Ditengah masyarakat Melayu Jambi dikenal istilah “juluk”.
Juluk adalah kegiatan menggunakan kayu panjang untuk mengambil sesuatu diatas pohon. Sehingga tidak perlu lagi memanjat.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
Ditengah masyarakat Melayu Jambi dikenal istilah “juluk”.
Juluk adalah kegiatan menggunakan kayu panjang untuk mengambil sesuatu diatas pohon. Sehingga tidak perlu lagi memanjat.
Istilah “mentaro” dikenal di Masyarakat Kumpeh. Baik Desa-desa yang termasuk kedalam Kecamatan Kumpeh Ulu maupun kecamatan Kumpeh (dulu dikenal Kumpeh Ilir) Kabupaten Muara Jambi.
Istilah mentaro menunjukkan pohon pinang yang ditanaman sedikit rapat. Mengelilingi batas-batas tanah.
Sebenarnya kata gambut tidak pernah disebutkan masyarakat gambut untuk menunjukkan wilayah yang dikategorikan sebagai daerah gambut.
Masyarakat hanya mengenal nama-nama tempat seperti “soak, buluran, sako, Danau, talang, lubuk, pematang, dengat, Olak.
Selain itu juga dikenal nama-nama seperti payo, payo dalam, rawa, bento, Lebak, Lebak lebung.
Nama-nama yang disebutkan itulah yang kemudian yang kemudian dikenal sebagai daerah gambut.
Di Sungai Aur dikenal sako. Sako adalah muara dari Sungai. Biasanya “arusnya” sedikit deras.
Akhir-akhir ini, pembicaraan Jangkat menarik perhatian masyarakat Jambi. Linimasa maupun berbagai rangkaian kegiatan dilangsungkan di Jangkat.
Sebelum Hari Krida Pertanian (HKP) Provinsi Jambi ke 50 yang dipusatkan di Lapangan Bola Desa Lubuk Pungguk Kecamatan Jangkat, 15-17 November 2022, dilakukan Festival Jangkat 2022.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, nasi putih dapat diartikan “nasi tanpa lauk-pauk”.
Istilah “nasi putih” juga sering dipadankan dengan “air Jernih” sering disampaikan didalam seloko-seloko di Jambi.
Seloko “nasi putih air jernih” adalah prosesi yang dikenal didalam adat di Jambi. Biasanya dikaitkan dengan prosesi mendapatkan tanah.
Didaerah Muara Siau, Kabupaten Merangin dikenal atau “senggrahan”. Kata “senggrahan” berasal dari kata “pesanggrahan”. Artinya “persinggahan” Raja Jambi dari Tanah Pilih sebelum pergi berburu.
Marga Senggrahan termasuk kedalam Luak XVI. Marga yang terdapat didalam Luak XVI terdiri dari Marga Serampas, Marga Sungai Tenang, Marga Peratin Tuo, Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan.
Marga Senggrahan terdiri dari Dusun Lubuk Beringin, Dusun Lubuk Birah, Dusun Kandang dan Dusun Durian Rambun.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Simpang diartikan sesuatu yang memisah (membelok, bercabang, melencong, dan sebagainya) dari yang lurus (induknya).
Kata simpang juga dapat diartikan “tempat berbelok atau bercabang dari yang lurus (tentang jalan): -- jalan; -- tiga (empat dan sebagainya).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti “Pungguk” dapat ditemukan didalam pepatah. Seperti “Pungguk merindukan bulan. Diartikan sebagai orang yang sangat rindu kepada kekasihnya. Namun cintanya tidak terbalas.
Namun ditengah masyarakat masyarakat Melayu Jambi terutama di Marga Sungai Tenang (Merangin), istilah “pungguk” menunjukkan kekerabatan dalam satu wilayah. Dikenal “Pungguk 6”, “Pungguk 9”.
Ketika mengucapkan Air dengan dialek Bahasa Melayu Jambi, maka sering disebutkan dengan ucapan “aek”.
Namun kata “aek’ sering dipadankan dengan berbagai Seloko.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi dikenal seloko seperti “ke aek bebungo pasir. Ke darat bebungo kayu”.
Telanaipura tidak dapat dipisahkan dari cerita Rakyat Melayu Jambi.
