12 Mei 2024

opini musri nauli : POSISI INDONESIA DI KANCAH INTERNASIONAL

 

Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) (Paris Agreement) kemudian dilanjutkan didalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 Tentang INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP (PP No. 46 Tahun 2017) dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 menegaskan posisi Indonesia yang berkewajiban mengendalikan perubahan iklim (Perpres No 98 Tahun 2021). 


Didalam Paris Agreement ditegaskan kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan secara nasional untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2"C (dua derajat celcius) hingga 1,soc (satu koma lima derajat celcius) dari tingkat suhu praindustrialisasi. 


Namun selain peraturan perundang-undangan yang telah dianalisis maka adanya  Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 Tentang INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP (PP No. 46 Tahun 2017).  Didalam PP No. 46 Tahun 2017 dijelaskan sebagai berikut : 


  1. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Setiap Orang ke arah Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup. 
  2. Pendanaan Lingkungan Hidup adalah suatu sistem dan mekanisme pengelolaan dana yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 
  3. Insentif adalah upaya memberikan dorongan atau daya tarik secara moneter dan/atau non moneter kepada Setiap Orang maupun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar melakukan kegiatan yang berdampak positif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. 
  4. Disinsentif adalah pengenaan beban atau ancaman secara moneter dan/atau non moneter kepada Setiap Orang maupun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar mengurangi kegiatan yang berdampak negatif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. 
  5. Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Neraca SDA dan LH adalah gambaran mengenai cadangan/aset sumber daya alam dan lingkungan hidup serta perubahannya. 
  6. Neraca Arus Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Neraca Arus SDA dan LH adalah gambaran aliran input alam dari lingkungan ke dalam ekonomi dan aliran limbah dari ekonomi ke lingkungan. 
  7. Produk Domestik Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto yang mencakup Penyusutan Sumber Daya Alam dan Kerusakan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut PDB dan PDRB LH adalah perhitungan alternatif dari produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang memperhitungkan penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup.
  8. Jasa Lingkungan Hidup adalah manfaat dari ekosistem dan lingkungan hidup bagi manusia dan keberlangsungan kehidupan yang diantaranya mencakup penyediaan sumber daya alam, pengaturan alam dan lingkungan hidup, penyokong proses alam, dan pelestarian nilai budaya. 
  9. Penyedia Jasa Lingkungan Hidup adalah Setiap Orang, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah yang menjaga dan/atau mengelola lingkungan hidup untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas Jasa Lingkungan Hidup. 
  10. Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup adalah Setiap Orang, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah yang menggunakan Jasa Lingkungan Hidup. 
  11. Kompensasi/ Imbal Jasa Lingkungan Hidup Antar Daerah adalah pengalihan sejumlah uang dan/atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang antara Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup dengan Penyedia Jasa Lingkungan Hidup melalui perjanjian terikat berbasis kinerja untuk meningkatkan Jasa Lingkungan Hidup. 
  12. Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup adalah pengalihan sejumlah uang dan/atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang antar orang atau kelompok masyarakat sebagai Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup dan Penyedia Jasa Lingkungan Hidup melalui perjanjian terikat berbasis kinerja untuk meningkatkan Jasa Lingkungan Hidup. 
  13. Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan Hidup adalah dana yang disiapkan oleh suatu Usaha dan/atau Kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak dan/ atau cemar karena kegiatannya. 
  14. Dana Penanggulangan Pencemaran dan/atau Kerusakan dan Pemulihan Lingkungan Hidup adalah dana yang disiapkan oleh Pemerintah Pusat dan/ atau Pemerintah Daerah untuk menanggulangi dan memulihkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. 
  15. Dana Amanah/Bantuan Konservasi adalah dana yang berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan konservasi lingkungan hidup. 
  16. Perdagangan Izin Pembuangan Limbah dan/atau Emisi adalah jual beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan untuk dibuang ke media lingkungan hidup antar penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan. 
  17. Lembaga Keuangan dan Pasar Modal yang selanjutnya disebut Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. 
  18. Asuransi Lingkungan Hidup adalah produk asuransi yang memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. 
  19. Label Ramah Lingkungan Hidup adalah pemberian tanda atau label pada produk yang ramah lingkungan hidup. 
  20. Penghargaan Kinerja di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kegiatan untuk memberikan penghargaan terhadap kinerja dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 
  21. Konservasi Sumber Daya Alam adaiah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.
  22. Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Memperhatikan definisi yang telah diuraikan didalam PP No. 46 Tahun 2017 sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 16 Tahun 2016 maka dapat diturunkan didalam Perpres No. 98 Tahun 2021. 

