NARASI KEBANGSAAN
NEGARA HUKUM
Negara
Indonesia adalah negara hukum[1].
Sebagai negara hukum (rechtsstaat)
maka bukan negara berdasarkan kekuasaan (machtstaat).
Makna “rechtsstaat” kemudian
bersandarkan kepada sistem Eropa kontintental.
“Rechtsstaat” digagas oleh John Locke, Montesquieu
dan J.J. Rousseau[2]. Dan
kemudian dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, Fichte. Istilah yang kemudian dikembangkan Jerman.
Negara hukum mempunyai tiga unsur
yaitu Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum, pemerintahan menurut
hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum bukan dibuat oleh
kesewenang-wenangan dan pemerintahan dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan
atas paksaan penguasa[3].
John Locke kemudian menyebutkan
penyelenggaraan negara harus berdasarkan atas hukum. Hukum harus berada diatas
dari segala kepentingan. Teori sebagai penyangkalan dari kekuasaan Raja Louis
XIV yang mengikrarkan diri sebagai Raja Matahari (Le Roi Soleil). Ungkapan seperti "L'État c'est moi" ("Negara adalah saya")
adalah bentuk kediktatoran.
Pemikiran John Locke kemudian
diteruskan oleh Montesquieu yang kemudian memisahkan kekuasaan (separation of power) dikenal sebagai
teori Trias Politica -Montesquieu.
Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Konsep negara hukum juga dikenal
didalam system hukum Anglo Saxon dengan padanan ‘Rule of law’. Dengan unsur seperti supremasi hukum (supremacy of law), adanya persamaan
dimuka hukum (equality before the law)
dan adanya perlindungan HAM.
Konsep negara hukum baik rechtstaat maupun “rule of law” tidak dapat dipisahkan dari teori demokrasi. Jimly
Assiddiqie menyebutkan sebagai “dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan[4].
Sehingga negara hukum demokrasi (democratishe
rechstsstaat) tidak lain merupakan konstitusi dalam arti yang ideal (ideal begriff der verfassung).
Menempatkan negara hukum baik “rechtsstaat” maupun “rule of law” maka konstitusi mencantumkan
didalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945. “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan Pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal
ini kemudian dikenal sebagai asas “equality
before the law”.
Indonesia juga menjunjung HAM
sebagaimana diatur didalam pasal 28 konstitusi.
Dengan demikian walaupun Indonesia
menganut prinsip “rechtsstaat” namun
juga mengadopsi prinsipn “rule of law”
didalam konstitusi.
Asas “equality
before the law” dalam praktek peradilan sudah jamak diterapkan. Menempatkan
Presiden sebagai pihak tergugat dalam lapangan hukum perdata di Pengadilan Umum
maupun sebagai termohon dalam lapangan hukum Administrasi negara di PTUN.
Begitu juga “mempersoalkan UU” dalam permohonan hak uji UU (judicial review) dalam
Mahkamah Konstitusi. Atau permohonan hak uji dibawah UU (judicial review) di
Mahkamah Agung.
Menempatkan “Presiden” didalam lapangan hukum perdata maupun dalam lapangan
hukum administrasi negara sebagai pihak membuat kesetaraan para pihak. Sebagai
pihak yang seimbang dari penggugat atau pemohon.
Dengan menempatkan Presiden dalam
lapangan hukum perdata maupun dalam lapangan hukum administrasi negara
membuktikan asas “equalitiy before the law”.
Dalam lapangan hukum pidana maka
tidak ada satupun yang diperlakukan berbeda antara satu dengan yang lain. Pasal
28 D (amandemen ketiga) menyebutkan “setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Prinsip
negara hukum “rechtsstaat” adalah prinsip dari pendiri negara (founding father). Prinsip yang menempatkan
hukum diatas segala kepentingan. Hukum yang memberikan keadilan terhadap
siapapun. Hukum yang memberikan hukuman kepada siapapun.