29 Juli 2018

opini musri nauli : IDENTITAS POLITIK DALAM POLITIK DI INDONESIA



IDENTITAS POLITIK DALAM POLITIK DI INDONESIA[1]
Musri Nauli[2]

Ketika tema “penduduk asli”, “putra daerah”, “Pribumi” mulai menggejala dan memenuhi wacana public, secara sekilas saya kemudian menjadi resah. Apakah kita memang dilahirkan sebagai  “penduduk asli”, “putra daerah”, “pribumi” sehingga menjadi berbeda. Berbeda dimata hukum, politik dan budaya ?

Secara Politik, tema “putra daerah” sering digunakan dalam kaitan Pemilu. Entah menjelang Pileg ataupun pilkada. Tema ini “laris manis’ sehingga sering digunakan menjadi “identitas” dan pembeda antara satu pihak dengan lain.

Padahal tema “putra daerah” sering tidak relevan hasil pilkada. Beberapa pilkada justru issu ini tidak menarik perhatian pemilih. Hasil pilkada berbeda dengan harapan yang mengusung isu “putra daerah”.

Sedangkan istilah “pribumi” kemudian dilekatkan kepada “identitas” mengusung calon. Akhir-akhir ini tema ini kemudian laris dan menjadi pembeda antara satu kelompok dengan kelompok lain.

Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “pribumi” mengandung makna “penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Dengan demikian maka makna pribumi kemudian dapat merujuk kepada “penduduk asli’ yang kemudian menempati daerah yang cukup lama. Makna ini lebih “moderat” dengan kata “pribumi” sebenarnya merupakan definisi yang diberikan colonial belanda didalam melakukan penafsiran “inlander”.

Lalu siapakah penghuni asli yang mendiami tempat dengan jangka waktu yang lama ?. Apakah kita mau mengikuti teori migrasi penduduk pada masa sebelum manusia modern (homo erectus) sekitar 1,5 – 1,7 juta tahun yang lalu yang berasal dari Afrika ? Atau masa gelombang kedua pada masa “homo sapiens” pada masa 100 ribu tahun yang lalu ? Atau masa Melayu-austronesia” sekitar  5 ribu tahun yang lalu  yang datang dengan teknologi cukup maju dengan “kano bercadik dua” yang kemudian juga dikenal sebagai “proto Melayu” ?

Kita juga tidak dapat memungkiri tentang kedatangan “deutro Melayu” yang sudah membawa berbagai teknologi seperti perairan, bertani, mengenal musim dan berbagai teknologi lainnya seperti ukiran.

Ditengah masyarakat Melayu Jambi, sejarah kedatangan penduduk (Puyang).

Didataran tinggi Jambi dikenal daerah Kerinci, Sungai Tenang, Serampas sebagai pusat peradaban pada masa prasejarah.

Teknologi batu yang biasa dikenal sebagai Megalitik[3] pada masa neolitik dan memanfaatkan benda-benda yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Bukti ini sekaligus konfirmasi tentang adanya mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat lain dengan konsepsi-konsepsi bercorak megalitik yang bercocok tanam[4].

Di Ulu Tiangko, Merangin ditemukan fosil sisa rangka manusia yang memiliki ciri-ciri Australomelanesid di Ulu Tiangko, Propinsi Jambi yang berusia 6000-9000 tahun yang lalu[5].

Megalitik juga terdapat di Serampas, Sungai Tenang dan Peratin Tuo[6]. Bahkan juga ditemukan Megalit di Dusun Tuo Dan Tanjung Putih (Nilo Dingin)[7]. 

Sedangkan cerita yang beredar di masyarakat dikenal dengan Legenda Si Pahit Lidah[8] dan Kecik Wong Gedang Wok[9].

Begitu juga dengan kedatangan Turki dalam legenda Datuk Paduko Berhalo, Marga Tungkal ulu dan Marga Kumpeh Ilir dikenal Puyang berasal dari Turki.

Ada juga yang menyebutkan dari Pagaruyung[10], Jawa Mataram, Jawa Majapahit, Arab atau Turki, Indrapura dan Kerinci. Seloko seperti  Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat antara masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Pagaruyung.