Didalam Perpres No. 98 Tahun 2021 ditegaskan posisi Indonesia yang ditandai dengan kalimat konstitutif seperti “Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional atau Nationally Determined Contribution yang selanjutnya disingkat NDC adalah komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai  Perubahan Iklim (Paris Agreement to the United Nations Frametaork Conuention on Climate Change). 


Cara mengukurnya yang ditandai dengan istilah Nilai Ekonomi Karbon, Gas rumah kaca dan emisi. Menurut Perpres No. 98 Tahun 2021 definisi Nilai Ekonomi Karbon yang selanjutnya disingkat NEK adalah nilai terhadap setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi. Sedangkan definisi Gas Rumah Kaca yang selanjutnya disingkat GRK adalah gas yang terkandung dalam atmosfer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. Sehingga definisi emisi GRK adalah lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu tertentu.

Didalam Perpres No. 98 Tahun 2021 maka harus dilihat sebagai dasar penyelenggaraan NEK dan sebagai pedoman pengurangan Emisi GRK melalui kebijakan, langkah, serta kegiatan untuk pencapaian target NDC dan mengendalikan Emisi GRK dalam pembangunan nasional. 


Sehingga Perpres No. 98 Tahun 2021 kemudian menetapkan kebijakan dan langkah serta implementasi kegiatan sesuai komitmen Pemerintah berupa Pengurangan Emisi GRK 29%(dua puluh sembilan persen) sampai dengan 4l % (empat puluh satu persen) pada tahun 2030 dibandingkan dengan Baseline Emisi GRK. Dan juga bertujuan untuk membangun ketahanan nasional, kewilayahan, dan masyarakat dari berbagai risiko atas kondisi perubahan iklim atau Ketahanan Iklim.


Sebagaimana diketahui Perpres No. 98 Tahun 2021 yang kemudian menerjemahkan secara rinci dan detail dari UU No. 16 Tahun 2016 dan PP No. 46 Tahun 2017. 


Didalam melakukan analisis Kebijakan Nasional Dan Daerah didalam pencapaian Folu Net SINK 2030 maka konsentrasi dilihat bagaimana analisis penghitungan carbon stok berdasarkan regulasi dan peraturan yang mengaturnya. 

  1. Ratifikasi Paris Agreement (UU No. 16 Tahun 2016), 
  2. Perpres No 98 Tahun 2021, 
  3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor  21 TAHUN 2022
     TENTANG TATA LAKSANA PENERAPAN NILAI EKONOMI KARBON (Permen LHK Nilai Karbon). 
  4. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan (Permen LHK Perdagangan Karbon)

Mekanisme ini kemudian dikenal sebagai Tata cara penghitungan carbon. 

