Didalam
memahami UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
hidup (UU PPLH), roh dan pondasi penting kemudian dilihat dari “Daya dukung[1]”
dan “daya tampung”[2].
Roh “daya dukung” dan “daya tampung” haruslah menjadi
nilai-nilai yang memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dari “kualitas lingkungan hidup yang semakin
menurun” dan “mengancam kelangsungan
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya”[3].
Roh
dari “daya dukung” dan “daya tampung” kemudian “perlindungan dan pengelolaan Lingkungan
hidup” yang dilaksanakan oleh “pemangku
kepentingan”.
Sehingga
kegiatan yang berdampak kepada lingkungan hidup kemudian harus memperhatikan seperti (a) keberlanjutan
proses dan fungsi lingkungan hidup, (b) keberlanjutan produktivitas lingkungan
hidup,
(c) keselamatan, mutu hidup, dan
kesejahteraan masyarakat.
Dan
kemudian diturunkan dalam KLHS yang kemudian memuat (a) kapasitas
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, (b)perkiraan
mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, (c) kinerja layanan/jasa ekosistem
(d) efisiensi pemanfaatan sumber daya alam. (e) tingkat
kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim. (f). tingkat
ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Sehingga
pengelolaan Lingkungan Hidup kemudian harus memuat asas seperti asas
tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.
Dengan
roh “daya dukung” dan “daya tampung” kemudian dipastikan “Terlindunginya” dan “dikelolanya” Lingkungan hidup. Sehingga dapat memberikan “hak atas lingkungan hidup baik dan sehat’.
Sehingga
sebagai “pemenang amanat” untuk
memastikan roh “daya dukung” dan “daya tampung”, maka manusia yang melakukan
kegiatan apapun yang berdampak kepada lingkungan hidup harus memastikan “daya dukung” dan “daya tampung”. Sehingga tercapainya hak atas lingkungna hidup yang
baik dan sehat[4].
Untuk
mencapai “hak atas lingkungna hidup yang
baik dan sehat” maka setiap orang kemudian berhak (a) mendapatkan
pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. (b) Setiap orang berhak mengajukan usul
dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan
dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. (c)
Setiap
orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup (d) Setiap
orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup[5].
Untuk
mencapai “hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat” kemudian diturunkan menjadi “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata[6].
Dalam wacana public kemudian dikenal “pejuang lingkungan hidup (environmental
defender).
Roh
“daya dukung” dan “daya tampung” yang termaktub didalam UU
PPLH dan menempatkan “environmental defender”.
Namun
sesat pikir begitu menggejala di berbagai kalangan. Sesat fikir yang memisahkan
makna “roh” dari pasal 66 dan menimbulkan
perbedaan tafsir ditingkat implementasi.
Kekeliruan
pertama dimulai ketika praktek ternyata berbanding terbalik. Tiga orang (Sawin,
Sukma dan Nanto) yang menolak pembangunan PLTU Indramayu justru dituduh “penghinaan bendera Merah Putih’.
Atau Dulmuin yang dipukul yang
hendak melaporkan pemukulan terhadapnya justru dilaporkan “penganiayaan dan pengeroyokan di Polres Indramayu.
Kasus ini melengkapi sebelumnya
menimpa Anwar Sadat (Direktur Walhi Sumsel) yang dituduh “merobohkan pagar polda Sumsel” setelah sebelumnya kritis terhadap
pengembalian tanah PTPN VII.
Bahkan yang tragis justu menimpa
Salim (dikenal Salim Kancil) yang kemudian tewas ketika menolak penambangan
pasir di pesisir pantai selatan Watu Pecak, Lumajang, Jawa Timur.
Menurut Walhi, Angka ini terus
menaik setelah tahun-tahun sebelumnya jumlah angka kriminalisasi para pejuang
lingkungan hidup itu mencapai 227 kasus di tahun 2013, dari yang sebelumnya
hanya 147 kasus.
Yang paling teranyar adalah gugatan
perdata terhadap Dr Basuki Wasis oleh Nur Alam (Mantan
Gubernur Sulawesi Tenggara). Kapasitas Dr
Basuki Wasis dikenal sebagai akademisi yang memperjuangkan lingkungan hidup. Sudah
lebih menangani 200 kasus di Indonesia. Pada
Juli 2017 Dr Basuki Wasis juga pernah dilaporkan oleh PT Jatim Jaya Perkasa
karena memberikan keterangan palsu dalam persidangan.
Kesesatan kedua kemudian menempatkan
roh dan pondasi yang telah diatur didalam UU PPLH kemudian masih memakan korban
? Memenjarakan baik dengan tuduhan jauh dari tuntutan, menyeret dalam kasus
perdata hingga menewaskan. Apakah peraturan yang belum mendukung atau memang
didalam implementasi peraturan perudang-undangan yang belum mendukung.
