Akhir-akhir ini, gonjang-ganjing
politik di Jambi dihebohkan dengan pernyataan tentang kurang gizi di Jambi yang
mencapai 30%. Bahkan angka nasional mencapai 40 %. Angka yang cukup mengerikan
dan dapat meninggalkan generasi “kurang gizi”.
Sayapun kaget. Apakah angka 30%
busung lapar di Jambi dan 40% di Indonesia sudah mengintai kita. Apakah angka
itu begitu mengerikan sehingga kita lalai atau luput memperhatikannya.
Dalam literature sering disebutkan
kurang gizi akibat gizi buruk (malnutrisi) disebabkan penyakit akibat
kekurangan energy dan protein. Akibat kurang gizi maka sering dikenal “busung
lapar”. Penyakit ini menyerang balita usia 0 – 4 tahun. Penyakit yang menyerang
dinegara-negara berkembang. Termasuk di Indonesia.
Mengikuti jejak busung lapar yang telah
dipaparkan angkanya mencapai 30 % di Jambi dan 40 % di Indonesia alangkah
baiknya kita mempelototi data-data resmi dari lembaga negara. Entah Kementerian
Kesehatan ataupun BPS. Angka resmi yang menggambarkan keadaan dan dapat menjadi
rujukan.
Kalau istilah di Jambi dikenal
dengan “Mengaji diatas kitab. Menangis
diatas bangkai’. Sehingga perdebatan kita tidak mengawang, pokoke, asal
nyimplak ataupun menimbulkan kehebohan.
Sebagai penyakit busung lapar, sikap
Indonesia sudah jelas. Apabila angkanya sudah mencapai 30% maka daerah ataupun
ditingkat nasional maka harus dinyatakan “Keadaan Luar Biasa”. Pernyataan yang
disampaikan sebagai “respon” untuk menghadapi keadaan yang luarbiasa.
BPS tahun 2005 hanya menyebutkan
secara nasional, busung lapar mencapai angka 8%. Artinya angka busung lapar
1,06 juta jiwa.
Bahkan tahun 2016 angka kurang gizi
turun 30%. Dan tahun 2017 semakin turun hingga mencapai 27,5%. Kementerian
Kesehatan tahun 2017 melalui Pantauan Status Gizi (PSG) hanya mencatat
mengalami masalah gizi mencapai 17,8%. Sama dengan tahun 2016. Kategori masalah
gizi terdiri dari gizi buruk 3,8% dan 14% gizi kurang.
Sebagai issu busung lapar, di Jambi
sendiri yang paling banyak disampaikan adalah kasus gizi buruk. Tahun 2010
dengan jumlah penduduk Jambi 3.092.265 (BPS, 2010), kasus gizi buruk 64 kasus.
Tahun 2013 dengan 103 kasus, 101 kasus
tahun 2014, 90 kasus tahun 2015. Jauh
berkurang dari tahun 2011 dan tahun 2012. (Dinas Kesehatan Provinsi Jambi).
Memasuki tahun 2018 apabila kita
bandingkan dengan angka gizi buruk mencapai 30% di Jambi sebagaimana telah
dipaparkan maka kita dapat merujuk kepada data-data resmi.
Dengan penduduk Jambi 3,5 juta jiwa (BPS, 2018) dengan angka
kemiskinan 7,9% maka penduduk yang termasuk kategori miskin mencapai 277.685.
Apabila kita sandingkan gizi buruk (30
%) dengan jumlah penduduk miskin 277.685 jiwa maka terdapat 83 ribu jiwa.
Atau apabila kita konsentrasi kepada
gizi buruk terhadap kelahiran bayi 25 ribu pertahun di Jambi maka terdapat 7,5
ribu bayi yang terpapar gizi buruk. Padahal kasus gizi buruk tahun 2017 hanya
mencapai 55 kasus (0,22 %). Jauh dari angka 30% yang dipaparkan.
Tapi berapapun angka gizi buruk yang
menimpa Indonesia dan Jambi maka kita akan menghasilkan generasi yang hilang
(lost generation). Sehingga terjadinya angka busung lapar mencapai 30% apalagi
40 % Indonesia dapat menyatakan “keadaan luar biasa’.
Baca : JAMBI DARURAT PANGAN