Dari hasil analisis kebijakan maka dapat dirumuskan sebagai berikut : 

  1. Ratifikasi Paris Agreement (UU No. 16 Tahun 2016) adalah  upaya pemerintah mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
  2. Penerapan pajak karbon di Indonesia nanti akan memakai skema cap and tax. Di mana ditetapkan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan.
  3. Didalam Permen LHK Nilai Karbon disebutkan perdagangan karbon dapat dilakukan didalam negeri. Dengan demikian maka harus memenuhi ketentuan seperti sesuai dengan peta jalan Perdagangan Karbon, 
    menyediakan cadangan pengurangan emisi (buffer) dan berbentuk SPE-GRK untuk Perdagangan Karbon lintas Sektor. 
  4. Istilah yang resmi digunakan adalah PBPH, GRK, perdagangan emisi dan Nilai ekonomi karbon
  5. Pada dasarnya mekanisme perdagangan karbon adalah perdagangan emisi dan offset emisi GRK. Mekanisme ini juga diatur didalam Perpres yang dikenal  melalui mekanisme perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja (result-based payments) dan pungutan atas karbon (carbon-tax). 
  6. Didalam Permen LHK Perdagangan Karbon disebutkan,  Perdagangan Karbon  dilakukan Kawasan hutan produksi tetap dan blok Kawasan hutan lindung. Tentu saja terhadap Kawasan hutan produksi tetap yang belum dibebani PBPH. 
  7. Perdagangan Karbon di lokasi Kawasan hutan produksi tetap dilakukan dengan ketentuan menerapkan mekanisme Offset Emisi GRK; dan  dilaksanakan setelah mendapatkan PBPH, Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial, atau hak pengelolaan. Sedikit berbeda untuk Kawasan lindung. Dapat menggunakan mekanisme offset emisi GRK dengan memperhitungkan stok karbon dan setelah mendapatkan persetujuan Menteri KLHK 
  8. Selain itu kegiatan seperti pengurangan emisi, penyerapan karbon, penyimpan karbon harus tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  9. Perdagangan emisi harus dilakukan dengan rangkaian kegiatan seperti 
    1. penyusunan dan penetapan peta jalan Perdagangan Karbon sektor Kehutanan; 
    2. penetapan penyediaan cadangan pengurangan emisi
      (buffer); 
    3. penetapan PTBAE pengelolaan gambut pada sub sektor
      pengelolaan gambut dan mangrove; 
    4. penentuan PTBAE-PU; 
    5. penetapan kuota pengelolaan gambut pada sub sektor
      pengelolaan gambut dan mangrove; 
    6. pengukuran emisi aktual; 
    7. penyampaian laporan PTBAE-PU; 
    8. Verifikasi laporan PTBAE-PU; 
    9. laporan hasil Verifikasi; dan 
    10. pelaksanaan: 
      1. Perdagangan Emisi dalam negeri dan/atau sesama pemilik PTBAE-PU; atau 
      2. penyimpanan terhadap sisa Batas Atas Emisi GRK dan/atau kuota Emisi GRK yg tidak digunakan. 


Dengan demikian maka  Penerapan pajak karbon di Indonesia nanti akan memakai skema cap and tax. Dimana ditetapkan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan.


Dengan demikian maka kebijakan Pemerintah berkaitan pencapaian pengurangan emisi  Yang kemudian diturunkan didalam Perpres No. 98 Tahun 2021 yang kemudian dikenal sebagai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup maka dapat diimplementasikan didalam operasional. Yang ditandai dengan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim. 

 

Setelah melihat regulasi seperti ratifikasi Paris Agreement (UU No. 16 Tahun 2016), Perpres No 98 Tahun 2021, maka untuk melihat lebih jauh tentang penerapan perdagangan karbon sebagaimana diatur didalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor  21 TAHUN 2022
 TENTANG TATA LAKSANA PENERAPAN NILAI EKONOMI KARBON (Permen LHK Nilai Karbon). 


Didalam Permen LHK Nilai Karbon disebutkan perdagangan karbon dapat dilakukan didalam negeri. Dengan demikian maka harus memenuhi ketentuan seperti sesuai dengan peta jalan Perdagangan Karbon, 
menyediakan cadangan pengurangan emisi (buffer) dan berbentuk SPE-GRK untuk Perdagangan Karbon lintas Sektor. 