Terhadap kedatangan penduduk ke wilayah di Jambi sangat terbuka. Seloko seperti “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan  adalah perumpaan keterbukaan masyarakat dengan pendatang[11]. Atau “mencari induk semang”, “nasi putih air jernih[12], “tanah pemberian” seperti “tanah irung. Tanah gunting” [13], “ujung batin” [14], membuktikan masyarakat Jambi kemudian memberikan hak tanah kepada para pendatang dari luar dusun. Sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan. Baik dengan penduduk semula tinggal didusun maupun pendatang. Sebagaiman seloko “Ke langit sama dikadah. Ke bumi sama dikutungkan. Darah samo dikacau, daging samo dikimpal[15]”. Atau ke bukit samo mendaki. Ke lurah samo menurun”. “Seiring-sejalan”. Atau juga sering disebut ”ada samo dimakan. Dak ado samo ditelan”.
Ada juga menyebutkan Bak aur dengan tebing, tebing sayang ke aur, aur sayang dek tebing, tebing runtuh aur tebawo”[16]. 

Sebagai “karang Setio” dengan Seloko Sebingkah Tanah. Sekaki Payung. Ke aek Samo-samo di perikan. Ke darat samo-samo di paumo” [17].

Istilah “pribumi” dilekatkan oleh colonial Belanda yang kemudian membagi golongn penduduk Indonesia. Belanda kemudian menempatkan pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) dan kemudian membagi tiga golongan yaitu Eropa (Europeanen), Timur Asing  (vreemde oosterlingen) dan Bumi putra (inlander).

Didalam pasal 131 ayat (1) IS disebutkan “Hukum Perdata dan Hukum Dagang serta Hukum Pidana demikian juga Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana diatur dengan Ordonat”. Sedangkan pasal 131 ayat 2 IS  menyebutkan “Dalam ordonantie yang mengatur Hukum Perdata dan Hukum Dagang untuk orang-orang Eropa diikuti dengan undang-undang yang berlaku di negeri Belanda”.

Sehingga menggunakan istilah “pribumi” berarti menempatkan kembali mental “inlander” dalam rumpun penduduk ketiga. Sebuah sikap inferior yang tidak relevan lagi dengan semangat kemerdekaan.

Lihat ketika para pemuda yang kemudian merumuskan sikap politiknya tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian mendeklarasikan didalam “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia” tahun 1928 yang kemudian berikrar dengan menggunakan kata “Pemoeda-Pemoedi Indonesia”.  Kata “Pemoeda-Pemoedi Indonesia” kemudian mengelimir “pribumi”.

Secara hukum setelah Indonesia merdeka, maka istilah “pribumi” menjadi tidak relevan lagi.  Penghapusan penggolongan penduduk kemudian dapat dilihat didalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) konstitusi. Begitu juga diatur didalam UU No. 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara, UU No. 62 Tahun 1958 junto UU no. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Selain itu dapat dilihat didalam UU No. 26 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Kesemuanya kemudian menyatakan sebagai “penduduk” Indonesia.

Siapakah yang disebutkan “Indonesia asli” Indonesia ?.  Kata “Indonesia asli” dapat dijumpai didalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum diamandemen). Didalam pasal 6 ayat (1) kemudian disebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Ketentuan ini kemudian mengalami perubahan didalam amandemen ketiga yang kemudian menyebutkan “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Begitu juga kata “Indonesia asli” mengenai kategori warganegara yang disebutkan didalam pasal 6 konstitusi (sebelum amandemen) “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Makna ini masih termaktub jelas didalam UUD 1945 setelah diamandemen.

Dengan demikian maka berdasarkan sejarah kedatangan, budaya dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka seluruh “orang” yang bermukim maka kemudian disebut sebagai penduduk. Mendapatkan hak dan kewajiban yang sama antara satu dengan yang lain. Sehingga menjadi tidak relevan lagi untuk membagi kategori atau pengkotak-kotakkan antara satu dengan yang lain.

Menggunakan identitas sebagai “bagian” dari politik tidak mendapatkan dukungan di kancah politik. Pemilu 1999 kemudian memenangkan PDIP (33,12 %), Partai Golkar (25,97%) dan PPP (12,55%). Posisi yang kemudian berubah pemilu 2004 menjadi Partai Golkar 23,27%), PDIP (19,28%) dan PPP (10,55%), Partai Demokrat (10 %) dan PKB (9,45%).

