi wacana public, secara sekilas saya
kemudian menjadi resah. Apakah kita memang dilahirkan sebagai “penduduk asli”, “putra daerah”, “pribumi”
sehingga menjadi berbeda. Berbeda dimata hukum, politik dan budaya ?
Secara
Politik, tema “putra daerah” sering digunakan dalam kaitan Pemilu. Entah
menjelang Pileg ataupun pilkada. Tema ini “laris manis’ sehingga sering digunakan
menjadi “identitas” dan pembeda antara satu pihak dengan lain.
Padahal
tema “putra daerah” sering tidak relevan hasil pilkada. Beberapa pilkada justru
issu ini tidak menarik perhatian pemilih. Hasil pilkada berbeda dengan harapan
yang mengusung isu “putra daerah”.
Sedangkan
istilah “pribumi” kemudian dilekatkan kepada “identitas” mengusung calon.
Akhir-akhir ini tema ini kemudian laris dan menjadi pembeda antara satu
kelompok dengan kelompok lain.
Didalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata “pribumi” mengandung makna “penghuni
asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Dengan demikian maka makna
pribumi kemudian dapat merujuk kepada “penduduk asli’ yang kemudian menempati
daerah yang cukup lama. Makna ini lebih “moderat” dengan kata “pribumi”
sebenarnya merupakan definisi yang diberikan colonial belanda didalam melakukan
penafsiran “inlander”.
Lalu siapakah penghuni
asli yang mendiami tempat dengan jangka waktu yang lama ?. Apakah kita mau
mengikuti teori migrasi penduduk pada masa sebelum manusia modern (homo
erectus) sekitar 1,5 – 1,7 juta tahun yang lalu yang berasal dari Afrika ? Atau
masa gelombang kedua pada masa “homo sapiens” pada masa 100 ribu tahun yang
lalu ? Atau masa Melayu-austronesia” sekitar
5 ribu tahun yang lalu yang datang
dengan teknologi cukup maju dengan “kano bercadik dua” yang kemudian juga
dikenal sebagai “proto Melayu” ?
Kita juga tidak dapat
memungkiri tentang kedatangan “deutro Melayu” yang sudah membawa berbagai
teknologi seperti perairan, bertani, mengenal musim dan berbagai teknologi
lainnya seperti ukiran.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi,
sejarah kedatangan penduduk (Puyang).
Didataran
tinggi Jambi dikenal daerah Kerinci, Sungai Tenang, Serampas sebagai pusat
peradaban pada masa prasejarah.
Teknologi
batu yang biasa dikenal sebagai Megalitik[3]
pada masa neolitik dan memanfaatkan benda-benda yang terdapat di lingkungan
sekitarnya. Bukti ini sekaligus konfirmasi tentang adanya mobilitas penduduk
dari satu tempat ke tempat lain dengan konsepsi-konsepsi bercorak megalitik
yang bercocok tanam[4].
Di
Ulu Tiangko, Merangin ditemukan fosil sisa rangka manusia yang memiliki
ciri-ciri Australomelanesid di Ulu Tiangko, Propinsi Jambi yang berusia
6000-9000 tahun yang lalu[5].
Megalitik
juga terdapat di Serampas, Sungai Tenang dan Peratin Tuo[6].
Bahkan juga ditemukan Megalit di Dusun Tuo Dan Tanjung Putih (Nilo Dingin)[7].
Sedangkan
cerita yang beredar di masyarakat dikenal dengan Legenda Si Pahit Lidah[8]
dan Kecik
Wong Gedang Wok[9].
Begitu juga dengan
kedatangan Turki dalam legenda Datuk Paduko Berhalo, Marga Tungkal ulu dan
Marga Kumpeh Ilir dikenal Puyang berasal dari Turki.