Selain memenuhi Perdagangan Karbon luar negeri harus memenuhi ketentuan: dilakukan setelah Menteri Terkait menetapkan dan
menyampaikan rencana dan strategi pencapaian terkait NDC pada Sektor dan Sub Sektor kepada Menteri,  telah mencapai target NDC pada Sub Sektor atau sub Diskusi Tematik Kesiapan Provinsi Jambi Dan Folu Net SINK 2030 (Intervensi Wilayah) Sektor untuk Perdagangan Karbon luar negeri dan mendapat otorisasi dari Menteri. Sehingga Perdagangan Karbon dalam negeri dan/atau Perdagangan Karbon luar negeri  dilakukan melalui mekanisme  Perdagangan Emisi dan
Offset Emisi GRK. Dan Perdagangan Emisi dan Offset Emisi GRK harus dilakukan melalui bursa karbon dan/atau Perdagangan Langsung.

Dengan demikian maka Mekanisme yang digunakan adalah Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) Indonesia mencakup aspek mitigasi dan adaptasi. Sejalan dengan ketentuan Persetujuan Paris, NDC Indonesia kiranya perlu ditetapkan secara berkala. Pada periode pertama, target NDC Indonesia adalah mengurangi emisi sebesar 29 o/o dengan upaya sendiri dan menjadi 4l o/o jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain mela.lui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. Komitmen NDC Indonesia untuk periode selanjutnya ditetapkan berdasarkan kajian kinerja dan harus menunjukkan peningkatan dari periode selanjutnya. Kewajiban ini kemudian dipertegas didalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. 


Regulasi ini kemudian memberikan peluang siapapun (termasuk entitas bisnis) agar dapat terlibat aktif didalam pencapaian rendah emisi. Atau dengan kata lain Perpres No 98 Tahun 2021 dan Permen LHK No 21 Tahun 2022 sama sekali tidak menutup siapapun. Atau Terbuka dengan pihak manapun.

KLHK kemudian didalam SK Menklhk Tentang Folu Net SINK 2030 menegaskan posisi Indonesia didalam mencapai pengendalian perubahan iklim. Upaya yang dilakukan diantaranya seperti pengurangan laju deforestrasi, pengurangan laju degradasi hutan, pengaturan hutan tanaman, pengelolaan hutan secara lestari, perhutanan sosial, rehabilitasi non hutan pada lahan kritis, tata kelola gambut, perbaikan tata air gambut, perbaikan dan konservasi mangrove, keanekaragaman hayati dan ekosistem, pengembangan instrument kebijakan baru, pengendalian monev dan komunikasi publik. 


SK Menklhk Tentang Folu Net SINK 2030 menegaskan posisi Indonesia didalam mencapai pengendalian perubahan iklim. 


Didalam SK Menklhk Tentang Folu Net SINK 2030 diatur berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan FOLU NET SINK 2030. 


Didalam SK Menklhk Tentang Folu Net SINK 2030 juga disebutkan adanya dokumen buku Rencana operasional Indonesia’s Folu net SINK 2021-2030, dilengkapi dengan data spasial peta-peta (lampiran). 

Upaya yang dilakukan diantaranya seperti pengurangan laju deforestrasi, pengurangan laju degradasi hutan, pengaturan hutan tanaman, pengelolaan hutan secara lestari, perhutanan sosial, rehabilitasi non hutan pada lahan kritis, tata kelola gambut, perbaikan tata air gambut, perbaikan dan konservasi mangrove, keanekaragaman. 

Dengan demikian maka regulasi sudah memastikan posisi Indonesia didalam upaya pencapaian target rendah emisi. 


Peluang pendanaan yang kemudian tanpa harus merusak hutan, memberikan izin kepada pihak ketiga (konsesi) selain dapat memastikan Kawasan hutan tetap terjaga sekaligus dapat memberikan pendanaan di tingkat global.