Didalam buku “Tan Talanai-Beserta dua buah Cerita Rakyat Jambi Lainnya”, Kisah Raja Tan Talanai, seorang Raja dari sebelah jajahan Rabu Mentarah (India Muka) yang kemudian datang ke Jambi. Kemudian membuat Istana di Muara Jambi Kecil dan di ujung Tanjung Jabung (Sekarang Tanjung Jabung Timur). Kemudian dikenal Pulau Berhala.
Kedatangan Raja Tan Talanai kemudian memerintah dapat mengatasi keadaan negeri yang sedang kacau balau.
Raja Tan Talanai setelah memerintah dengan segala kebesarannya kemudian dikenang rakyat sebagai Pemimpin yang mempunyai kebesaran.
Nubo adalah dialek Bahasa Melayu Jambi dari kata Tuba.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata tuba diartikan sebagai tumbuhan liana yang memanjat hingga 15 m, akarnya beracun yang dapat memabukkan (meracun) ikan.
Kata Tuba dapat diartikan sebagai racun ikan. Biasanya dibuat dari akar tuba.
Mencari kata “tutuh” didalam kamus besar Bahasa Indonesia sam sekali tidak ditemukan. Namun “tutuh” kemudian dituntun dengan kata “menutuh”.
Menutuh adalah memangkas atau menebang cabang-cabang kayu. Dapat juga diartikan meruksa (perahu dan sebagainya) untuk diambil kayunya.
Di beberapa tempat di masyarakat Uluan Batanghari, dikenal istilah “Lambas’.
Istilah “Lambas” tidak seragam artinya. Lambas di Desa Muara Sekalo dilakukan dengan upacara bertujuan untuk memohon izin mambang jori. Sedangkan di Desa Pemayungan dan Desa Semambu, lambas adalah tanah yang dibuka harus diberi tanda berupa tanaman seperti durian.
Di daerah Uluan Batanghari, dikenal dengan istilah “plali”.
Plali dilekatkan dengan seloko Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo.
Seloko sering juga dihubungkan dengan sumpah (kutukan) Rajo Jambi, Datuk Berhalo aebagaimana dituliskan oleh Prof. Dr. S Budhisantoso, dkk didalam bukunya Kajian Dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang.
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, tunggul dapat diartikan sebagai pangkal pohon yang Masih tertanam didalam tanah sehabis menebang/ditebang.
Kata tunggul juga dapat diartikan sebagai pokok batang yang Masih Tertinggal sehabis dituai, disabit.
Kata tunggul juga dapat diartikan sebagai tonggak untuk menambatkan perahu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “tumbuh” dapat diartikan “hidup”. Bisa juga diartikan sebagai sedang berkembang (baik menjadi besar, menjadi sempurna).
Istilah “tumbuh” banyak sekali terdapat didalam Seloko Masyarakat Melayu Jambi.
Pulai yang kemudian didalam dialek Jambi sering disebutkan “pule” adalah nama Kayu. Kayu Pulai adalah jenis kayu yang dikenal di berbagai tempat. Seperti di Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar.
Menurut berbagai Sumber, Kayu pulai dikenal sebagai kayu keras (Alstonia scholaris). Sering digunakan untuk bangunan rumah. Kokoh dan tahan lama. Tumbuh di Sumatera dan Kalimantan.
Kata muko adalah dialek dari kata “muka”. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, muka adalah bagian depan kepala, dari dahi atas sampai ke dagu dan antara telinga yang satu dan telinga yang lain.
Muka dapat diartikan sebagai wajah, air muka atau rupa muka. Muka dapat diartikan bagian bagian luar sebelah depan.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi dikenal berbagai seloko seperti “Alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin”.
Ada juga yang menyebutkan “alam berajo. Negeri bebatin”. Bahkan ada juga yang menyebutkan “alam berajo. Negeri Bebatin. Kampung betuo”.
Didalam sebuah diskusi, tiba-tiba terbetik tema tentang tokoh Adat. Tokoh yang Penting dan mempunyai kapasitas membicarakan hukum adat Jambi.
Dalam Kajian ilmu antropologi, tokoh adat (informal leader) menjadi salah satu sumber informasi Penting didalam menemukan hukum adat ditengah masyarakat.