IPK tinggi, cum laude harus diberi apresiasi..
sebagaimana apresiasi juga kepada mahasiswa yg terik ditengah rakyat..
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
IPK tinggi, cum laude harus diberi apresiasi..
sebagaimana apresiasi juga kepada mahasiswa yg terik ditengah rakyat..
Pengadilan adalah muara pertarungan pemikiran.
Sidang terus berjalan.. harapan senantiasa dikumandangkan..
Dulu waktu masa demo, dia menertawakan org demo keno semprot water canon..
dari televisi.. sembari berteriak..
Kemudian dia dekat dengan dosen.. mahasiswa berprestasi, kuliah cepat tamat..
Pandemik menyerang..
Negara kalang kabut menghadapinya..
Presiden kekiri kanan memantau pemberian vaksin..
Polri -TNI berjibaku pemberian vaksin..
Eh, sementara sebagian kalangan malah bahas TWK..
Udah, ah.. malas !!! Kamu enggak asyik.. !!!
Setiap artefak, candi, manaqib bukan sekedar hanya benda (materiil). Tapi ada simbol-simbol dibaliknya.
Berbagai tempat pemujaan (baik berupa candi, artefak, arca) lebih kaya cara pandang tentang alam (kosmopolitan). Baik cara pemilihan tempat, arah sudut, letak bahkan berbagai simbol-simbol dibaliknya.
Akhir-akhir ini keresahan Penulis semakin menjadi-jadi. Ilmu pengetahuan yang kemudian dianggap “Segala-galanya” kemudian mulai menjadi angkuh. Mulai mengeliminir pengetahuan yang ada ditengah masyarakat.
Syukurlah. Ketika keresahan yang sering disampaikan kemudian membaca sebuah tulisan yang berjudul “Kutukan ilmu pengetahuan - banyak akademisi lebih fokus ‘terdengar pintar’ daripada membumikan sains pada masyarakat.
Website www.theconversation.com menceritakan tentangnya.
Saya pernah menghadiri acara di kampus..
Pelan-pelan mengikuti alurnya.. pake rumus, kalkulasi, penghitungan yg dipaparkannya..
Setelah itu dengan bangga mempresentasikannya.. tdk lupa melampirkan photo..
Sampai skrg, saya paling respek kepada rakyat yg memperjuangkan lingkungan dari kerusakan alam..
Mereka menyerahkan dirinya.. mereka mempertahankannya..
Jiwa raga dikorbankan untuk menunaikan amanat leluhur..
Didalam sebuah buku yang berjudul “Perdebatan pasal 33 - Dalam sidang amandemen 1945 memuat salinan otentik notulensi sidang MPR-RI 1999-2002, ada pernyataan yang menarik disampaikan oleh Prof. Sri Sumantri. Argumentasi yang disampaikan dapat membongkar tentang makna UUD 1945.
Namun tema mudik yang lebih menarik dilihat dari ranah antropologi. Terlepas dari istilah mudik yang kurang tepat menggambarkan suasana menjelang Idul Fitri, tema mudik juga harus dipahami dengan cara pandang orang Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, membicarakan puyang tidak dapat dilepaskan dari tempat yang ditemukan ornamen dan artefak sebagai kebudayaan adiluhung zaman megalitikum justru menampakkan sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan yang menjunjung tinggi dalam kehidupan.
Ketika salah seorang jemaat FB mengabarkan ketidakmengertian masyarakat Indonesia yang begitu semangat untuk “mudik” berhadapan dengan anjuran dari berbagai pihak agar tidak mudik, maka pernyataan itu kemudian memantik polemik.
Dilanjutkan tanggai 13 Juni 2018 menulis tentang makna PUASA – IBADAH ATAU RITUAL yang menggambarkan puasa sebagai ibadah dan bekal menjalani mudik.
Berbeda dengan berbagai tempat, di Uluan Jambi, membicarakan puyang tidak dapat dilepaskan dari cara pandang manusia masyarakat Melayu Jambi menempatkan diri sebagai makhluk alam. Makhluk yang tunduk dengan alam Semesta.
Cara menempatkan diri dari alam Semesta, dari pemerintah, dari Pemimpin bahkan dalam kehidupan sehari-hari dapat ditandai dengan berbagai seloko.
Akhir-akhir ini, tema mudik mendominasi pembicaraan publik. Terlepas dari berbagai polemik yang terjadi, Arus sekat untuk menghadang mudik menarik untuk ditelusuri. Berhadapan dengan berbagai kalangan yang mulai resah dengan pembatasan arus mudik.
Ketika salah seorang teman di FB mengirimkan poster anak Kecil yang menanam pohon, dilengkapi masker dan tabung oksigen dan memuat kata-kata “Save Earth” - Saat pohon terakhir ditebang, ikan terakhir dimakan dan sungai terakhir diracun. Anda akan menyadari bahwa anda tidak bisa makan uang. Tolong tanam pohon. Tanam Harapan”, seketika emosi saya kemudian meledak. Seakan-akan makna poster yang dikirimi mempunyai makna.
Alam cosmopolitan Marga Batin Pengambang dituturkan dengan menempatkan 4 Penjaga Negeri . Rio Cekdi Pemangku Rajo. Yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru. Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang menjaga pintu dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso kecil.
Sebagai ciptaan sang pencipta, Manusia masyarakat Melayu Jambi menempatkan diri sebagai makhluk alam. Makhluk yang tunduk dengan alam Semesta.
Cara menempatkan diri dari alam Semesta, dari pemerintah, dari Pemimpin bahkan dalam kehidupan sehari-hari dapat ditandai dengan berbagai seloko.
Seloko seperti “Alam sekato rajo, negeri sekato batin”, adalah cara menempatkan diri masyarakat Melayu Jambi dalam relasi dengan alam dan Pemimpin.
Ketika Penulis membaca “Koempoelan Oendang-oendang Adat Lembaga Kota Benkoelen” yang ditetapkan antara “sekalian pegawai2 Boemipoetra dan orang-orang jang ternama dalam kota Benkoelen pada tanggal 24 t/m 30 Juni 1911 (Disahkan dengan besluit s.p.t.b Resident Benkoelen dd 18 October 1911 No. 412)”.
Koempoelan Oendang-oendang Adat bersumber dari Sembilan onderafdeelingen dari “oendang-oendang Simbur Tjahaja”.