Akhir-akhir ini, kita dipaksa menerima
pemberitaan tentang politik yang menggunakan kata “Setan’. Entah apa yang
dimaksudkan dengan kata “setan’. Namun kata itu ditujukan diluar kelompok yang
dimaksudkan.
Kata “Setan” dimulai dari “laskar” yang bertujuan
untuk menghancurkan “setan”, maka kata “setan” kemudian mengemuka.
Kata Setan menjadi “Demarkansi” yang memisahkan
antara satu kelompok dengan kelompok lain. Menjadi pembatas dan pembeda. Garis
yang kemudian menjadi “medan tarung” sebagai perjuangan politik.
Menggunakan kata “Setan” mengingatkan cara-cara
PKI menjelang tahun 1965. D.N. Aidit kemudian menyerukan untuk melawan setan
Desa. Setan Desa kemudian dikenal “7 Setan Desa”. Tujuh setan Desa yaitu Tuan tanah jahat, lintah darat,
pengijon, tengkulak jahat, bandit desa, pejabat korup, dan kapitalis birokrat.
Kata “Setan
desa” kemudian mencekam. Para kaum tani, aktivis BTI, dan PKI berhadapan dengan
tuan tanah, pemimpin agama, serta pengikutnya. Ketegangan bernuansa agama
terutama meletus di Jawa Timur.
Konflik
yang kemudian “meninggalkan dendam” yang diwariskan dari satu ke generasi.
Dendam yang tidak mudah diselesaikan oleh satu atau dua pergantian kekuasaan.
Dalam terminologi
agama, kata “setan” atau “setan dajjal” digunakan sebagai padanan kata “lawan”
atau musuh” kita mempunyai dampak emosional yang mudah terpancing.
Dengan
menggunakan kata “setan” terhadap kelompok atau orang diluar lingkarannya,
perbedaan pandangan politik menyebabkan masyarakat kemudian menjadi
terkotak-kotak. Terpecah dalam lingkaran “aku” dan “kalian’. Atau antara “kita”
dan “Mereka”. Seruan “setan” kemudian menggema dan membuat irisan semakin
tajam.
Kata “Setan”
menggema dan menjadi bola liar yang dikemas oleh elite politik demi kepentingan
sesaat. Sehingga diksi “Setan” kemudian menjadi bergeser.
Padahal diksi “setan” adalah kata yang digunakan
dalam lapangan ibadah. Dalam keyakinan kepada sang pembangkang perintah Tuhan.
Bertugas menggoda manusia sehingga ingkar kepada sang Pencipta.
Namun
politik kontemporer di Indonesia, diksi kata “setan” kemudian menjadi alat.
Untuk membangkitkan “kemarahan” dan emosional pendukungnya menghadapi barisan
lain.
Sehingga
tidak salah kemudian diksi kata “setan” kemudian menjadi bergeser. Dari urusan
agama menjadi urusan politik. Sebuah kenistaan untuk menghancurkan peradaban.