Kemudian pada pemilu 2009 Komposisi yang kemudian bergeser menjadi PDIP (18,95 %), Partai Golkar (14,75  %),  Partai Gerindra (11,81 %) dan Partai Demokrat (10,19 %).

PPP Kemudian dibawah PKB (9,04 %), PAN (7,59 %) dan PKS (6,79 %). PPP hanya meraih PPP (6,53%).

Bahkan Pemilu 2014, PDI menjadi kampiuan (18,95 %), Partai Golkar (14,75 %), Partai Gerindra (10,19 %) dan Partai Demokrat (9,04 %).

Membaca angka-angka diatas, maka Partai yang mengusung tema yang universal nasionalis menjadi pemenang Pemilu dan runner up. Trend yang terus naik dari pemilu 2004 hingga menjadi di Pemilu 2014.

Sehingga tidak salah kemudian tema “nasionalis” menjadi daya Tarik pemilih dan mulai meninggalkan identitas kelompok di Pemilu.









            [1] Disampaikan pada Diskusi Publik, Politik Identitas – Kenyataan atau Ilusi, Jambi, 29 Juli 2018
            [2] Advokat. Tinggal di Jambi
            [3] Zaman Megalitik adalah system  kepercayaan (megalitik) pada  zaman batu besar seperti Menhir, dolmen, ponden, berundak dan Sarkofagus. Sejarah Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013, Hal. 45.
[4] Sutaba, Masyarakat megalitik di Indonesia, Balai Arkeologi, Bandung, 1996, Hal. 1
            [5] Izzudin Arafah, Karakteristik Epigenetika pada Upper Viscerocranium dan Bagian Dahi Tengkorak Jawa dan Papua Berdasarkan Perbedaan jenis Kelamin, Departemen Antropogi, FISIP, Unair, 2017, Hal. 273
            [6] Dominik Bonatz, John David Neidel, The Megalithic Complex of Highland Jambi,
            [7] Bont, G.K.H. de. 1922: “De batoe’s larong (kist-steenen) in Boven Djambi, Onderafdeeling Bangko”,Nederlandsch-IndiĆ« Oud en Niew 7: 31-32.
       [8] Dahulu hiduplah raja banting yang selalu mengadakan perlawanan dengan di mata Empat dan Si Pahit Lidah. Suatu kali Raja Banting sedang menyusun batu gedung untuk dijadikan lantak lukah pemasang takalok penangkap ikan. Belum selesai menyusun batu, Raja Banting disapa oleh Si pahit Lidah. Setelah disapa, batu-batu yang telah disusun menjadi runtuh. Sampai sekarang masih terlihat batu yang runtuh di Desa Batu Basawar.  Demikian seterusnya seperti Lubuk Si Lanca Tiang atau Lubuk Bubur Tabayak, Lubuk Idung Kerbau.  Struktur Sastra Lisan Daerah Jambi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Jakarta, 1997, Hal. 77.
            [9] S. R Hasibuan S.R, Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lanskap Budaya Rumah Larik Limo Luhah di Kota Sungai Penuh, Kerinci, Provinsi Jambi, Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor,  2010 dalam Yoni Elviandi, Studi Potensi Lanskap Sejarah Suku Kerinci di Provinsi Jambi, IPB, Bogor, 2014, Hal. 24
[10] Hampir semuanya mengaku keturunan dari Pagaruyung. Baik dari Marga Sungai Tenang, Marga Batin Pengambang, Marga Sumay, Marga Serampas.
[11] Hamzah Raden, Pertemuan di Desa Teluk Singkawan, 16 Maret 2013.
            [12] Peraturan Desa Tanjung Benuang No. 9 Tahun 2011 Tentang  Keputusan Depati Suko Menggalo
[13] Riset Walhi Jambi, 2013
[14] Profile Desa Beringin Tinggi Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
[15] Pertemuan di Muara Siau, Muara Siau, Mei 2011
     [16] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016, Hal. 4
     [17] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016, Hal. 4