Implementasi makna pasal 66
menimbulkan perdebatan. Pasal 66 yang menyebutkan “Setiap orang yang memperjuangkan
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara
pidana maupun digugat secara perdata” kemudian
didalam penjelasan kemudian disebutkan “Ketentuan
ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara
hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dan “Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah
tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata
dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.
Dalam penafsiran “letterlijk” maka disebutkan perlindungan
yang diberikan setelah “environment
defender” korban/pelapor setelah menempuh cara hukum. Cara hukum yang
kemudian dijelaskan setelah “proses
pemidanaan” yang berlangsung atau “gugatan
perdata” yang diajukan. Maka perlindungan setelah adanya proses hukum (baik pidana maupun perdata).
Dengan demikian menggunakan
penafsiran a contrario (argumentum a
contrario) maka perlindungan hukum kepada “environmental defender” tidak dapat diberikan. Sebuah pemahaman positivism
yang masih kuat berlaku di Indonesia.
Sehingga tidak salah kemudian roh
pasal 66 malah direduksi lebih sempit didalam penjelasan pasal 66. Atau dengan
kata lain, semangat “memproteksi” “environmental defender” justru digerus
oleh penjelasan pasal 66 itu sendiri. Sebuah upaya sistematis dan meletakkan
dari hukum materiil menjadi hukum formil. Dari esensi menjadi formalistic.
Tidak salah kemudian “environmental defender” malah kemudian “ditempatkan” menjadi korban/saksi. Bukan
sebagai “pejuang lingkungan hidup (environmental
defender).
Padahal kata-kata termaktub didalam
pasal 66 dengan jelas mencantumkan “setiap
orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup”. Kata-kata yang
kemudian menempatkan sebagai “pejuang”.
Bukan saksi atau korban.
Akibat “kekeliruan” kedua kemudian menempatkan “environmental defender” sebagai korban atau saksi sebagai
kekeliruan ketiga. Sehingga ketika menggunakan term saksi dan korban merujuk
kepada UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban junto UU No.
31 Tahun 2014 (UU Perlindungan Saksi dan Korban).
Akibat “kekeliruan kedua” maka perangkat saksi[7]
dan korban[8]
sebagaimana diatur di UU Perlindungan Saksi dan Korban digunakan untuk memotret
problema “pejuang lingkungan hidup (environmental defender)”. Sehingga
perlindungan yang diberikan kepada “environmental
defender” ditempatkan sebagai “saksi”
dan korban”. Sehingga makna “proteksi”
yang seharusnya didapatkan justru cuma mendapatkan hak-hak sebagai saksi[9]
atau hak sebagai korban.
Kekeliruan ini juga ditemukan didalam
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman
Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (KMA No. 36 Tahun 2013).
Walaupun menggunakan istilah SLAPP
(Strategic Lawsuit Againts Public Partipation)[10],
KMA No. 36 Tahun 2013 masih menempatkan pasal 66 (environmental defender) dalam
praktek hukum acara[11].
Penggunaan kalimat “dapat diajukan baik dalam provisi, eksepsi
maupun dalam gugatan rekonvensi” atau “nota
pembelaan/pledooi” dan “harus
diputuskan terlebih dahulu dalam putusan sela” merupakan lapangan praktek
hukum acara di Pengadilan. Sebuah reduksi dari makna roh pasal 66 sebagai “environmental defender” menjadi “’formalistik” dalam lapangan hukum acara
Dengan demikian dari pemikiran keliru
memandang “environmental defender” haruslah dikembalikan ke roh pasal 66.
Sehingga peraturan perundang-undangan baik didalam penjelasan maupun diatur
didalam KMA No. 36 Tahun 2013 haruslah termaktub dari maksud dari makna pasal
66.
Dimuat di dinamikojambi.com, 2 Agustus 2018
http://dinamikajambi.com/2018/08/02/kekeliruan-tafsir-enviromental-defender/
Dimuat di dinamikojambi.com, 2 Agustus 2018
http://dinamikajambi.com/2018/08/02/kekeliruan-tafsir-enviromental-defender/
[7]
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau
ia alami sendiri.
Pasal 1 UU
No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban junto UU No. 31 Tahun
2014 (UU Perlindungan Saksi dan Korban).
[10]
Anti SLAPP merupakan perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup, gugatan
SLAPP dapat berupa gugatan balik (gugatan rekonvensi), gugatan biasa atau
berupa pelaporan telah melakukan tindak pidana bagi pejuang lingkungan hidup
(misalnya, dianggap telah melakukan perbuatan “penghinaan” sebagaimana diatur
dalam KUHP), Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013.
[11]
Untuk memutuskan sebagaimana dalam Pasal 66 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa
gugatan penggugat dan/atau pelaporan tindak pidana dari pemohon adalah SLAPP
yang dapat diajukan baik dalam provisi, eksepsi maupun dalam gugatan rekonvensi
(dalam perkara perdata) dan/atau pembelaan (dalam perkara pidana) dan harus
diputuskan lebih dahulu dalam putusan sela.