Ada
juga yang menyebutkan dari Pagaruyung[10],
Jawa Mataram, Jawa Majapahit, Arab atau Turki, Indrapura dan Kerinci. Seloko
seperti “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu
maka Beraja ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke
Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat
antara masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Pagaruyung.
Terhadap
kedatangan penduduk ke wilayah di Jambi sangat terbuka. Seloko seperti “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung
dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan
adalah perumpaan keterbukaan
masyarakat dengan pendatang[11].
Atau “mencari induk semang”, “nasi putih air jernih[12],
“tanah pemberian” seperti “tanah irung. Tanah gunting” [13],
“ujung batin” [14], membuktikan
masyarakat Jambi kemudian memberikan hak tanah kepada para pendatang dari luar
dusun. Sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan. Baik dengan penduduk
semula tinggal didusun maupun pendatang. Sebagaiman seloko “Ke langit sama dikadah. Ke bumi sama
dikutungkan. Darah samo dikacau, daging samo dikimpal[15]”. Atau “ke bukit samo mendaki. Ke lurah samo
menurun”. “Seiring-sejalan”. Atau juga sering
disebut ”ada samo dimakan. Dak ado samo
ditelan”.
Ada
juga menyebutkan Bak aur dengan
tebing, tebing sayang ke aur, aur sayang dek tebing, tebing runtuh aur tebawo”[16].
Sebagai “karang Setio” dengan Seloko Sebingkah
Tanah. Sekaki Payung. Ke aek Samo-samo di perikan. Ke darat samo-samo di paumo” [17].
Istilah
“pribumi” dilekatkan oleh colonial Belanda yang kemudian membagi golongn
penduduk Indonesia. Belanda kemudian menempatkan pasal 131 Indische
Staatsregeling (IS) dan kemudian membagi tiga golongan yaitu Eropa
(Europeanen), Timur Asing (vreemde
oosterlingen) dan Bumi putra (inlander).
Didalam pasal 131 ayat (1) IS
disebutkan “Hukum Perdata dan Hukum Dagang serta Hukum Pidana demikian juga
Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana diatur dengan Ordonat”.
Sedangkan pasal 131 ayat 2 IS
menyebutkan “Dalam ordonantie yang mengatur Hukum Perdata dan Hukum
Dagang untuk orang-orang Eropa diikuti dengan undang-undang yang berlaku di
negeri Belanda”.
Sehingga menggunakan istilah
“pribumi” berarti menempatkan kembali mental “inlander” dalam rumpun penduduk
ketiga. Sebuah sikap inferior yang tidak relevan lagi dengan semangat
kemerdekaan.
Lihat ketika para pemuda yang
kemudian merumuskan sikap politiknya tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian
mendeklarasikan didalam “Poetoesan
Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia” tahun 1928 yang kemudian berikrar dengan
menggunakan kata “Pemoeda-Pemoedi
Indonesia”. Kata “Pemoeda-Pemoedi Indonesia” kemudian
mengelimir “pribumi”.
Secara
hukum setelah Indonesia merdeka, maka istilah “pribumi” menjadi tidak relevan
lagi. Penghapusan penggolongan
penduduk kemudian dapat dilihat didalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1)
konstitusi. Begitu juga diatur didalam UU No. 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara
dan Penduduk Negara, UU No. 62 Tahun 1958 junto UU no. 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan. Selain itu dapat dilihat didalam UU No. 26 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan. Kesemuanya kemudian menyatakan sebagai “penduduk”
Indonesia.
Siapakah
yang disebutkan “Indonesia asli” Indonesia ?. Kata “Indonesia asli” dapat dijumpai didalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum diamandemen). Didalam pasal 6
ayat (1) kemudian disebutkan “Presiden
ialah orang Indonesia asli”. Ketentuan ini kemudian mengalami perubahan
didalam amandemen ketiga yang kemudian menyebutkan “Calon
Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya
sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan
jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
Begitu juga kata “Indonesia asli” mengenai kategori
warganegara yang disebutkan didalam pasal 6 konstitusi (sebelum amandemen) “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga negara. Makna ini masih termaktub jelas didalam UUD 1945 setelah diamandemen.
