Dalam praktek hukum pidana, dikenal istilah delik biasa dan delik aduan.
Menurut Drs. P.A.F. Lamintang, “Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Sedangkan “ delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan.”
Sedangkan Mr. Drs. E Utrecht menjelaskan, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
Didalam KUHP, delik aduan dapat dilihat dari pasal 284, pasal 287, pasal 293, pasal 310 dan berikutnya, pasal 332, pasal 322, dan pasal 369, Pasal 367, 370, 376, 394, 404, dan 411.
Namun menurut R. Soesilo justru menjelaskan delik aduan yang bersifat absolut dan bersifat relatif.
Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.
Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411.
Untuk delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.
Dan orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Advokat. Tinggal di Jambi