22 September 2022

opini musri nauli : Plali

 


Di daerah Uluan Batanghari, dikenal dengan istilah “plali”. 


Plali dilekatkan dengan seloko Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo. 


Seloko sering juga dihubungkan dengan sumpah (kutukan) Rajo Jambi, Datuk Berhalo aebagaimana dituliskan oleh Prof. Dr. S Budhisantoso, dkk didalam bukunya Kajian Dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang. 

Seloko ini juga sering dilekatkan terhadap kesalahan seperti “beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. 


Terhadap kesalahan berdasarkan hukum adat maka kemudian dijatuhi sanksi. 


Namun apabila ternyata penjatuhan sanksi kemudian tidak ditaati oleh pelaku sanksi maka kemudian dikenal sebagai plali. 


Jadi plali adalah ketidakmauan melaksanakan sanksi hukum adat. 


Sehingga seloko seperti “Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo”, atau “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang” atau  beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil” adalah cerminan dari keingkaran untuk melaksanakan sanksi adat. 


Dalam praktek sehari-hari dikenal dengan istilah “orang buangan”. “Sakit dak diurus, mati dak dikuburkan”. 


Selain adanya penjatuhan sanksi adat hingga kesalahan plali selain akan mengakibatkan tidak diurus dalam kehidupan sosial sehari-hari juga akan menanggung beban bagi Keluarga besar dari pelaku. 


Sehingga ketakutan pelaku hingga kemudian harus menanggung kesalahan plali sangat dihindarkan oleh pelaku. 




Advokat. Tinggal di Jambi