Dengan
demikian maka berdasarkan sejarah kedatangan, budaya dan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, maka seluruh “orang” yang bermukim maka
kemudian disebut sebagai penduduk. Mendapatkan hak dan kewajiban yang sama
antara satu dengan yang lain. Sehingga menjadi tidak relevan lagi untuk membagi
kategori atau pengkotak-kotakkan antara satu dengan yang lain.
Menggunakan
identitas sebagai “bagian” dari politik tidak mendapatkan dukungan di kancah
politik. Pemilu 1999 kemudian memenangkan PDIP (33,12 %), Partai Golkar
(25,97%) dan PPP (12,55%). Posisi yang kemudian berubah pemilu 2004 menjadi
Partai Golkar 23,27%), PDIP (19,28%) dan PPP (10,55%), Partai Demokrat (10 %)
dan PKB (9,45%).
Kemudian
pada pemilu 2009 Komposisi yang kemudian bergeser menjadi PDIP (18,95 %), Partai Golkar (14,75 %),
Partai Gerindra (11,81 %) dan Partai Demokrat (10,19 %).
PPP Kemudian dibawah PKB
(9,04 %), PAN (7,59 %) dan PKS (6,79 %). PPP hanya meraih PPP (6,53%).
Bahkan Pemilu 2014, PDI
menjadi kampiuan (18,95 %), Partai Golkar (14,75 %), Partai Gerindra (10,19 %)
dan Partai Demokrat (9,04 %).
Membaca angka-angka
diatas, maka Partai yang mengusung tema yang universal nasionalis menjadi
pemenang Pemilu dan runner up. Trend yang terus naik dari pemilu 2004 hingga
menjadi di Pemilu 2014.
Sehingga tidak salah
kemudian tema “nasionalis” menjadi daya Tarik pemilih dan mulai meninggalkan
identitas kelompok di Pemilu.
Baca : Inlander dan Makna Inlander
[4] Sutaba, Masyarakat megalitik di Indonesia, Balai
Arkeologi, Bandung, 1996, Hal. 1
[8]
Dahulu hiduplah raja banting yang selalu mengadakan perlawanan dengan di mata
Empat dan Si Pahit Lidah. Suatu kali Raja Banting sedang menyusun batu gedung
untuk dijadikan lantak lukah pemasang takalok penangkap ikan. Belum selesai
menyusun batu, Raja Banting disapa oleh Si pahit Lidah. Setelah disapa,
batu-batu yang telah disusun menjadi runtuh. Sampai sekarang masih terlihat
batu yang runtuh di Desa Batu Basawar.
Demikian seterusnya seperti Lubuk Si Lanca Tiang atau Lubuk Bubur
Tabayak, Lubuk Idung Kerbau. Struktur
Sastra Lisan Daerah Jambi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud,
Jakarta, 1997, Hal. 77.
[9]
S. R Hasibuan S.R, Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lanskap
Budaya Rumah Larik Limo Luhah di Kota Sungai Penuh, Kerinci, Provinsi Jambi,
Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor, 2010 dalam Yoni Elviandi, Studi
Potensi Lanskap Sejarah Suku Kerinci di Provinsi Jambi, IPB, Bogor, 2014, Hal.
24
[10] Hampir semuanya mengaku keturunan dari
Pagaruyung. Baik dari Marga Sungai Tenang, Marga Batin Pengambang, Marga Sumay,
Marga Serampas.
[11] Hamzah Raden, Pertemuan di Desa
Teluk Singkawan, 16 Maret 2013.
[13] Riset Walhi Jambi, 2013
[14] Profile Desa Beringin Tinggi Kecamatan Sungai
Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
[15] Pertemuan di Muara Siau, Muara Siau, Mei 2011